Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERICUHAN ganti rugi tanah di Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, nyaris membuyarkan impian lama Bupati
Asahan Abdul Manan Simatupang yang kini jadi kenyataan. Sebab
cukup lama juga sang Bupati menjajakan daerahnya agar para
penanam modal -- tak peduli dari dalam negeri atau mancanegara
-- sudi membenamkan uang di sana. Ini sejak tahun 1966, saat ia
mulai bercokol sebagai Bupati. Sampai akhirnya Perusahaan Negara
Perkebunan (PNP) VII Bahjambi, mendapat izin membuka areal
tanah seluas 14.000 ha untuk perkebunan kelapa sawit di Bandar
Pasir Mandoge dan 2 kampung lainnya. Meski pernah di tahun 1967
ada peminat yang akan membuka proyek peternakan nasional. Tapi
lenyap beritanya tanpa sebab yang jelas. Lalu pemodal dari
Selandia Baru mencoba menyusul di bidang yang sama. Juga tak ada
kabar lanjutannya. Akhirnya pengusaha Jepang bermaksud membikin
proyek jambu mete dan pertanian jagung. Juga tak berwujud.
Beralasan sekali PNP VI cepat-cepat dirangkul Bupati Manan yang
sudah 2 kali naik haji itu. Begitu surat permintaan diajukan 25
Nopember 1974 dan disusul 29 Januari, segera sala melayang
surat rekomendasi dari Bupati Simatupang. Dengan dasar itu
sibuklah Perusahaan milik negara itu meneliti lapangan yang akan
digarapnya. Didapatlah 1000 Ha hutan cadangan, 2561 Ha tanah
garapan rakyat di 3 perkampungan (Bandar Pasir Mandoge,
Hutabagasan dan Silau Jawa). Selebihnya tanah negara. Sampai di
sini gejala kericuhan belum terlihat.
Begitu juga tatkala menggarap perkara yang menyangkut 2561 ha.
Yang tentu saja harus terlebih dulu dibereskan untuk bisa
meraih Surat Hak Guna Usaha dari Menteri yang berwenang.
Apalagi Bupati Simatupang berprinsip keras, "jangan sampai ada
rakyat yang dirugikan". Untuk iu seperti biasanya dibentuk team
peneliti ganti rugi yang diketuai camat setempat. Team ini
bekerja sejak 29 Januari. Serba cepat tampaknya. Dan 11 Oktober
sampai 21 Nopember 1975 pembayaran ganti rugi pun dilakukan. Ada
Rp 350 juta lebih itu PNP mengeruk sakunya unuk 1148 jiwa di
seluruh perkampungan tadi. Terdapat 26 golongan harga, mulai
perladangan yang RP 20 ribu sampai tempat tinggal yang
sebenarnya kurang pantas disebut rumah berharga Rp 00 ribu.
Banjir uang di daerah yang terbilang miskin ini mendapat
pengawasan Bupati cukup ketat. Sampai-sampai polisi diminta
membuat pengawalan. Dan Rp 100 juta berhasil masuk kas Tabanas
atas anjuran sang Bupati. Sebab ia khawatir adanya perampokan
atau pencurian atau juga pemborosan-pemborosan
Meskipun begitu toko-toko di Kisaran kena serbu penduduk juga.
Radio, mesin jahit, tape reorder, bahan pakaian sampai kepada
bier dan minuman semacamnya cepat ludes di hari-hari ganti rugi.
Juga agen Honda dan Yamaha dapat antrian pesanan. Hingga hal-hal
lucu pun terjadi. Misalnya yang seumur hidnp tak pernah melihat
kendaraan bermotor, sibuk membersihkan Honda atau Yamaha. Bahkan
karena tak mampu menjalankannya, banyak yang repot
mendorong-dorongnya. Hanya sedikit saja yang menggunakan uangnya
buat membangun rumah. Hingga muncullah 71 rumah semi permanen di
Kampung Bandar Pasir Mandoge, 18 di Kampung Hutabagasan dan 8
buah di Silau Jawa.
Sampai di situ, tampaknya segalanya berjalan sip. Tapi begitu
traktor-traktor PNP VII mulai bergerak menggusur tanah dan yang
ada di atasnya, tak urung Bupati Asahan kena berondong
surat-surat pengaduan. Bahkan juga Gubernur dan Laksusda
Sumatera Utara. Ada yang mengadu tak dapat ganti rugi, ada yang
terima tapi tak seperti yang diharapkan. Atau sebagian uangnya
kena sabet kepala Kampung, petugas kecamatan atau Koramil atau
yang mengaku anggota team. Sebaliknya ada juga kabar tersiar:
ada yang tak memiliki apa-apa dapat uang ganti rugi, karena
lihainya permainan sementara petugas. Juga ada tanah adat di
Silau Jawa nyaris digusur, padahal ahli warisnya tak pernah
dihubungi. Bahkan kuburan-kuburan yang masih dipelihara penduduk
kena gilasan traktor.
Bupati Asahan terkejut. Tapi ia cepat bertindak. Segera
dibentuknya Team Pemurnian Kasus Bandar Pasir Mandoge dan
diketuai Zulkarnain BA Kepala Subdit Pembangunan Kantor Bupati.
Dan tak buang tempo, sejak 27 Januari lalu iu team sibuk
menyusuri jejal kericuhan. Bagaimana hasilnya?
"Pengaduan-pengaduan dan pemberitaan surat kabar itu ada
benarnya", ujar Bupati Simatupang mengaku kepada Amran Nasution
dari TEMPO. "Malahan tanah yang diributkan itu di pinggir jalan
lagi. Tapi sempat dialpakan". Dan sang Bupati berjanji "yang
berhak pasti akan terima uangnya". Dia mengungkapkan masih
tersedia di Bank uang Rp 10 juta untuk membereskan perkara ganti
rugi itu.
Tak Ada Tanah Adat
Tapi tak berarti Bupati Simatupang begitu saja mengeluarkan
uangnya. Sebab team yang dibentuknya juga menyebut, "banyak dari
pengaduan-pengaduan itu mirip usaha spekulasi". Misalnya pemilik
tanah di luar areal PNP diminta ganti rugi. Atau karena iri
hati. Lalu coba-coba mengadu untung. Juga munculnya kegiatan
pokrol bambu: berlagak memperjuangkan hak rakyat lalu minta
ganti rugi dengan mengutip uang dari rakyat tadi. Tentu saja
sang Bupati menolak mentah-mentah segala macam polah tersebut.
Apalagi ia tahu betul duduk perkaranya yang menyangi adat.
Umpamanya perkara tanah adat di Kampung Silau Jawa. "Tidak ada
istilah tanah adat di Asahan. Bung tahu, saya juga keturunan
raja-raja Bandar Pasir Mandoge. Atok-atok saya turut membangun
daerah itu dulu kala. Tapi di sana tak dikenal tanah adat",
ujarnya dengan nada berang dan menyebut pengaduan tersebut
sebagai cuma diada-adakan.
Akhirnya team Zulkarnain menghasilkan daftar panjang berisi 122
pengaduan: 72 orang dari Silau Jawa, 38 dari Kampung Hutabagasan
dan 12 orang di Bandar Pasir Mandoge. "Yang ternyata mesti
dibayar akan dibayar. Tapi yang ternyata nakal-nakal saja akan
menerima resikonya", ancam Zulkarnain. Dan kabarnya baru saja
sekali ia turun ke lapangan, sudah banyak yang mengurungkan
pengaduannya. Sementara tak kurang pula yang sempat kaya
mendadak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo