Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah traktor bergerak

Ganti rugi pembebasan tanah bandar pasir mandoge, asahan, berjalan lancar. bupati kalangkabut saat buldozer ptp vii mulai menggusur tanah dan yang ada di atasnya. penduduk mengadu karena dihasut. (dh)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERICUHAN ganti rugi tanah di Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, nyaris membuyarkan impian lama Bupati Asahan Abdul Manan Simatupang yang kini jadi kenyataan. Sebab cukup lama juga sang Bupati menjajakan daerahnya agar para penanam modal -- tak peduli dari dalam negeri atau mancanegara -- sudi membenamkan uang di sana. Ini sejak tahun 1966, saat ia mulai bercokol sebagai Bupati. Sampai akhirnya Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) VII Bahjambi, mendapat izin membuka areal tanah seluas 14.000 ha untuk perkebunan kelapa sawit di Bandar Pasir Mandoge dan 2 kampung lainnya. Meski pernah di tahun 1967 ada peminat yang akan membuka proyek peternakan nasional. Tapi lenyap beritanya tanpa sebab yang jelas. Lalu pemodal dari Selandia Baru mencoba menyusul di bidang yang sama. Juga tak ada kabar lanjutannya. Akhirnya pengusaha Jepang bermaksud membikin proyek jambu mete dan pertanian jagung. Juga tak berwujud. Beralasan sekali PNP VI cepat-cepat dirangkul Bupati Manan yang sudah 2 kali naik haji itu. Begitu surat permintaan diajukan 25 Nopember 1974 dan disusul 29 Januari, segera sala melayang surat rekomendasi dari Bupati Simatupang. Dengan dasar itu sibuklah Perusahaan milik negara itu meneliti lapangan yang akan digarapnya. Didapatlah 1000 Ha hutan cadangan, 2561 Ha tanah garapan rakyat di 3 perkampungan (Bandar Pasir Mandoge, Hutabagasan dan Silau Jawa). Selebihnya tanah negara. Sampai di sini gejala kericuhan belum terlihat. Begitu juga tatkala menggarap perkara yang menyangkut 2561 ha. Yang tentu saja harus terlebih dulu dibereskan untuk bisa meraih Surat Hak Guna Usaha dari Menteri yang berwenang. Apalagi Bupati Simatupang berprinsip keras, "jangan sampai ada rakyat yang dirugikan". Untuk iu seperti biasanya dibentuk team peneliti ganti rugi yang diketuai camat setempat. Team ini bekerja sejak 29 Januari. Serba cepat tampaknya. Dan 11 Oktober sampai 21 Nopember 1975 pembayaran ganti rugi pun dilakukan. Ada Rp 350 juta lebih itu PNP mengeruk sakunya unuk 1148 jiwa di seluruh perkampungan tadi. Terdapat 26 golongan harga, mulai perladangan yang RP 20 ribu sampai tempat tinggal yang sebenarnya kurang pantas disebut rumah berharga Rp 00 ribu. Banjir uang di daerah yang terbilang miskin ini mendapat pengawasan Bupati cukup ketat. Sampai-sampai polisi diminta membuat pengawalan. Dan Rp 100 juta berhasil masuk kas Tabanas atas anjuran sang Bupati. Sebab ia khawatir adanya perampokan atau pencurian atau juga pemborosan-pemborosan Meskipun begitu toko-toko di Kisaran kena serbu penduduk juga. Radio, mesin jahit, tape reorder, bahan pakaian sampai kepada bier dan minuman semacamnya cepat ludes di hari-hari ganti rugi. Juga agen Honda dan Yamaha dapat antrian pesanan. Hingga hal-hal lucu pun terjadi. Misalnya yang seumur hidnp tak pernah melihat kendaraan bermotor, sibuk membersihkan Honda atau Yamaha. Bahkan karena tak mampu menjalankannya, banyak yang repot mendorong-dorongnya. Hanya sedikit saja yang menggunakan uangnya buat membangun rumah. Hingga muncullah 71 rumah semi permanen di Kampung Bandar Pasir Mandoge, 18 di Kampung Hutabagasan dan 8 buah di Silau Jawa. Sampai di situ, tampaknya segalanya berjalan sip. Tapi begitu traktor-traktor PNP VII mulai bergerak menggusur tanah dan yang ada di atasnya, tak urung Bupati Asahan kena berondong surat-surat pengaduan. Bahkan juga Gubernur dan Laksusda Sumatera Utara. Ada yang mengadu tak dapat ganti rugi, ada yang terima tapi tak seperti yang diharapkan. Atau sebagian uangnya kena sabet kepala Kampung, petugas kecamatan atau Koramil atau yang mengaku anggota team. Sebaliknya ada juga kabar tersiar: ada yang tak memiliki apa-apa dapat uang ganti rugi, karena lihainya permainan sementara petugas. Juga ada tanah adat di Silau Jawa nyaris digusur, padahal ahli warisnya tak pernah dihubungi. Bahkan kuburan-kuburan yang masih dipelihara penduduk kena gilasan traktor. Bupati Asahan terkejut. Tapi ia cepat bertindak. Segera dibentuknya Team Pemurnian Kasus Bandar Pasir Mandoge dan diketuai Zulkarnain BA Kepala Subdit Pembangunan Kantor Bupati. Dan tak buang tempo, sejak 27 Januari lalu iu team sibuk menyusuri jejal kericuhan. Bagaimana hasilnya? "Pengaduan-pengaduan dan pemberitaan surat kabar itu ada benarnya", ujar Bupati Simatupang mengaku kepada Amran Nasution dari TEMPO. "Malahan tanah yang diributkan itu di pinggir jalan lagi. Tapi sempat dialpakan". Dan sang Bupati berjanji "yang berhak pasti akan terima uangnya". Dia mengungkapkan masih tersedia di Bank uang Rp 10 juta untuk membereskan perkara ganti rugi itu. Tak Ada Tanah Adat Tapi tak berarti Bupati Simatupang begitu saja mengeluarkan uangnya. Sebab team yang dibentuknya juga menyebut, "banyak dari pengaduan-pengaduan itu mirip usaha spekulasi". Misalnya pemilik tanah di luar areal PNP diminta ganti rugi. Atau karena iri hati. Lalu coba-coba mengadu untung. Juga munculnya kegiatan pokrol bambu: berlagak memperjuangkan hak rakyat lalu minta ganti rugi dengan mengutip uang dari rakyat tadi. Tentu saja sang Bupati menolak mentah-mentah segala macam polah tersebut. Apalagi ia tahu betul duduk perkaranya yang menyangi adat. Umpamanya perkara tanah adat di Kampung Silau Jawa. "Tidak ada istilah tanah adat di Asahan. Bung tahu, saya juga keturunan raja-raja Bandar Pasir Mandoge. Atok-atok saya turut membangun daerah itu dulu kala. Tapi di sana tak dikenal tanah adat", ujarnya dengan nada berang dan menyebut pengaduan tersebut sebagai cuma diada-adakan. Akhirnya team Zulkarnain menghasilkan daftar panjang berisi 122 pengaduan: 72 orang dari Silau Jawa, 38 dari Kampung Hutabagasan dan 12 orang di Bandar Pasir Mandoge. "Yang ternyata mesti dibayar akan dibayar. Tapi yang ternyata nakal-nakal saja akan menerima resikonya", ancam Zulkarnain. Dan kabarnya baru saja sekali ia turun ke lapangan, sudah banyak yang mengurungkan pengaduannya. Sementara tak kurang pula yang sempat kaya mendadak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus