SEBILAH keris berlapis emas, bertatahkan permata dihadiahkan
Presiden Soeharto kepada Pangeran Sihanouk sebagai kenangan.
Presiden Pemerintahan Koalisi Republik Demokratik Kamboja (RDK)
itu tersenyum lebar tatkala menerimanya. Pertemuan yang
berlangsung selama 55 menit di Istana Merdeka pekan lalu itu
bukan pertama kalinya buat kedua negarawan tersebut. Pada 1968
Presiden Soeharto dalam kunjungan kenegaraannya yang pertama
kali mengunjungi Phnom Penh tatkala Sihanouk masih raja.
Keris itu tampaknya merupakan satu-satunya senjata yang
diperoleh Sihanouk dalam kunjungan singkatnya ke Jakarta.
"Indonesia tidak akan memberikan bantuan militer kepada
pemerintah koalisi Kamboja," kata Mensesneg Sudharmono kepada
pers pekan lalu. Yang dijanjikan Indonesia adalah bantuan teknik
untuk merehabilitasi Kamboja -- bila rakyat Kamboja
memerlukannya.
Yang bisa diberikan Indonesia memang janji bantuan dan dukungan
politik. Karena yang berkuasa di Kamboja saat ini adalah
pemerintahan Heng Samrin dengan dukungan hampir 200 ribu tentara
Vietnam.
RDK, yang terbentuk dua pekan lalu Kuala Lumpur, merupakan
koalisi tiga kelompok anti-Heng Samrin yang semula bermusuhan:
Gerakan Pembebasan Nasional Kamboja (Moulinaka) pimpinan
Sihanouk yang royalis, Front Nasional Pembebasan Rakyat Kamboja
(KPNLF) pimpinan Son Sann yang nasionalis dan yang terkuat Khmer
Merah pimpinan Khieu Samphan yang berhaluan Marxis.
Lima hari setelah terbentuk, Sihanouk memulai kunjungan
kelilingnya ke negara-negara ASEAN, yang boleh dibilang
merupakan "arsitek" terbentuknya koalisi itu. Dengan pesawat
Angkatan Udara Malaysia Sihanouk terbang dari Kuala Lumpur ke
Singapura. Dari sini ia menumpang pesawat Singapore Airlines ke
Jakarta. Untuk mengunjungi Manila, pemerintah Indonesia
menyediakan sebuah pesawat Pelita Air Service buat sang
Pangeran.
Gerak cepat seperti itu diperlukan karena yang harus segera
dilakukan persekutuan baru tersebut memang konsolidasi. Karena
itulah setelah muhibah keliling ASEAN ini selesai, Sihanouk
bersama sekutunya yang baru akan memasuki "pusat
pemerintahannya" di Kamboja.
Di mana? "Kami tidak bisa menyebutkan tempatnya untuk
menghindari serbuan tentara Vietnam ke markas kami," jawab
Sihanouk sambil melirik Menko M. Panggabean yang melepas
keberangkatannya ke Manila Kamis pekan lalu.
Sihanouk -- yang banyak menggubah lagu dan pernah menyutradarai
film Le Petit Prince (Pangeran Kecil) -- menolak anggapan,
pemerintah koalisi yang dipimpinnya adalah pemerintah pelarian.
"Pemerintahan ini berada di suatu tempat di wilayah Kamboja",
tegasnya. Kabarnya, pasukan kecil Sihanouk telah membuat rumah
buat sang Pangeran di dekat perbatasan Kamboja-Thailand yang
akan dijadikan markas utama.
Berlainan dengan ucapannya di Kualalumpur setelah RDK terbentuk,
kini Sihanouk menginginkan terselesaikannya masalah Kamboja
secara damai, bukan dengan kekerasan. Di bidang ini -- diplomasi
-- Sihanouk memang bisa berperan besar.
SEBAGAI bekas raja dan kepala negara Kamboja, Pangeran Norodom
Sihanouk, 60 tahun, bisa diterima hampir semua pihak. Lain
dengan Khieu Samphan. Pemimpin Khmer Merah yang menggantikan Pol
Pot ini sulit diterima pihak Barat karena kekejaman rezimnya
tatkala melakukan perombakan sosial semasa berkuasa di Kamboja
antara 1975 dan 1979. Pangeran itu juga punya hubungan baik
dengan RRC: selama beberapa tahun terakhir ini ia tinggal di
Beijing atau Pyongyang.
Dan agaknya Sihanouk memang menyadari kelebihannya. Menurut
suatu sumber, ia meminta dukungan ASEAN untuk bisa berbicara di
berbagai forum internasional. Bahkan kabarnya ia bersedia untuk
melakukan adu argumentasi di forum tersebut dengan Heng Samrin
"agar kami bisa bersaing secara fair," kata sumber TEMPO
menirukan.
Sihanouk, yang menamakan dirinya diplomat terbaik negerinya,
mengakui masalah Kamboja memang sulit diselesaikan. Menurut
gambarannya, masalah negerinya harus diselesaikan di meja
perundingan di Jenewa seperti konperensi Komisi Pengawasan
Internasional (CTC) mengenai Indocina pada 1954. Untuk itu ia
merencanakan berkeliling dan meminta dukungan negara-negara
Eropa Barat, Jepang, Australia, negara nonblok dan P13B dalam
waktu dekat ini. "Kami berharap suatu hari Vietnam akan mengubah
pikirannya. Kami akan menunggu dengan sabar," katanya di
lapangan terbang Halim Perdanakusuma sesaat sebelum meninggalkan
Jakarta.
Yang menjadi pertanyaan: Bisakah Vietnam berubah pikiran hanya
denga tekanan internasional? Kalaupun Vietnam menarik mundur
tentaranya di Kamboja, dapatkah koalisi Sihanouk-Son Sann-Khieu
Samphan menaklukkan Heng Samrin? Kelompok mana yang akan
mendapat dukungan rakyat Kamboja?
Mungkin berbagai pertanyaan tadi juga membenam di benak Sihanouk
pekan lalu tatkala dalam jamuan makan malam oleh Wapres Adam
Malik di Hotel Borobudur tempatnya menginap di Jakarta -- ia,
dalam kegembiraannya menyanyikan lagu Goodbye Bogor, yang
digubah sang Pangeran ketika berkunjung ke sini pada 1966.
(lihat Pokok & Toko).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini