Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sri sultan pulang, dan jadilah ...

Sri sultan hamengkubuwono ix meninggal di rs george washington, as, karena serangan jantung. sebelum ke as ia ke jepang dulu. akan dimakamkan secara kenegaraan di makam saptorenggo, imogiri.

8 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA dari seberang lautan itu terdengar, "Bapak meninggal." Setengah terisak. Yang berbicara adalah Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono. Istri terakhir Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini -- yang lebih dikenal luas dalam nama kecilnya, Norma -- sedang mengikuti suaminya dalam perjalanan di AS. Ia menghubungi Jakarta, pagi jam 07.45 WIB itu, dari Washington, D.C. Yang menerima telepon adalah Meity Minarni, seorang kemanakannya. Meity juga menjadi sekretaris pribadi Sultan, dan ikut tinggal di Jalan Halimun 23, Jakarta. Di rumah sepasang yang bertingkat dua itulah Sultan dan Norma umumnya sehari-hari menghabiskan waktu, kecuali Sabtu dan Minggu yang mereka nikmati di rumah mereka yang baru, di Bogor. Tak ayal lagi: berita yang disampaikan Ny. Norma pagi itu adalah berita duka bagi keluarga. Juga bagi bangsa Indonesia. Sultan Yogya, salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan, bekas wakil presiden, mendadak wafat, di hari Minggu 2 Oktober senja hari. Tak ada memang yang menduga kematian itu. 14 September, Sri Sultan berangkat dari Jakarta ke Jepang. Ibu Norma, yang akhir-akhir ini selalu berdampingan dengannya, menyertainya. Di Tokyo, lima hari kemudian, mereka berdua bergabung dengan rombongan kesenian yang dipimpin Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Tanggal 22 September, Sri Sultan ke kota kuno Kyoto. Esoknya kembali ke Tokyo dan 25 September berangkat ke AS, ke New York. Mereka yang menyaksikannya sampai beberapa hari sebelum ke AS tak melihat tanda-tanda sakit pada diri Sri Sultan. Pangeran Mangkubumi, putranya yang tertua, yang disebut-sebut akan jadi pengganti Hamengku Buwono IX ini, hadir sebentar bersama ayahandanya di Tokyo, 25 September yang lalu. "Kondisi beliau [waktu itu] tak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya. Maka ia mula-mula tak yakin bahwa ayahnya meninggal. Juga Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim. Ia sempat bersama Sultan 21 September. Keduanya menonton pertunjukan kesenian Yogya dan Solo yang dibawa Gubernur Wiyogo di sebuah gedung teater besar di Tokyo. "Saya duduk di sebelah beliau dan kami ngobrol santai pakai bahasa Belanda yang tidak formal," kata Emil Salim mengenang. "Kesan saya beliau gembira ria. Beliau mengajak saya makan sashimi." Sultan juga mengajak Emil Salim ke Kyoto, tapi Emil harus menghadiri pertemuan tentang lingkungan hidup. Dalam rencana, 20 Oktober nanti Sultan akan sudah pulang dari AS, setelah selesai mengecek kondisi matanya yang kurang sehat lagi. Tanggal 5 November nanti akan ada pernikahan besar di Keraton Yogya: empat pangeran akan menikah. Tapi rencana ini patah. Sesuatu telah terjadi menjelang senja hari Minggu yang fatal itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan ia meninggal ? Di Tokyo, di hotel, ia tampak menggunakan kursi roda. Tapi, kata Tony Suryo, seorang kolega Pangeran Mangkubumi, bekas wakil presiden itu mengatakan "tidak apa-apa, hanya capek saja." Tony Suryo juga bertemu dengan Sri Sultan di Tokyo. Hal yang sama dikisahkan Emil Salim: Sri Sultan bahkan menolak memakai kursi roda waktu menghadiri acara. Kursi itu dipakainya karena, katanya, ia pernah jatuh waktu di Jakarta. Kakinya keseleo. Ketika tiba di Washington, D.C., setelah menginap dua hari di New York, ia juga tampak masih menggunakan kursi roda. Tapi di sini pun tak ada tanda sakit. Bahkan, menurut sebuah keterangan, ketika menjalani check up di Rumah Sakit Walter Reed, ia tak menunjukkan persoalan yang perlu ditangani segera. Tapi maut bisa dengan sempurna bersembunyi. Hari Minggu itu, Sultan dikabarkan masih sempat makan siang di restoran Cina "Hunan" di Rockville, Maryland, dekat Washington. Jam 17.00, di Hotel Embassy Row -- sebuah hotel yang persis di depan Kedubes RI, di Massachusetts Avenue Hamengku Buwono IX muntah-muntah. Lima belas menit kemudian seorang pejabat KBRI memanggil ambulans. Sepuluh menit kemudian ambulans itu datang. Sultan mengeluh sakit pada dadanya. Ia pun diberi pernapasan darurat dan dibawa ke Rumah Sakit George Washington, hanya sekitar 1 km dari Embassy Row. Pukul 17.45, setiba di rumah sakit, Hamengku Buwono dimasukkan langsung ke ruang gawat darurat. Menurut keterangan pihak rumah sakit, ia kena serangan jantung. Sumber lain menyatakan, ia dalam tekanan darah yang sangat rendah. Tak seorang pun diizinkan masuk. Termasuk Ny. Norma dan para pejabat KBRI. Pukul 20.05 Sultan Hamengku Buwono IX dinyatakan wafat, setelah istrinya dipanggil masuk ke ruangan darurat itu. Malam itu jenazah ditinggal di sana. Senin, tubuh Hamengku Buwono disemayamkan di rumah duka, Ives pearson Funeral Home, yang terletak di Falls Church, Virginia. Di tempat ini -- yang biasa digunakan oleh staf KBRI -- ada fasilitas khusus buat merawat jenazah menurut Islam. Tahlilan bahkan sudah diadakan di malam Senin, di ruang Garuda di KBRI -- dengan gambar Sultan terpampang dalam ukuran besar. Suasana berkabung terasa. Juga rasa setengah tak percaya, tokoh ini -- yang beberapa jam sebelumnya menanyakan bagaimana kabar Kaisar Hirohito di Jepang yang sedang gawat sakit -- mendadak pergi selamalamanya. Mendahului bahkan Hirohito. Ketika siaran RRI di Jakarta kemudian mengabarkan bahwa Sri Sultan meninggal, para pendengar juga setengah kaget setengah tak percaya. Delapan tahun yang lalu, RRI pernah melakukan satu kesalahan besar: menyiarkan bahwa Sultan wafat. Pembawa beritanya tak ayal dipecat, tapi Sultan sendiri waktu itu mengatakan kepada Pangeran Pakuningrat, putranya yan ke-12, "Kalau diberitakan meninggal, orang biasanya akan berumur panjang." 76 tahun memang usia yang cukup panjang. Sultan menjaga tubuhnya dengan cukup baik. Ia tak merokok. Di Jalan Halimun 23 itu ada satu kamar untuk olahraganya, berupa sepeda stasioner. Waktu senggangnya ia isi dengan memberi makan ikan-ikan di kolam di taman rumah itu -- juga di rumahnya yang 27 kamar di Bogor, tempat ia menghabiskan waktunya di akhir pekan. Di rumah ini juga ada sebuah kolam di dalam ruangan, tempat ia dan Ny. Norma berenang tanpa dilihat orang. Ia juga gemar memasak. Favoritnya: steak dan masakan Eropa lain. Ia membaca hampir semua koran dan majalah, sebelum berangkat ke kantornya, Perwakilan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, di Jalan Prapatan 42. Keinginannya mengikuti perkembangan tetap tinggi: pesawat TV di rumahnya tak pernah dimatikan. Melalui antena parabola, Sultan gemar mengikuti acara dan berita dari TV Amerika. Ia juga masih banyak ide. Beberapa jam sebelum rasa sakit di Washington, D.C. itu, Sultan membeli buku tentang taichi dan waitankung. Sebuah keterangan mengatakan, ia merencanakan akan menciptakan satu tarian Jawa berdasarkan gerak taichi dan waitankung sepulangnya nanti ke Yogya. Ternyata, ia tak pulang ke Yogya. Hanya berita kematiannya yang secara tak resmi tiba di kota itu pada pukul 08.30 WIB Senin pekan ini. Orang pun masih ragu. Baru pukul 09.00 datang kawat dari KBRI Washington dengan kabar sedih itu. Sebelumnya, di Jakarta, Presiden Soeharto telah menerima laporan yang lebih terinci. Seperti diterangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Presiden memutuskan untuk menyelenggarakan pemakaman Almarhum secara kenegaraan. Presiden sendiri akan datang ke Yogya, untuk melepas orang yang telah bekerja buat Indonesia selama empat dasawarsa ini. Buat pertama kali inilah dalam sejarah Indonesia seorang raja Mataram mangkat dengan upacara kebesaran seperti itu. Dan mungkin buat yang terakhir kali. Di Yogya sendiri penghormatan terakhir untuknya sudah mulai tampak sejak jam 10.30 Senin pekan ini. Keraton Yogya, yang biasa dikunjungi turis, langsung ditutup buat umum. Radio swasta dan RRI Yogya mendengungkan lagu Gugur Bunga. Semua masjid di lingkungan Keraton mengumandangkan tahlilan. Pasar Malam Sekaten yang tengah berlangsung juga tak lagi memutar musik. Orkes dangdut di sana kini bungkam. Bendera setengah tiang tampak di mana-mana. Jika tak ada aral melintang, puncak perkabungan ini akan terjadi ketika jenazah Hamengku Buwono IX dimakamkan di Makam Saptorenggo, Imogiri. 20 km di selatan Yogya. Di sanalah raja-raja Mataram dimakamkan, selama beberapa abad. Tapi, berbeda dengan upacara kematian ayahnya sekitar setengah abad yang lalu, jasad Sultan modern ini tak akan ditarik oleh kereta berkuda delapan ekor. Setelah disemayamkan di bangsal Kencono, tubuh itu akan dibawa dengan mobil jenazah Korem 072 Pamungkas. Di sebuah liang lahad yang besar -- yang disesuaikan dengan peti mati ukuran Amerika yang menyimpan tubuhnya sejak di Washington, D.C. -- Hamengku Buwono IX akan terbaring, buat seterusnya. Ia akan berada di antara makam Hamengku Buwono VII dan Hamengku Buwono VIII. Pada saat itulah, agaknya, orang akan teringat lagi betapa panjangnya garis keturunan tokoh ini, dan betapa utuhnya ia sebagai bagian sejarah. Sekaligus, betapa uniknya riwayat Hingkang Sinuhun. Pada suatu hari ia pulang dari negeri asing untuk dinobatkan menjadi raja. Pekan ini ia pulang dari negeri asing yang lain lagi untuk jadi sesuatu yang lebih langgeng ketimbang raja: simbol pertemuan antara masa silam dan masa sekarang yang entah akan ke mana. Zaman memang berubah, tapi ternyata ada yang tak sepenuhnya bisa terputus. Goenawan Mohamad, Tri Budianto Soekarno, Diah Purnomowati (Jakarta), I Made Suarjana (Yogya), Bambang Bujono, P. Nasution (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus