Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga buah televisi di ruang master control room (MCR) Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Cimahi, Jawa Barat, itu menayangkan acara Sejuta Misteri. Jangan terkecoh. Tayangan itu sama se-kali bukan sinetron tentang hantu dan de-demit. Sejuta Misteri adalah tayangan pen-didikan yang menjelaskan proses fisika-.
Tayangan itu disiarkan dari Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta melalui satelit ke seluruh Indonesia. Siaran tersebut mengudara tiap hari di frekuensi 182,25 megahertz VHF dari pukul 07.00 hingga 16.00.
Setengah jam kemudian, tayangan diulang agar siswa yang sekolah pagi bisa mengikuti acara yang ditayangkan hari itu. Siaran biasanya berisi berbagai pelajaran seperti fisika, matematika, ekonomi, sejarah, hingga pendidikan inovasi mengajar bagi guru.
Ruang MCR di SMKN 1 Cimahi merupakan salah satu stasiun relai Televisi Edukasi (TVE), yang baru diresmikan 20 Januari lalu oleh Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Ace Suryadi. Pada saat bersamaan, diresmikan pula 11 stasiun relai lain di 11 kota dan kabupaten di seluruh Jawa Barat.
Sejak proyek TVE diluncurkan pada 2 Oktober 2004, hingga kini stasiun relai yang dioperasikan di seluruh Indonesia sudah berjumlah 46 buah. Beberapa stasiun relai didirikan di daerah perbatasan atau daerah terpencil seperti di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Papua.
Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan program ini untuk meme-ratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Siswa diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan menonton ta-yangan pendidikan dari TVE di sekolah atau di rumah masing-masing. ”Dengan demikian, mereka mendapat pelajaran dari guru yang bagus dengan metode pelajaran yang bagus pula,” kata Ace.
Ace menjelaskan, upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan cara ini telah dijalankan juga di Cina, Malaysia-, Vietnam, dan Thailand. ”Mereka sukses-,” ujarnya. Untuk mendukung upaya itu, secara keseluruhan nantinya diharapkan berdiri 400 stasiun relai di seluruh Indonesia.
Upaya mencerdaskan siswa lewat TVE itu agaknya belum tampak berhasil baik. Banyak kendala teknis maupun nonteknis yang masih menyelimutinya. Dari cerita Debi Robiansyah, misalnya. Siswa kelas dua SMKN 1 yang tinggal di kaki gunung di Desa Padalarang itu--sekitar 10 kilometer dari SMKN 1 Cimahi—tak bisa menikmati tayangan TVE. Televisi di rumahnya cuma se-sekali bisa menangkap gambar. Itu pun goyang dan bersemut. ”Suaranya tak pernah ketangkap,” katanya.
Kisah serupa datang dari Tasikmalaya-, Jawa Barat. Masyarakat di sana tak dapat menangkap jernih program TVE yang dipancarluaskan dari SMKN 2 Kota Tasik-malaya dalam radius 15 kilometer. ”Frekuensi harus segera beralih ke UHF agar bisa ditangkap di mana pun,” kata Endang Suherman, Kepala Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.
Kendala lain adalah isi acara TVE di-nilai kurang menarik dan kurang mendukung materi pendidikan formal. Tak mengherankan bila Didi Indrayana, Wa-kil Ketua Bandung Cyber Community- (BCC)—komunitas yang melakukan pemantauan efektivitas televisi pendidikan—berencana memproduksi siaran lokal yang punya kaitan erat dengan pelajaran formal.
Belum lagi hambatan ekonomi. Masya-rakat pedesaan dan daerah terpencil praktis perlu memiliki televisi dan para-bola agar bisa menonton siaran TVE. ”Jangankan membeli parabola, ba-ngunan sekolah saja sudah banyak yang mau roboh. Sarana lainnya juga sangat- buruk,” kata Didi, yang juga Kepala Sekolah SMKN 8 di Kota Bandung.
Sungguh sayang, memang. Padahal program itu menghabiskan dana yang tidak sedikit dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Meski program itu sa-ngat baik, oleh sebagian orang dianggap bukan merupakan prioritas utama. ”Mengapa pemerintah tak mempriori-taskan memperbaiki bangunan sekolah saja?” kata Didi, ”Dengan dana itu, berapa ribu sekolah yang mau roboh bisa diperbaiki?”
Perihal dana ini memang bukan soal gampang. Apalagi, bagi sekolah-sekolah yang menjadi stasiun relai, Departemen Pendidikan Nasional tak menyediakan subsidi. Mereka diharapkan bisa swadana atau minta bantuan pemerintah setempat. SMKN 1 Cimahi, misalnya, membangun stasiun relai dengan biaya sendiri. ”Kami mengeluarkan Rp 200 juta,” ujar Kepala Sekolah, Joko Santoso.
Rinny Srihartini, Olivia (Jakarta), Rambat Eko Budi (Tasikmalaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo