Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tenaga asing & negri yang ramah

Pelaksanaan intruksi menteri agama no.4/1981 tentang pencatatan tenaga asing keagamaan di indonesia mengalami kelambatan. ada yang masuk secara tidak resmi dan juga ada yang masuk sebagai turis. (ag)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang seret pada pelaksanaan Instruksi Menteri Agama No. 4/1981. Ini tentang pencatatan tenaga asing keagamaan di Indonesia. Sampai batas waktu yang ditentukan, akhir April, yang masuk ternyata baru dari tiga provinsi: Riau, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Padahal dengan instruksi itu, yang bergerak bukan lagi Dirjen Bimas masing-masing agama. Tapi kepala Kanwil masing-masing daerah. Dan instruksi itu pun diturunkan karena permintaan pencatatan selama ini rupanya dinilai kurang membuahkan hasil -- sejak SK Menteri Agama 70 & 77 tahun 1978, yang mengatur penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga agama. Ini semua menurut H.R. Djatiwijono SH, Humas Departemen Agama. Toh kesulitan bisa sedikit dipahami cukup banyak kabarnya misionaris asing yang datang dengan visa turis -- istimewa dari sekte kecil. Dan Irian Jaya disebut-sebut sebagai "pusat". Dari 26 tenaga asing Gereja Mormon, misalnya, tahun lalu dipulangkan 20 orang karena masuk dengan cara itu. "Dalam hal itu mungkin pihak Kanwil tidak bekerjasama dengan Imigrasi," dugaan sang Humas. Yang menarik: keberatan kepada aktivitas "gereja asing" seperti itu juga datang dari kalangan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia. "Terus terang mereka memang mengganggu sekali bagi kami," kata Dr. S.A.E. Nababan, Sekjen DGI kepada TEMPO. Soalnya mereka itulah yang suka kasak-kusuk ke rumah-rumah orang, dan biasanya merupakan permukaan yang menyolok dari "kristenisasi". Bahkan Nababan pernah mengeluh, tenaga asing yang tidak direkomendasi DGI justru direkomendasi Departemen Agama sendiri. Sebaliknya P.N. Harefa, Dirjen Bimas Kristen departemen tersebut, menganggap selayaknya DGI hanya beranggota 53 gereja (meskipun gereja-gereja besar), sementara jumlah gereja di Indonesia tak kurang dari 275 buah (TEMPO, 31 Desember 1977). Yang juga menarik, pada sang Dirjen sendiri ternyata sudah ada ancar-ancar jumlah tenaga asing di kalangan Protestan: 900 orang. Hanya, betapa jumlahjumlah tidak selalu persis, terlihat misalnya dari catatan misionaris yang ditanggung DGI: 118 orang. Sementara dari laporan tiga provinsi yang baru masuk saja sudah tercantum jumlah 344 orang. Dari pihak agama-agama lain: R.E. Sasongko Praptomo SH, Kasubdit Penerangan Agama Budha menyebut adanya hanya dua tenaga asing untuk umat Budhis -- dari Muangthdi. Juga dua orang untuk Hindu, menurut Gde Pudja MA, Dirjen Bimas Hindu & Budha. Sedang dari tiga provinsi saja sudah tersebut 12 tenaga luar negeri untuk Budha -- sementara untuk Hindu belum masuk. Ini mungkin juga karena bercampur-baurnya identitas agama antara Budha dan Konghucu misalnya -- baik dalam pengakuan maupun amalan, khususnya di kalangan keturunan Cina -- selain - karena prosedur masuk yang "tidak tercatat". Yang paling sedikit, dilihat dari persentase pemeluk memang tenaga asing di kalangan Islam: hanya 14 orang di tiga provinsi. Di tengah umat Katolik sebaliknya -- tercatat 183. Sedang untuk seluruh Indonesia, menurut Ign. Djoko Moejono, Dirjen Bimas Katolik, semula terdapat 6.252 orang. Tapi dengan prosedur pemberian status WNI, yang 5.003 sudah bisa jadi warga negara kita -- tinggal yang 525. Yang masih asing itu terdiri baik uskup agung (1 orang), uskup (5 orang), selain pastor, bruder dan suster. "Hal tersebut memang belum bisa kami hindari," kata sang Dirjen. "Tapi Indonesianisasi memang sudah merupakan program, dengan menaiknya jumlah hasil sekolah-sekolah seminari kita." Di kalangan DGI tenaga asing sudah lama tidak digunakan untuk jadi imam atau jabatan kepemimpinan lain -- menurut Dr. S.A.E. Nababan. "Untuk itu kami sendiri sudah bisa mengatasi." Mereka misalnya datang sebagai tenaga dosen, juga untuk Lembaga Pekabaran Injil. Sedang DGI sendiri juga mengirimkan tenaga ke luar negeri -- bukan untuk belajar, melainkan dalam rangka kerjasama. Sampai sekarang 30 orang, menurut Nababan. Di kalangan berbagai aliran kecil, sebaliknya, tenaga asing bisa sangat vital. Kelompok Clarismatic misalnya, yang di Jakarta mengadakan kebaktian di Hotel Aryaduta (sebelumnya di Hotel Indonesia Sheraton) dengan sekitar 400 hadirin pribumi dan asing, punya sekitar 30 misionaris luar negeri. Mereka, yang dikabarkan segera akan punya gereja di Jl. Menteng Raya, di tanah seharga Rp 600 juta, menyatakan "tidak ada kesulitan dengan agama lain --juga tidak ada diskriminasi dari Departemen Agama" -- menurut Curtis Myers, pastornya. Di sini sekarang sudah diangkat pastor lain yang pribumi, Suwandoko. Di Gereja Mormon, juga Djumadi Diantara diangkat jadi 'presiden' untuk cabang Jakarta Selatan. Ada komentar sang presiden tentang SK 77 yang mengatur bantuan asing (termasuk bantuan tenaga agama) itu. "Harus diakui, itu membuat tenaga misionaris kita sendiri berkembang," katanya. Namun Mormon (dengan pengikut 4.000-an di seluruh tanah air, dan 5 juta di dunia), maupun Charismatic, maupun Saksi Jehova (yang dilarang Jaksa Agung lima tahun lalu karena sangat agresif, menurut Dirjen Kristen), barulah sebagian kecil. Ada cukup banyak jenis izin tinggal di Indonesia, dan rupanya juga jenis izin masuk -- di negeri nan ramah tamah ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus