Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Pencemaran Nama dalam UU ITE Tak Berlaku Bagi Pemerintah-Korporasi, Begini Pertimbangan MK

MK menilai adanya batasan dalam pasal menyerang kehormatan di UU ITE juga untuk membatasi kewenangan aparat penegak hukum.

30 April 2025 | 10.34 WIB

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo  didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. ANTARA/Fauzan
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal delik pidana ihwal menyerang kehormatan dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tak berlaku bagi pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi. Hakim MK Arief Hidayat mengatakan perlu adanya ketegasan terhadap frasa "orang lain" dalam pasal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah menyatakan orang lain yang dimaksud ialah individu, bukan lembaga, sekelompok orang, maupun korporasi. Arief menilai adanya batasan dalam pasal menyerang kehormatan di UU ITE juga untuk membatasi kewenangan aparat penegak hukum.

"Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa orang lain," kata Arief dalam sidang perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, dipantau ulang secara daring pada Kamis, 30 April 2025.

Selain itu, Mahkamah berpandangan adanya penegasan frasa "orang lain" dalam pasal menyerang kehormatan di UU ITE untuk memberikan kejelasan pemenuhan kewajiban negara dalam melindungi, hingga menegakkan hak asasi manusia sesuai amanat konstitusi. Dia menyatakan, perbuatan menyerang kehormatan tidak dapat dipidana bila ditujukan untuk kepentingan masyarakat atau terpaksa membela diri.

"In case terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat merupakan hal yang penting sebagai sarana penyeimbang atau kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis," ujarnya.

Permohonan uji materi Pasal 27A Undang-Undang ITE diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, warga Karimunjawa. Dia menggugat sejumlah frasa di beberapa pasal dalam revisi Undang-Undang 2024 karena dinilai multitafsir dan berpotensi disalahgunakan. Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) mengatur larangan pencemaran nama baik melalui sistem elektronik. Adapun Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) mengatur penyebaran kebencian.

MK dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang ITE tersebut. MK menyatakan sejumlah norma tersebut inkonstitusional secara bersyarat agar tidak melanggar prinsip kepastian hukum dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin konstitusi.

MK juga menetapkan kasus dugaan tindak pidana yang muncul akibat adanya pasal tersebut masuk delik aduan. Dengan begitu, menurut MK, aparat baru bisa memproses kasus tersebut dari individu yang merasa dirugikan jika menerima pengaduan secara langsung. Adapun badan hukum, menurut MK, tidak punya kedudukan hukum untuk mengajukan aduan dalam kasus pencemaran nama baik di ruang digital.

Lebih lanjut, Mahkamah menafsirkan frasa “suatu hal” yang digunakan dalam pasal tersebut secara lebih ketat agar tidak menjadi pasal karet. Istilah tersebut dinilai harus dimaknai sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.” MK menilai perlu ada pembatasan agar norma hukum tidak tumpang tindih antara pencemaran dan penghinaan biasa.

Adapun terhadap Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2), MK menilai frasa “tanpa hak” tetap diperlukan untuk melindungi kelompok profesi tertentu, seperti jurnalis dan peneliti. Unsur ini tidak boleh ditafsirkan sebagai pembatasan terhadap siapa yang boleh berbicara, melainkan sebagai syarat hukum dalam konteks perbuatan yang melawan hukum.

MK memberikan batasan terhadap pasal yang mengatur ujaran kebencian agar tidak menjerat ekspresi sah. Menurut MK, informasi elektronik hanya dapat dipidana jika secara substansial memuat hasutan berdasarkan identitas tertentu, dilakukan secara sengaja, terbuka, dan menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi atau kekerasan.

Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan editor: Penyebab Perokok Elektrik Meningkat

Novali Panji Nugroho

Lulus dari Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bergabung dengan Tempo pada September 2023. Kini menulis untuk desk Nasional, mencakup isu seputar politik maupun pertahanan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus