Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANAU Tondano, di Sulawesi Utara meluap. Empat kecamatan,
meliputi puluhan desa yang mengitari danau yang bergaris
keliling 30 kilometer itu, terendam. Ini banjir yang paling
ganas sejak 1973.
Akibatnya tak kurang dari 1.000 rumah penduduk dari 19 desa di
Kecamatan Tondano, Eris, Kakas dan Romboken terbenam. Sekitar
600 hektar sawah dan puluhan ladang rusak. Air memanjat sampai 1«
meter dari ketinggian biasa.
Menurut pengalaman, pada banjir tahun-tahun sebelumnya, genangan
air biasanya bertahan cukup lama. Pada banjir 1977 misalnya, air
yang menggenangi desa setinggi setengah meter baru surut setelah
beberapa bulan. Tahun berikutnya, 1978, air mencapai satu meter
dan baru surut enam bulan kemudian. Genangan air pada banjir
kali ini diperkirakan belum akan mengering sampai tiba musim
banjir tahun depan. Apalagi di daerah itu musim hujan masih
berlangsung.
Agaknya penyebab meluapnya permukaan air Danau Tondano ini
karena penggundulan hutan juga. Hutan di sebelah timur danau
yang semula menghias Pegunungan Lembean, telah disulap oleh
penduduk Kecamatan Eris dan Kombi menjadi perkebunan cengkih.
Hutan-hutan di Gunung Tampusu dan Lengkoan di sebelah barat
danau juga nyaris punah.
Bangkai Kuda
Lima belas tahun lalu ketika sisa-sisa G30S/PKI di bawah
pimpinan Lep Malonda melarikan diri, masih sempat bersembunyi di
hutan-hutan lebat Pegunungan Lembean. Tapi waktu menyerah tahun
lalu, mereka keluar dari hutan yang lain di Minahasa Selatan
karena Lembean saat itu sudah mulai gundul.
Beberapa tahun lalu Pemda Kabupaten Minahasa pernah mengajak
penduduk sekitar danau untuk pindah. Mereka menolak, walaupun
dijelaskan mereka sedang berada dalam ancaman luapan air Danau
Tondano. Penduduk malah menuding pintu air PLTA Tonsealama
sebagai penyebabnya. "Pintu air ditutup untuk perbaikan PLTA,
akibatnya banjir. Lebih baik tak ada listrik daripada menderita
seperti ini," kata seorang pengungsi berkacak pingang ketika Pjs
Bupati Minahasa, Drs. .P. Lowing, meninjau lokasi banjir pekan
lalu.
Di lain pihak, Rumbayan yang 23 tahun menjaga pintu air PLTA
menyalahkan penduduk yang mencemari Sungai Tondano. Sungai
inilah yang menggerakkan turbin-turbin PLTA. Sejak enam tahun
belakangan ini Rumbayan harus sibuk membersihkan sampah yang
menyerbu pintu air. Mulai dari bantal guling bekas, sampai
bangkai kuda.
Untuk mengatasi pencemaran itU, sejak dua tahun terakhir ini
sebuah kapal keruk kecil milik PLN bekerja keras di Danau
Tondano. Tapi kurang berhasil karena endapan lumpurnya sudah
mencapai ketebalan dua meter. Endapan itu selain terdiri dari
sampah penduduk, juga longsoran tanah dari Gunung Tampusu dan
Lembean yang terjadi setiap musim hujan.
Danau Tondano kini bukan lagi danau yang cantik dan jinak. Tidak
pula menjadi kebanggaan sebagaimana disebut dalam lagu-lagu
rakyat Minahasa. Dulu danau ini menghasilkan ikan mujair dan
payangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo