Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAH, OSIS itu cuma berapa orang. Nggak bisa, deh, kalau anak-anak sudah bergerak semua, mau melarang. Kewalahan sendiri," kata seorang pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah Menengah Teknologi Penerbangan (SMTP) Gutama 1. Di pelataran parkir Kanwil Dep. P&K DKI Jakarta, Sabtu sore pekan lalu sesudah menghadiri pertemuan antar sekolah yang dianggap terlibat perkelahian (dihadiri kelima Danres Kepolisian lima wilayah, Wagub-DKI Sardjono Soeprapto, para kepala sekolah, guru dan pengurus OSIS), kata-kata yang bernada sama diucapkan juga oleh para pengurus OSIS lain--dari SMAN Vl atau SMTP lain, misalnya. Pertemuan kerukunan seperti itu memang hampir selalu dilakukan--sesudah perkelahian antar sekolah. Dan biasanya anak-anak sekolah tak lagi ribut--untuk beberapa waktu. Satu setengah bulan, diawali pertengahan Oktober lalu sampai akhir November ini, seakan acara paling mengundang perhatian di Jakarta memang perkelahian pelajar itu. Mengusut sebab musababnya, boleh dibilang "seperti mengurai benang ruwet," menurut Wagub Sardjono. Yang berhasil dilacak adalah misalnya perkelahian SMAN Vl dengan SMAN XXVI yang disebabkan pertandingan sepakbola. Penjaga gawang SMAN Vl tersenggol pemain depan SMAN XXVI. Entah merasa salah atau memang sudah lelah, si penyenggol keluar lapangan. Anak-anak SMAN Vl mengira dia mau memanggil kawan-kawannya. Dan perkelahian pun meletus. Meski bisa dilerai waktu itu juga, suasana permusuhan di hari-hari berikutnya tetap ada. Lucunya, yang kemudian berbaku hantam malahan tetangga SMAN Vl: SMAN IX dan Xl. Sebab, ketika SMAN Vl minta bantuan melawan SMAN XXVI, yang bersedia hanya SMAN IX. SMAN Xl tak menanggapi, malahan diejek oleh SMAN IX. Tapi perkelahian-perkelahian berikutnya sama sekali tak berhubungan dengan kasus tersebut. Rabu dan Kamis dua pekan lalu sejumlah siswa SMPN 114 (sekali lagi Sekolah Menengah Pertama), ST Bhayangkara dan ST DKI Jakarta, berkelahi pula. Untung tak ada buntutnya. Juga perkelahian SPM (Sekolah Pelayaran Menengah) Paskalis dan SPM Sam Ratulangi hari itu juga tak berkepanjangan. Tapi perkelahian SMAN Vl dan STM Tanjungpriok, Kamis dua pekan lalu, gara-gara pertandingan voli kedua sekolah itu, berbuntut agak panjang. Menurut yang dikisahkan beberapa anak SMAN Vl, mereka memang keburu nafsu. Ketika siswa STM Tanjung priok bubar sehabis berkelahi, sore hari beberapa anak yang mereka duga siswa STM tersebut yang sedang di Blok M Kebayoran Baru, dihajar. Celakanya, yang mereka hajar adalah siswa Sekolah Menengah Teknologi Gutama I. Hari berikutnya hampir saja terjadi perkelahian massal antara anak-anak SMTP tersebut -- plus siswa SMTP Negeri--melawan anak-anak SMAN Vl di sekitar terminal Blok M itu juga. Kemudian sampai Senin pekan lalu tak terjadi insiden. Bahkan Selasa sore keesokan harinya dibacakan pernyataan bersama organisasi-organisasi OSIS SMTP Negeri, SMTP Gutama I dan SMAN Vl: mereka tak akan berkelahi. Tapi sia.-sia. Sore itu pula mereka ramai lagi. Konon ada anak SMAN VI dipukuli anak SMTP di terminal Blok M itu juga. Entah benar anak SMTP atau bukan, menurut anak-anak SMTP anak-anak SMAN VI yang mulai lebih dulu. Dan Rabunya, sore, terjadi lagi perkelahian keroyokan di terminal sialan itu. Berhasil dilerai polisi. Yang hebat, Kamis siang keesokannya baku hantam keroyokan tak terhindar lagi -antara SMAN VI melawan SMTP Negeri dan SMTP Gutama 1. Kores Metro 704 Jakarta Selatan, yang memang sejak hari sebelumnya sudah siaga, menggiring 123 siswa--yang setelah diusut, 49 dari mereka ditahan karena terdapat bukti-bukti: membawa kayu pemukul atau senjata tajam, misalnya. Perkelahian terbesar itu memang menyebabkan sejumlah siswa, dari SMTP maupun SMAN, luka-luka antara lain patah tangan. Kanwil P&K DKI memutuskan Jumat dan Sabtu pekan lalu SMTP Negeri, SMTP Gutama I dan SMAN VI diliburkan -- untuk mencegah mereka berkumpul-kumpul. Setelah pertemuan Sabtu sore di Kanwil seperti telah disebutkan, bahkan liburan diperpanjang sepekan penuh--sampai Sabtu ini. Tiga sekolah lain malahan ikut diliburkan: SMTP Gutama II di Cawang, STM Jakarta III dan STM Cawang. Soalnya, satu-dua siswa sekolah tersebut ternyata ada di antara 49 yang di tahan. Dibanding sejumlah peristiwa perkelahian pelajar di daerah, keributan 1 1/2 bulan di Jakarta ini memang nampak kolosal. Di daerah, biasanya, perkelahian terbatas sewaktu kejadian. Malahan orang daerah nampaknya tak ambil pusing peristiwa perkelahian di Jakarta --syukurlah. Toh di Ujungpandang pekan lalu terjadi baku hantam antara SMPN VII dan STN I, II dan III. Awalnya soal pacaran (ingat, semuanya anak SLP). Tapi cepat dapat diredakan, meski sekitar 70 siswa STN sempat melempari gedung SMPN VII. Menurut catatan Kanwil P & K Ujungpandang, perkelahian itu merupakan yang pertama kali selama 10 tahun terakhir ini. Jadi di daerah memang lebih jarang, syukur sekali lagi. Misalnya di Surabaya, perkelahian yang seru terjadi 6 tahun lalu. Itu waktu antara SMAN IV dan STMN. Perkaranya: saling desak dalam kereta api -- dan sekitar 500 sisvva STMN mengepung SMAN IV, hingga siswa sekolah tersebut yang seharusnya pulang siang, terpaksa pulang sore. Untung dengan bijak dan cepat polisi turun tangan. Selesai. "Sejak itu tak ada lagi perkelahian sampai kini," tutur Letkol (Polisi) Dra. Paula Bataona, komandan Binmas Kowiltabes Surabaya. "Perkelahian kecil banyak. Tapi tak sampai menjadi besar." Tapi di Semarang, awal November terjadi penusukan terhadap seorang siswa sebuah SMA. Syukur lagi: pelakunya bukan pelajar. Tapi entah telah mendapat info dari Jakarta atau memang menduga bisa terjadi perkelahian, pihak kepolisian Semarang bulan ini melarang diselenggarakannya pesta disko. Di SMAN I Semarang nyaris terjadi hal yang lain lagi. Anak-anak mogok, memprotes pungutan sekolah di luar SPP. Ini kedengaran agak pintar sedikit -- dan untung hanya sekitar seminggu. SeKlah pihak sekolah membatalkan pungutan itu (jadi mereka mundur), Senin pekan lalu sekolah itu kembali normal. Pun hanya tiga perkelahian pelajar yang agak berarti terjadi selama 10 tahun terakhir ini--di Yogyakarta. Terakhir, pertengahan September lalu, antara SMPP (Sekolah Menengah Pertama Pembangunan) dan SPbMA (Sekolah Perkebunan Menengah Atas, tempat belajar Bagyo dan Iskak dulu). Perkaranya: sejumlah pelajar SPbMA yang pulang praktek membawa cangkul diejek siswa SMPP--kedua sekolah ini berdekatan, hanya dipisah jarak sekitar 150 m. Agak jengkel, ada siswa SPbMA melempar batu. Beberapa hari kemudian datang serombongan siswa SMPP ke sekolah SPbMA mencari si pelempar. Tak terjadi perkara: pihak sekolah yang didatangi tak menanggapi, dan si pendatang cepat pergi. Tapi sorenya dua siswa SPbMA dihajar para siswa SMPP. Dan esoknya meledaklah pertempuran: sejumlah besar siswa SPbMA menyerbu sekolah SMPP, dan melempari batu. Toh polisi yang cepat menguasai keadaan waktu itu berhasil mendamaikan kedua sekolah, tanpa buntut panjang. "Kami guru-guru bisa menguasai murid untuk tak balas dendam," kata seorang guru SPbMA. "Dan dalam penyelesaian tak kami singgung-singgung siapa salah, siapa benar. Bandung--hanya 180 km dari Jakarta --pun terasa aman. Kejadian pertengahan Oktober lalu, yang diberitakan sebagai perkelahian massal, ternyata tak benar. Waktu itu sekolah-sekolah di bawah Yayasan Karya Pembangunan (18 SLTP plus 14 SLTA) mengadakan pekan olahraga dan kesenian--dan hanya ada kericuhan sedikit seusai upacara pembukaannya di SMA KP Bale Endah: seorang siswa SMA tersebut berhantam dengan SMA KP Ciparay, perkara senggolan bahu. "Cuma sesaat, tak ada perkelahian massal, tanpa buntut," kata Ade Mulyadi, ketua OSIS SMA KP Bale Endah. Yang agak menyerupai peristiwa di Jakarta adalah perkelahian pelajar di Tanjungkarang, Lampung, Jumat pekan lalu. Oleh sebab yang belum jelas, hari itu sejumlah pelajar SMA I mendatangi SPGN I. Terjadi perkelahian ramai, juga pengrusakan gedung sekolah. 6 pelajar SMAN I ditahan. Yang unik, Senin lalu kemudian siswa SMAN I berdemonstrasi di sekolah sendiri. Menempel plakat-plakat, antara lain berbunyi: "Marilah kita hidup seperjuangan dan sepenanggungan. Apakah penjara itu tempat pelajar? " Benar saja, akhirnya pelajar yang ditahan dilepas oleh polisi. "Tapi perkaranya akan tetap disidangkan," kata Danwil 61 Lampung, Letkol Pol. Ridwan. Di Medan pun perkelahian pelajar nampak cepat bisa diatasi. Bahkan di kota yang cukup banyak kekerasan ini ternyata tak cukup sering ada perkelahian pelajar. Tembak-menembak di SMAN I tahun lalu diselesaikan dengan peringatan keras terhadap seorang pelajar yang menjadi biangnya. Dan anak itu dengan sukarela keluar sekolah. Perkelahian pelajar yang berarti kemudian baru terjadi akhir Oktober lalu, gara-gara cewek. Ada yang melempar batu kepada cowok SMA Imanuel, yang datang menemui cewek SMAN 1. Lalu terjadi perkelahian. Sebentar - guru-guru cepat bertindak, memang. Tapi esoknya, sekitar 100 siswa SMAN I sepulang sekolah mendatangi SMA Imanuel. Untung polisi cepat tahu. "Dan sekarang kami sudah berbaikan lagi," tutur Taripar Situmeang, ketua OSIS SMAN 1. Agaknya pelajar di daerah--meski juga mudah disulut, seperti umumnya remaja di mana-mana--lebih gampang berdamai. Kecuali perkelahian pelajar di Solo dengan nonpelajar--Rabu pekan lalu, yang ternyata berbuntut panjang dan luas. Seorang pemuda keturunan Cina keserempet sepeda seorang pelajar SGO (Sekolah Guru Olahraga). Mereka berkelahi. Si WNI berhasil melukai si SGO -- dan melihat massa mengerumuninya, ia lari. Siswa SGO marah. Bersama sejumlah teman ia mencari si WNI. Tak ketemu. Kemarahanpun dilampiaskan dengan melempari batu rumah dan toko-toko Cina. Sebelum aparat keamanan menguasai keadaan benar, peristiwa -ih! -- telah berkembang menjadi aksi rasial. Kabarnya sampai hari Ahad yang lalu sejumlah besar toko di Solo berantakan. Hal seperti itulah yang dikhawatirkan Wagub Sardjono Soeprapto, di pertemuan Sabtu pekan lalu. Kepada sejumlah pengurus OSIS ia memperingatkan: bisa saja "orang lain" memanfaatkan perkelahian mereka, sehingga peristiwa berkembang menjadi bukan lagi persoalan pelajar atau sekolah. Jadi dibanding yang di Solo, perkelahian pelajar di Jakarta terasa belum gawat benar--syukur lagi. Apalagi dengan menghitung jumlah SLTA dan SLTP di DKI ini, ternyata persentase sekolah yang terlibat perkelahian tak banyak. Menurut catatan Kanwil P & K DKI, kini ada 596 SLTP (191 negeri) dan 369 SLTA (115 negeri). Dan dari tahun 1976, perkelahian yang tercatat paling gawat terjadi di tahun 1976: sekitar 70 kali, dan melibatkan 50 SLTP/SLTA. Tahun 1978 hanya tercatat- 25 kasus, rnelibatkan 21 sekolah. Tahun 1979 menurun lagi: hanya 11 kali, melibatkan 18 sekolah. Lalu tahun ini, sampai dengan perkelahian Kamis pekan lalu, tercatat 30 kali, melibatkan sekitar 30 sekolah. Yang menarik: hanya sekolah tertentu saja biasanya yang menjadi awal keributan. Misalnya tiga SMA Bulungan--yang sebetulnya berasal dari satu sekolah. SMAN VI berdiri 1952, kemudian membentuk cabang yang pada 1958 diresmikan sebagai SMAN IX. Setahun kemudian dilahirkan pula SMAN XI. "Jadi sebenarnya mereka saudara sekandung," kata Mahmud Jaya, guru kesenian SMAN VI. SMAN Bulungan ini memang dikenal sebagai sekolah favorit. Sejumlah anak pejabat tinggi, sipil maupun militer, sekolah di sini--meski baik kepala sekolah, pengurus OSIS maupun siswa yang lain menyatakan tak tahu benar jumlah anak pejabat itu. Dalam pergaulan sekolah, menurut kepala sekolah ketiga SMA itu, sama sekali tak terasa menonjol soal orang tua yang pejabat--meski tampak jelas mayoritas mereka dari keluarga kaya. Tidak berarti sekolah-sekolah itu sumber keributan. Menurut Kepala Sekolah SMAN XI, Ilham, selain banyak lulusannya diterima di perguruan tinggi. Proyek Perintis 1, beberapa kali siswanya memenangkan lomba karya ilmiah. Terakhir, April tahun ini, mereka keluar sebagai salah satu pemenang lomba semacarn yang diselenggarakan Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia. SMAN VI lain lagi: terkenal sebagai gudang artis. Di situ kebetulan bercokol Rano Karno, Yessy Gusman, juga lis Sugianto. Adapun SMTP Negeri, juga masih di Kebayoran, didirikan 1954 dan kini punya 597 siswa (17 wanita), memang lain dibanding SMA Bulungan itu. Tachronie Ramlan, kepala sekolah, punya kesan "Mereka seperti punya perasaan agak rendah berhadapan dengan anak-anak SMA," katanya kepada TEMPO . "Ini mungkin karena hanya SMA yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Anak sekolah teknologi tidak." Lulusan SMTP kebanyakan bekerja di perusahaan penerbangan dan PT Nurtanio--itu pabrik pesawat terbang. Sebetulnya di sekolah ini disiplin cukup terjaga. Bila ada murid absen tiga hari, orang tua langsung dihubungi. Jam sekolah pun cukup panjang: 7.30-14.00. Sedang kegiatan olahraga, kesenian,drum band, menurut Tachronie selalu banyak pengikutnya. Juga kegiatan keagamaan. Ada sembahyang Jumat di sekolah, bersama umum. Bahkan perayaan Natal tahun ini untuk SLTA se-Jakarta Selatan dikoordinasi SMTP ini. Lebih dari itu, di sini bersekolah anak bungsu Presiden Suharto: Utomo Mandalaputra, kelas II jurusan Listrik dan Instrumen Pesawat Terbang--meski sebagian besar siswa datang dari orang tua kelas menengah ke bawah. "Ini bisa dilihat bila ada rapat orang tua murid," tutur Tachroni pula, yang anaknya sekolah di SMA Bulungan. "Rapat orang tua murid SMA, halaman sekolah selalu penuh mobil. Rapat di sini, orang tua murid kebanyakan naik kendaraan umum." Bagus. Ada cerita dari STM Poncol--yang suka terlibat perkelahian. Akhir-akhir ini ia pun disebut-sebut sebagai tersangkut. "Wah, anak-anak marah-marah," kata Krisbanu, kepala sekolah. "Untung bisa saya kendalikan. Maunya mereka, hendak menyerbu koran yang memberitakan itu" . . . Soalnya, sekolah teknologi yang didirikan Yayasan Pendidikan Teknologi Kramat 1963 ini, "sejak 3 tahun lalu tak pernah lagi terlibat perkelahian," kata Ricky Lilipory, seksi keamanan OSISnya. "Memang kami sering kena getah. Anak lain berkelahi, dibilang anak sekolah kami." STM Poncol punya 900 siswa dan 93 guru (kebanyakan tidak tetap). Gedungnya sangat sederhana: kalau hujan, bocor. Toh Krisbanu selalu menanamkan kebanggaan di hati siswa. Kris menyatakan setiap tahun sekolahnya meluluskan 200-an ahli teknik klas menengah. Dan dua lulusannya kini kebetulan jadi orang terkenal--meski bukan oleh prestasi sekolah: Roby Sugara dan Herman Felany, bintang film. STMN IX Tanjung priok, yang berkelahi dengan SMAN VI gara-gara pertandingan voli, berdiri 1975 sebagai cabang STMN 11. Baru tahun ini diresmikan sebagai STMN Xl. Dengan rendah hati, Ayi Mahyardinata, kepala sekolah STMN 11 yang mengurusi SPP di STMN IX ini, berterus-terang: "STM ini belum punya prestasi apa-apa. Masih baru, dan hanya punya satu jurusan: mesin." Kini ada 458 siswa, terbapi dalam 20 lokal. Tahun ini mereka menjadi juara voli seluruh SLTA Jakarta Utara. SMAN I Budi Utomo, berdiri 1946, menurut Ricardo Yacob, ketua OSISnya, "kini ingin memperlihatkan citra lain." Soalnya sekolah ini juga terkenal sebagai biang keributan bersama STMN I yang menjadi tetangganya itu. Toh menurut A. Muchyi, guru pembimbing di situ, SMAN I (dengan 2.800 siswa, 100 guru dan 56 lokal) banyak juga meraih juara dalam berbagai pertandingan olahraga. Dan perkel lhlan yang agak ramai terakhir terjadi sudah 6 tahun lalu. Tetangga yang dulu merupakan musuh bebuyutan SMAN I adalah STMN 1. Tapi sejak 1975 Endian Sudana, kepala sekolah, menerapkan disiplin ketat. Bahkan tahun 1977 tiga siswa dipecat karena tak bisa dikendalikan lagi sering adu jotos dengan teman sendiri maupun siswa sekolah lain. "Daripada rusak semuanya, lebih baik mengorbankan satudua," kata Aritonang, wakil kepala sekolah. Kini mempunyai 986 siswa. Konon STMN I ini, jelmaan sekolah teknik zaman Belanda yang didirikan 1901, dinilai baik. Letkol Polisi. W. Silalahi, Komandan Satuan Pembinaan Remaja, Mahasiswa, Pelajar dan Pemuda (Bin. Ramarda) Kodak Metro Jaya, punya teori sekitar sebab-sebab kerusuhan pelajar. "Karena kebanggaan yang terlalu besar terhadap sekolah," katanya kepada TEMPO--sehingga masalah kecil dan pribadi bisa membengkak." Juga, menurut dia, bila murid sudah bersama teman-temannya identitas pribadi hilang. Yang ada identitas kelompok. "Buktinya anak-anak yang kami tahan nampak menyesal." "Satu lagi," katanya masih. "Ada kecenderungan keras pada remaja sekarang: jika dipukul, kalau tak membalas sendiri, rasanya tak puas." RS. (psikologi) Iman Santoso Sukardi, bekas Kepala Dinas Psikologi Kodak melihat: sanksi terhadap anak-anak yang melakukan keonaran selama ini kurang tegas. "Tak hanya dengan wejangan dan kompromi," katanya. "Harus ada hukuman yang konkrit." Bisa dimengerti bahwa Wagub DKI Jakarta, Sardjono Sapoetro, menganjurkan agar anak yang memang ketahuan bersalah dikeluarkan saja. Toh Iman Santoso tak setuju andai perkelahian anak sekolah diselesaikan sepenuhnya oleh polisi. "Buat apa ada guru pembimbing, ada kepala sekolah, ada wali murid," sahutnya. Dan secara tak langsung ia menunjuk wibawa guru yang merosot. "Di pesantren para kiai masih berwibawa besar." Tentu saja. Entah tepat entah tidak perbandingannya, tapi mana ada anak pesantren berkelahi--setidak-tidaknya main keroyok? Suasana agama yang dominan tentu mempengaruhi -- bahkan bagi sekolah milik lembaga agama yang di kota. Muhammadiyah, misalnya, atau boleh jugalah Katolik. Seorang siswa SMA Katolik Theresia misalnya memberi komentar peristiwa perkelahian pelajar itu: "Saya ini untuk nonton saja sulit mencari waktu senggang." DISIPLIN tentu saja memainkan peranan besar. P.D. Soplanit, 61 tahun, kepala sekolah SMA PSKD (Kristen) I sejak 1957, bahkan menerapkan jenis disiplin yang klasik: setiap anak yang terlambat harus menghadap dia -- dan menerima hukuman cambuk tiga kali dengan bambu sebesar telunjuk di pantat. Dari dulu tak pernah ada yang protes--termasuk orang tua murid. "Malah orang tua banyak yang berterima kasih kepada saya," katanya. Pater Drost, kepala sekolah SMA Kanisius, melihat pakaian seragam merupakan pemupuk "jiwa sama rata sama rasa yang salah." Itulah mengapa tak ada keharusan berpakaian seragam di sekolahnya--seperti juga di SMA PSKD. Hanya hari tertentu anak-anak diharuskan memakai baju batik, sementara celana tetap bebas. Memang diakuinya itu bisa menimbulkan persaingan bagi yang miskin dan kaya. "Tapi di dunia ini selalu ada yang miskin dan kaya, toh," katanya. Itu "mendidik anak-anak melihat kenyataan. " Memang tak seragam cara menanamkan disiplin dan rasa tanggung jawab-kalau memang mau ditanamkan. Tentu saja dibutuhkan seorang pendidik yang kreatif--di samping tetap punya pengabdian yang klasik, agaknya. Tak bisa dipungkiri, dari sekian sebab kebrutalan anak-anak sebuah sekolah, kurangnya pengabdian para pengasuh agaknya masih bisa dilihat bahkan di belakang prestasi pengajaran yang mungkin menonjol. Idealisme--seperti yang biasa dipertahankan di sekolah-sekolah keagamaan --mungkin tidak lagi mampu mengalahkan atau menyamai semangat meningkatkan mutu pelajaran dan memperbesar jumlah lulusan. Hubungan guru-murid sendiri tak lebih jauh dari hubungan kontrak. Sedang wibawa pengajar di luar sekolah tak dipandang tinggi, misalnya oleh mayoritas siswa yang kebetulan dari ekonomi kuat. Dalam keadaan itulah, orang tiba-tiba kebingungan menghadapi kenyataan bahwa jiwa anak-anak itu sebenarnya berada di luar jangkauan mereka. Hanya otak mereka berada di kompleks sekolah. Seorang ketua OSIS, Heru Eko dari SMAN IX Bulungan, Kebayoran Baru, dalam pada itu punya pikiran orisinal juga dalam penertiban sekolahnya yang selalu ricuh--meskipun maju--itu. "Harus ada pos polisi di dekat sekolah," katanya, "biar cepat ketahuan kalau ada apa-apa. " Sampai begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo