Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menilai Undang-Undang atau UU Cipta Kerja berwatak patriarkis. Menundukkan dan menyingkirkan pihak yang tak punya kuasa. Buruh perempuan karenanya sebagai kelompok yang paling rentan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Dalam hal ini, buruh perempuan adalah kelompok tak punya kuasa, yang paling rentan ditundukkan dan disingkirkan. Dengan wataknya yang patriarkal, Omnibus Law Cipta Kerja mengabaikan kerja reproduksi yang banyak ditumpukan pada perempuan," kata Kepala Departemen Perempuan KPBI Dian Septi Trisnanti dalam keterangan tertulis Kamis 8 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pasal 88 B Undang-Undang Cipta Kerja yang mengesahkan sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu, dan satuan hasil, disebut mengarah pada sistem upah per jam. Sistem ini dikhawatirkan akan memangkas upah buruh perempuan yang beristirahat saat mengalami haid, hamil, atau pasca keguguran.
"Celah – celah pelanggaran hak cuti haid, hamil dan melahirkan yang seringkali dilakukan oleh pengusaha justru tidak diperkuat perlindungannya," tutur Dian.
Sistem upah per jam ini juga dinilai akan mengancam jumlah upah yang bakal diterima buruh, menjadi di bawah upah minimum provinsi atau UMP. Sementara keberadaan upah minimum kabupaten/ kota atau UMK berpotensi hilang.
Selain itu Dian menyoroti soal terancam hilangnya cuti tahunan yang menurutnya akan sangat memberatkan buruh perempuan, terutama di masa pandemi seperti saat ini. "Buruh perempuan di masa pandemi yang dituntut mendampingi anak belajar di rumah. Sebuah tanggung jawab yang secara sistematis dibebankan kepada perempuan namun tak pernah diakui sebagai kerja sehingga tidak pernah masuk dalam komponen upah dalam bentuk tunjangan anak."
FIKRI ARIGI