TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Waryono Karno mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi pagi ini. Dia mengaku siap diperiksa penyidik KPK terkait kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. "Hari ini kami diundang untuk memberikan penjelasan. Dan, mungkin dari penjelasan itu ditemukan hal-hal lain," kata Waryono sebelum masuk gedung KPK, Senin, 2 Desember 2013.
Saat ditanya soal pemeriksaan bosnya, Menteri Energi Jero Wacik, Waryono enggan berkomentar. "Saya baru tahu dari Anda," kata Waryono sambil berjalan masuk gedung.
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Waryono bakal diperiksa sebagai saksi. "Penyidik KPK membutuhkan keterangan dari yang bersangkutan, sehingga mengagendakan pemeriksaan sebagai saksi," ujar Priharsa. Sebagai Sekjen Kementerian Energi, Waryono memiliki kekayaan senilai Rp 41,9 miliar dan US$ 22.428. Angka itu didasari Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara, yang disampaikan Waryono ke KPK.
Nama Waryono mencuat setelah KPK menemukan uang US$ 200 ribu di ruang kerjanya. Penggeledahan kantor Waryono adalah buntut penangkapan Rudi Rubiandini ketika masih menjabat Kepala SKK Migas. KPK menemukan duit US$ 400 ribu dan motor gede merek BMW. Uang ini diduga sebagai sogokan dari Simon Gunawan Tanjaya, petinggi PT Kernel Oil Pte Ltd Indonesia, yang sekarang sedang menjalani persidangan.
Berdasarkan penyelidikan KPK, uang itu merupakan bagian dari komitmen suap US$ 700 ribu, yang diduga untuk memenangkan tender kondensat di SKK Migas. Rudi, Simon, dan kurir suap bernama Deviardi sudah ditetapkan sebagai tersangka. Waryono sudah dicegah pergi ke luar negeri. KPK masih menelisik dugaan kesamaan seri duit dolar yang ditemukan penyidik di rumah Rudi dan kantor Waryono.
MUHAMAD RIZKI
Berita Lain:
Jokowi Menang Satu atau Dua Putaran?
Anas: Mulyana Memiliki Komitmen Tinggi
Wilayah Jakarta Siang Hari Diguyur Hujan
Jenazah Mulyana W. Kusumah Dimakamkan di Bogor
Jokowi Presiden Terpilih dalam Survei CSIS