Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HyperSoar Bahan bakar adalah faktor kritis dalam setiap penerbangan. Itulah sebabnya para insinyur di Lawrence Livermore National Laboratory di California, Amerika Serikat, merancang pesawat hipersonik yang mereka namakan HyperSoar. Pesawat ini terbang pada ketinggian 35 ribu-61 ribu meter, yakni batas tertinggi atmosfer sebelum masuk ruang angkasa. Ia memiliki kecepatan 10 Mach (10.782 kilometer per jam). Pada ketinggian 61 ribu meter, HyperSoar mematikan scramjet—mesin jet penghirup udaranya—untuk menghemat bahan bakar gas hidrogen, lalu mengapung turun seperti sehelai bulu angsa yang tak berbobot. Kondisi ini terus berlangsung hingga ketinggian 35 ribu meter, saat mesin-mesin jet kembali dinyalakan. Penumpang merasakan gravitasi 1,5 G pada ketinggian terbang terendah dan perasaan tanpa bobot saat berada di ruang angkasa. Bentuk lintasan terbangnya seperti sebuah gelombang. Antara puncak pertama dan kedua berjarak 450 kilometer, yang ditempuh dalam waktu dua hingga tiga menit. Itu berarti perjalanan Chicago-Tokyo, yang berjarak 10.120 kilometer, hanya butuh 18 kali lompatan atau 72 menit. Cara terbang seperti itu selain menghemat bahan bakar juga mengatasi panas yang ditimbulkan oleh pergesekan dengan udara. Untuk tinggal landas dan mendarat, pesawat berpanjang 65 meter dan lebar 24 meter atau seukuran Boeing 777 itu tak membutuhkan landasan khusus. Dengan bobot 225 ribu kilogram, HyperSoar mampu mengangkut beban 13.700 kilogram atau 10 kali kapasitas pesawat kargo subsonik seukuran. Meski baru sketsa rancangan, HyperSoar diminati Federal Express, NASA, hingga militer. Jika dibangun prototipenya, butuh dana US$ 10 miliar atau senilai pesawat Boeing 777.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo