Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, East Angelia - Lebih dari tiga dekade berlalu sejak ditemukan ada lubang menganga di lapisan ozon. Berada di ketinggian 20-30 kilometer, lapisan ini merupakan pelindung utama penghuni bumi dari radiasi ultraviolet matahari yang merusak. Kini, para ilmuwan menemukan ancaman baru yang dapat membuat lapisan ozon kian rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para ilmuwan pertama kali memastikan ada lubang di lapisan ozon pada 1984. Mereka meyakini penggunaan senyawa kimia, seperti klorofluorokarbon dan hidrofluorokarbon--komponen yang digunakan dalam produk aerosol dan refrigerant untuk lemari pendingin, memicu kerusakan di ozon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun setelah penemuan tersebut, para pemimpin negara menyepakati Protokol Montreal untuk menghapus penggunaan senyawa kimia yang mengancam keberadaan lapisan ozon. Pemulihan lapisan ozon berjalan sangat lambat. Meski tampak stabil dalam beberapa tahun terakhir, lapisan ozon sebenarnya tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan akibat kerusakan sebelumnya.
Bahaya baru justru muncul dari penggunaan sejumlah senyawa kimia, antara lain diklorometana, yang tak diatur di dalam Protokol. Senyawa ini biasa digunakan dalam industri farmasi, pertanian, dan pembuatan cairan pengelupas cat. Laporan riset yang dimuat dalam jurnal Atmospheric Chemistry and Physics ini menyebutkan kandungan senyawa kimia itu meningkat tajam di atmosfer.
Senyawa kimia tersebut tak dimasukkan ke dalam Protokol karena awalnya dinilai tak merusak. "Daya tahan senyawa itu tadinya dianggap terlalu singkat untuk sampai ke stratosfer dalam jumlah besar," kata David Oram, pemimpin riset ini dari University of East Anglia, Inggris, seperti dilaporkan laman European Geosciences Union.
Kadar diklorometana di atmosfer meningkat hingga 60 persen dalam satu dekade terakhir. Padahal, pada periode 1990 hingga awal 2000-an, kadar diklorometana sempat menyusut. Kandungan substansi lain, 1,2-dikloroetana, yang biasa dipakai untuk memproduksi pipa PVC juga meningkat. Emisi terbesar senyawa itu diduga berasal dari sejumlah tempat di Cina, yang merupakan produsen terbesar pipa PVC.
Peningkatan emisi diklorometana sangat mengejutkan karena senyawa itu dianggap sebagai komoditas berharga tapi sangat beracun. "Seharusnya ada penanganan khusus untuk tidak melepaskannya ke atmosfer," kata Oram.
Polusi industri dan emisi senyawa kimia dalam jumlah besar itu bisa terbawa angin dingin dari Asia Timur menuju kawasan tropis. Substansi tersebut diperkirakan bisa mencapai ozon sebelum terdegradasi. "Di kawasan ini kemungkinan udara terangkat sampai ke stratosfer," kata Matt Ashfold, peneliti dari University of Nottingham Malaysia Campus.
Para peneliti melacak sumber emisi terbesar yang diperkirakan dari kawasan Asia Timur. Mereka mengumpulkan sampel lapangan di Malaysia dan Taiwan. Data yang dikumpulkan lewat pesawat komersial yang melintas di atas Asia Tenggara pada Desember 2012 hingga Januari 2014 juga menunjukkan keberadaan senyawa kimia itu pada ketinggian 12 kilometer.
Oram mengatakan pertumbuhan industri yang pesat di kawasan Asia Timur berperan besar dalam peningkatan kadar emisi diklorometana. Cina, menurut Oram, menyumbang 50-60 persen emisi diklorometana. “Sejumlah negara Asia lain, termasuk India, juga menghasilkan emisi yang signifikan,” katanya.
Oram berharap ada penanganan khusus terhadap temuan adanya senyawa perusak ozon yang ternyata tidak diatur dalam Protokol Montreal. "Kami menyoroti adanya kekurangan di dalam Protokol yang harus diperbaiki, terutama jika konsentrasi senyawa itu di atmosfer terus meningkat," katanya.
Simak artikel menarik lainnya tentang ancaman terkikisnya lapisan ozon hanya di kanal Tekno Tempo.co.
EUREKALERT | THE INQUISTR | THE WASHINGTON POST | ATMOSPHERIC CHEMISTRY AND PHYSICS | EUROPEAN GEOSCIENCES UNION