Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Huriyah Dhawy Febrianti, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) sudah terbiasa mengasah kemampuan menulis. Saat ini, dia sudah menghasilkan tiga novel dalam satu tahun. Yang tidak biasa, dia mampu menyelesaikan novelnya dengan kondisi dirinya yang merupakan tunanetra. Keterbatasan justru membuatnya gigih berkarya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mahasiswa yang akrab disapa Dhawy ini sebenarnya sudah lama ingin menulis novel. Baru pada 2019 keinginannya itu terealisasi. Sebelumnya, ia terbiasa menulis puisi. Bahkan ia berhasil menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi sejak 2017. “Aku mencoba untuk keluar dari zona nyamanku. Ikut parade menulis novel, menantang diri sendiri, ternyata setelah dijalani seru juga,” ungkap Dhawy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam karyanya, Dhawy berusaha menyuarakan berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat. Novel pertamanya yang berjudul Keterpurukan Kedua mengangkat tema kesehatan mental yang seringkali dialami oleh remaja. Sejak 2020, Dhawy aktif menjadi relawan yang menyuarakan kepentingan kesehatan mental.
Sekalipun mengangkat isu mengenai emosi dan mental, Dhawy menuliskannya dengan gaya bahasa yang ringan dan jenaka. “Pergaulan remaja itu kan sangat kental dengan bullying. Dalam novelku, aku membahas tentang bagaimana seorang teman harusnya bersikap dan menjadikan remaja itu diterima, bukan di-bully,” katanya.
Pada novel keduanya, Creative Life, Creative Project, Dhawy masih membahas kehidupan remaja. Dhawy mengangkat tema kehidupan berorganisasi. Sebagai mahasiswa yang juga aktif berorganisasi di luar kampus, Dhawy mengakui bahwa pengalaman selama berorganisasi tidak selalu baik. Terkadang, kata dia, seseorang mengalami penolakan dalam beroganisasi.
“Sebagai penulis aku ingin menyuarakan dan mengembangkan suka dukanya berorganisasi. Tidak selalu dari pengalamanku, tapi juga dari cerita teman dan pengalaman orang,” tuturnya.
Sedangkan karya terbarunya yang berjudul Real Child vs Childish membahas mengenai isu keluarga. Dhawy tertarik mengangkat isu tersebut karena masih banyaknya orang tua sering membandingkan anak-anaknya satu sama lain.
Selesaikan Satu Novel dalam Satu Bulan
Mengikuti parade menulis membuat Dhawy harus menyelesaikan novel-novelnya dalam kurun waktu 30 hari. Setiap hari, Dhawy harus menyetorkan minimal satu bab. Awalnya, hal tersebut membuatnya hampir menyerah dan menangis setiap malam.
“Sehari enggak setor bakal didiskualifikasi. Aku pernah setiap lima menit sekali ketiduran dan selalu dibangunin mama. Bahkan, aku hampir mau menarik naskah, tetapi mama selalu kasih dukungan ke aku untuk tidak menyerah dan meyakinkan kalau aku bisa,” kenangnya.
Dhawy mengaku sempat kehabisan ide dalam menyelesaikan novelnya. Berbagai upaya dia lakukan untuk memancing idenya seperti membaca buku jenaka dan menonton film. Dia pun kembali bangkit dan ide-ide mengalir untuk menyelesaikan novelnya. Novelnya kini tersedia di google playbook. Sedangkan fisiknya bisa langsung pesan ke Dhawy langsung.
Multitalenta
Selain jago menulis, perempuan kelahiran 12 Februari 2002 ini sudah lebih dahulu mengasah kemampuan menyanyi sejak lama. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar Luar Biasa, Dhawy sudah mengikuti kompetisi bernyanyi mewakili sekolahnya dan berhasil meraih juara pertama.
Mahasiswa UNAIR ini berpesan kepada remaja sekalipun memiliki keterbatasan jangan lelah untuk mencoba dan berusaha. Keresahan yang muncul karena dianggap remeh, kata dia, mungkin akan berdampak luar biasa jika rasa kekhawatiran dapat dikelola dengan baik.
Baca juga: 6 Langkah Lewati Languishing, Apa Itu?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.