Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

FKUI Bicara Bahaya Alkohol di Antara Budaya dan Pemasukan Negara

Sederet panjang dampak merugikan dari minuman beralkohol, tapi kenapa minuman itu lebih mudah diakses di banyak negara maju?

11 Maret 2021 | 19.53 WIB

Ilustrasi Minuman Beralkohol atau Minuman Keras. REUTERS/Mike Blake
Perbesar
Ilustrasi Minuman Beralkohol atau Minuman Keras. REUTERS/Mike Blake

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyebutkan sederet bahaya dari konsumsi alkohol. Mereka menilai dampak tersebut lebih merugikan ketimbang menghitung pendapatan negara dari izin edar yang diberikan terhadap sejumlah produk minumannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Murdani Abdullah, misalnya. Dia menjelaskan, tarif cukai memang menjadi aspek keuntungan material karena memberi pemasukan bagi negara. Tapi, itu dianggapnya hanya keuntungan jangka pendek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sedang dampak jangka panjangnya tidak setahun atau dua tahun. Mungkin belasan tahun, dan ada beban ekonomi yang cukup besar untuk pengobatannya,” ujar dia, dalam webinar Waspada Bahaya Minuman Beralkohol, Rabu 10 Maret 2021.

Murdani yang tergabung dalam Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu menambahkan, pada kenyataannya, konsumsi alkohol adalah masalah kesehatan global. Jumlah kematian akibat konsumsi minuman beralkohol dihitungnya sebesar tiga juta per tahun.

Selain itu, dia menyebutkan, ada sekitar 200 penyakit yang muncul yang diakibatkan oleh konsumsi alkohol. “Beban ekonomi penyakit akibat konsumsi alkohol di dunia mencapai Rp 220 triliun per tahun,” kata dokter yang sekarang praktik di Rumah Sakit Pondok Indah dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana itu.

Menurut Murdani, berbagai penelitian ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dan sudah ditinjau menyebutkan bahwa konsumsi alkohol bisa mempengaruhi saluran cerna. Mulai dari rongga mulut hingga usus besar, lambung, usus kecil, bahkan sampai hati semua bisa terganggu fungsinya karena konsumsi alkohol.

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan FKUI, Kristiana Siste, sedikit berbeda. Dia mengaku tak bisa mengelak dari adanya faktor budaya dalam konsumsi minuman beralkohol. Dia menjelaskan bahwa di negara maju, minuman beralkohol juga sangat mudah diakses.

Namun, Kristiana juga memberikan catatannya bahwa edukasi tentang bahaya konsumsi alkohol banyak dilakukan di negara-negara maju. “Mereka menyediakan tata laksana atau tempat perawatan untuk yang kecanduan dalam jumlah banyak. Termasuk skill untuk melakukan pengobatannya,” kata Kristiana. 

Jadi, Kristiana berujar, tidak bisa hanya melihat satu sisi saja. Dia menekankan peran pemerintah di negara-negara tersebut yang bergerak dan tidak diam saja. “Bahkan saya pernah sekolah di salah satu negara, mereka mendirikan pusat khusus rehabilitasi kecanduan alkohol. Termasuk edukasi ke sekolah-sekolah.”

Di Indonesia, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Rini Sekartini, menunjuk harus ada peran dari tokoh masyarakat dan agama yang bisa menjadi contoh baik untuk edukasi. Dia tak mengelak di Indonesia juga ada minuman alkohol tradisional.

“Untuk anaknya, orang tua memang harus memberikan contoh, karena di dalam keluarga yang tidak menggunakan alkohol bisa tercegah. Jadi kita edukasi saja dulu bagaimana dampak panjang dari alkohol tersebut,” ujar Rini berpraktik di RSIA Bunda Jakarta itu.

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus