Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROFESOR Sartono Kartodirdjo dengan berat hati harus berpisah dengan istri keduanya: Kampus Universitas Gadjah Mada. Guru besar sejarah itu mulai pekan ini memapaki masa pensiun, pada usia hampir 67 tahun. Ahad malam lalu, sebuah upacara perpisahan berlangsung meriah di Kampus Bulaksumur. "Beliau adalah sejarawan Indonesia terbesar di abad ini," uiar Prof. Dr. Ibrahim Alfian, Dekan Fakultas Sastra UGM, yang menyelenggarakan acara itu. Hari itu memang hari Sartono Kartodirdjo. Ahad siang, berlangsung sebuah seminar sejarah, tentang Perkembangan Pendekatan Interdisiplin dalam Studi Sejarah di Indonesia dan Asia Tenggara. Seminar perpisahan dengan Pak Sartono itu dihadiri oleh ahli sejarah dari Belanda, Jerman Barat, Amerika Serikat, Jepang, Australia, di samping peserta dalam negeri. Dua judul buku bungai rampai, yang diterbitkan Gadjah Mada Press, dipersembahkan kepada Sartono pada acara perpisahan itu. Satu di antaranya karya Sartono sendiri. Setelah kedua buku itu dibagi-bagikan, segera Pak Sartono dlserbu, diminta menerakan tanda tangannya. "Tak semua guru besar dilepas dengan acara khusus seperti ini, ada kriteria tertentu," ujar Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM. Kriterianya memang belum jelas. Namun, agaknya, kemeriahan itu adalah sebuah bentuk pengakuan atas reputasi Prof. Sartono. Selama 30 tahun terakhir, ahli sejarah ini telah melahirkan 20 buku. Salah satu karya puncaknya adalah Pemberontakan Petani Banten, buku yang diangkat dari disertasinya di Universitas Amsterdam, 21 tahun silam. "Buku itu merupakan karya yang monumental," ujar Prof. Tengku Ibrahim Alfian, doktor pertama yang dipromotori Sartono. Aspek sosiologi, ekonomi, bahkan psikologi, diracik dalam disertasi dengan pendekatan yang multidimensional. Hasil yang dicapai memang memuaskan: rekonstruksi sejarah muncul lebih utuh. Ada gambaran tentang konflik sosial di kalangan rakyat Banten di masa itu, ada keterangan tentang kelembagaan ekonomi rakyat, juga cara berpikir mereka. Dalam tesis itu, "Masyarakat luas ditampilkan sebagai pelaku sejarah," kata Ibrahim Alfian, Dekan Fakultas Sastra UGM ini. Melalui pendekatan itu, Sartono memperoleh gelar doktor dengan predikat cum laude. Pendekatan multidisiplin itu, di tahun 50-60-an, adalah sesuatu yang baru di sini. Persoalan sejarah ditampilkan oleh Sartono secara tandas, jauh dari gambaran sebuah mitos atau dongeng. Sejarah muncul bagai sebuah potret yang obyektif. Tak mengherankan bila kalangan sejarawan menyebut Sartono sebagai Pelopor Penelusuran Sejarah secara Multidisiplin. "Beliau adalah pelopor pada tingkat internasional untuk filsafat dan metode sejarah," tutur M.C. Rickleff, guru besar sejarah dari Monash University, Melbourne, Australia. Keterbukaan Sartono terhadap ilmu lain, menurut Rickleff, memang dipengaruhi oleh beberapa ahli sejarah Amerika, seperti Henry J. Benda. Namun, dalam memancangkan metodologi dan penggarapan materi, kata Rickleff, Sartono unggul dibanding pendahulunya. Selain Pemerontakan Petani Banten, karya guru besar dari Bulaksumur yang populer itu, antara lain, Protest Movements ini Rural Java (1973), Historiografi Indonesia (1981), Ratu Adil (1984), dan Modern Indonesia: Tradition and Transformation (1984). Sartono lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921. Setamat HIS, dia melanjutkan ke MULO di Surakarta. Lulus dari sekolah menengah Belanda itu, Pemuda Sartono melanjutkan masuk ke Kweekschool, sekolah guru, di Salatiga, dan lulus tahun 1941. Setamat dari sekolah guru, Sartono langsung bertugas sebagai guru HIS di Muntilan, sebuah kota kecil dekat Yogya. Di kota itulah Sartono bertemu dengan Sri Kadaryati, yang kebetulan juga seorang guru. Mereka menikah di Yogya, 1948, di sela-sela suasana perang kemerdekaan. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak. Tahun 1950, pasangan baru ini memutuskan hijrah ke Jakarta. Sartono memang tergiur bersekolah di Fakultas Sastra UI. Tahun itu juga Sartono tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Sastra UI angkatan pertama. Dia memasuki bangku universitas pada usia 29 tahun. Sambil kuliah Sartono mengajar di sebuah SMA, sementara Kadaryati mengajar di sebuah SMP. Gelar sarjana diperoleh enam tahun kemudian. Sartono sempat bekerja di MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), sekarang LIPI, sampai 1962. Tahun itu dia berangkat ke Yale University, New Haven, Amerika, dan memperoleh gelar Master dua tahun kemudian. Dari New Haven, Sartono langsung ke Amsterdam, mengambil program doktor. Gelar itu diperoleh pada 1 November 1966. Upacara perpisahan Ahad I November lalu itu sekaligus dimaksudkan untuk memperingati perolehan gelar doktor itu. Dengan kaca mata minus 13, Prof. Sartono memang tampak "seram", dan tak kenal kompromi dalam memberikan nilai. Tapi, "Sebetulnya beliau sangat menghargai pendapat yang berbeda, termasuk dari muridnya sendiri," tutur Dr. Kuntowijoyo, ahli sejarah UGM yang pernah menjadi murid Sartono. Sikapnya juga tegar. Di saat Almarhum Menteri P & K Nugroho Notosusanto yang juga sejarawan -- cenderung memaksakan versi "sejarah resmi", Sartono termasuk sejarawan yang tetap ingin mempertahankan obyektivitas sejarah dan tak mau membengkokkan diri. Di hari "wisuda" Ahad lalu itu, Sartono memperoleh kado istimewa dari kawan lamanya, Prof. Joseph Fischer. Guru besar sejarah dari California yang kini menjadi pengusaha penerbitan ini mengumumkan akan memberikan dua penghargaan tahunan, yang disebut Sartono Kartodirdjo Prize in History and Social Thought, bagi civitas academica UGM. SK pensiun Prof. Sartono sebetulnya bertanggal 1 Maret 1986. Tapi, karena kehadirannya masih diperlukan, saat pensiun itu ditunda. Dan sampai kini pun empat kandidat doktor masih berada dalam bimbingannya. Di tengah kesibukan itu, Sartono masih merasa ada yang belum kesampaian. "Sebetulnya saya sudah lama ingin menulis novel," tuturnya. Laporan Made Suarjana, Rustam Mandayun, dan Nanik Ismiani (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo