Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Ilmuwan: Logika dan Emosi Tak Mungkin Bersatu

Emosi dan logika berada di dua lokasi yang berbeda di otak.

8 Juni 2016 | 12.54 WIB

Diagram fungsi otak manusia. sciencephoto.com
Perbesar
Diagram fungsi otak manusia. sciencephoto.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Clevaland - Logika dan emosi kerap dianggap dua hal yang tak pernah bisa bersatu. Sebuah penelitian yang dilakukan peneliti pikiran membuktikan anggapan itu benar setelah mereka memindai cara kerja otak manusia.

Untuk mengetahui hal itu, Anthony Jack, peneliti sains kognitif dari Case Western Reserve University di Ohio, Amerika Serikat, menguji kemampuan otak manusia dalam mengolah logika dan empati. Ia memindai otak 45 mahasiswa ketika dihadapkan pada permasalahan sosial dan soal fisika. Pemindai bisa menunjukkan bagian otak yang aktif ketika otak manusia melakukan dua aktivitas tersebut.

"Ketika otak sibuk berempati, jaringan saraf untuk menganalisis masalah beristirahat. Pergantian ini bergantung pada aktivitas yang sedang dilakukan," ujar Jack.

Jack menganalogikan kondisi ini dengan ilusi optis ketika seseorang melihat gambar khusus. Ilusi membuat orang hanya bisa melihat foto tersebut sebagai itik atau kelinci. Tak mungkin bagi seseorang melihat kedua binatang tersebut dalam waktu bersamaan. Batasan pada indra penglihatan manusia ini disebut persaingan persepsi.

"Emosi dan logika berada di dua lokasi yang berbeda di otak," kata Jack.

Menurut Jack, keseimbangan dalam membangkitkan dua wilayah berbeda di dalam otak merupakan langkah penting dalam penyembuhan berbagai penyakit psikologis, seperti depresi dan skizofrenia.

Hasil penelitian ini juga bisa diterapkan dalam kepemimpinan di sebuah perusahaan. "Jika sebuah perusahaan ingin mengambil langkah efisien, dibutuhkan direktur berkemampuan analitis tinggi untuk menghasilkan profit besar," ujarnya. "Tanpa itu, perusahaan akan merugi."

Namun, kompensasinya, direktur yang berpegang teguh pada nalar akan kehilangan rasa empati. "Misalnya, ketika dia dihadapkan pada pilihan antara menggunakan tenaga kerja yang murah atau memecat ratusan karyawan," ujar Jack. "Tindakan yang diambilnya akan kurang menaruh perhatian pada konsekuensi manusiawi."

POPSCIENCE | AMRI MAHBUB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amri Mahbub

Amri Mahbub

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus