Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti bidang fisika Matahari dari Pusat Sains Antariksa LAPAN, Johan Muhammad, menjelaskan bagaimana Matahari berdampak pada kehidupan Bumi. Menurutnya, bintang terdekat dengan Bumi yang juga sebagai pusat tata surya itu tidak hanya menjadi sumber energi bagi makhluk hidup di Bumi, tapi juga penggerak utama cuaca antariksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuaca antariksa merupakan istilah yang mengacu pada kondisi dinamis yang sangat bervariasi di lingkungan geoantariks. “Kondisi di angkasa luar yang dipengaruhi oleh aktivitas Matahari dapat berdampak bagi kehidupan dan teknologi antariksa,” ujar dia dalam acara Webinar Cuaca Antariksa, Kamis, 16 September 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh dari cuaca antariksa di antaranya variabilitas pancaran gelombang elektromagnetik dan partikel energi di ruang angkasa antara Matahari dan Bumi. Munculnya fenomena di Bumi yang terkait dengan cuaca antariksa, seperti aurora, perubahan kondisi geomagnet dan ionosfer.
“Dalam jangka panjang, kondisi cuaca antariksa kemungkinan dapat berdampak pada perubahan cuaca di atmosfer Bumi, tapi ini masih perlu dilakukan penelitian,” kata dia.
Matahari adalah benda dinamis dan kompleks yang terus-menerus memancarkan radiasi, aliran partikel konstan yang dikenal sebagai angin Matahari, serta menghasilkan medan magnet besar yang meluas ke tata surya, dan memiliki beberapa struktur yang memiliki aktivitas yang mempengaruhi cuaca antariksa tadi.
Salah satu struktur bintik Matahari, biasanya berwarna hitam yang tampak pada permukaan Matahari dan menandakan daerah yang memiliki suhu lebih rendah dibanding daerah lain. Jumlahnya dapat menjadi penanda tingkat aktivitas Matahari, penanda terjadinya konsentrasi medan magnet yang sangat tinggi.
“Akan terlihat jika menggunakan teleskop beresolusi tinggi, nah daerah ini disebut sebagai daerah aktif,” tutur Johan.
Sementara, lulusan S3 bidang partikel fisika dan astrifisika dari Nagoya University, Jepang itu, menerangkan, struktur flare Matahari merupakan peningkatan level radiasi dari daerah aktif di Matahari secara mendadak. Flare terjadi akibat adanya pelepasan energi magnetik, yang ledakannya melepaskan energi yang sangat besar ke ruang antarplanet dalam bentuk radiasi gelombang eletromagnetik.
Selain itu, daerah aktif juga memiliki lintasan massa korona yang melepaskan massa partikel dalam jumlah yang sangat besar ke ruang antarplanet, serta adanya angin surya, aliran materi yang terdiri dari partikel bermuatan listrik yang berasal dari Matahari ke segala arah, dengan kecepatan tinggi yang diperkirakan berasal dari lubang korona.
“Angin ini berinteraksi dengan magnetosfer Bumi dan akan dibelokkan ke kutub-kutub Bumi, yang dapat menyebabkan badai geomagnet—letupan lidah api besar yang terjadi di Bumi,” katanya lagi.
Secara umum, Matahari memiliki banyak pancaran gelombang elektromagnetik dan lontara yang bisa sampai ke Bumi meskipun sudah dilindungi medan magnet. “Bisa berpengaruh pada radiasi, komunikasi radio, juga kondisi biomagnet di Bumi, bisa mempengaruhi navigasi, sinyal dari satelit GPS, juga akurasi navigasi yang digunakan,” ujar Johan menambahkan.
Baca:
Hari Tanpa Bayangan Kembali Hadir, Dimulai dari Aceh Siang Ini