Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Thailand - Jurnal Nature Microbiology baru saja mempublikasikan penyakit mematikan baru yang disebabkan oleh bakteri. Melioidosis, nama penyakit itu, konon dapat menyerupai wabah Ebola yang menggemparkan dunia pada 2015 lalu.
Melioidosis disebabkan oleh bakteri Burkholderia pseudomalle, yang merupakan endemi di Asia Tenggara dan Australia Utara. “Banyak di negara tropis, terutama daerah pinggiran yang miskin dan kumuh,” kata Direk Limmathurotsakul, ahli mikrobiologi dari Mahidol University, seperti dilansir dari Deutsche Welle, Senin, 11 Januari 2016.
Penyakit ini pertama kali diidentifikasi dari pecandu morfin di Myanmar pada 1911. Kemudian, laporan serupa pun bermunculan dari Thailand, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Australia Utaria. Saat Perang Vietnam pun, banyak tentara Perancis dan Amerika yang terjangkit penyakit ini.
Meliodosis sangat berbahaya karena dapat menyebabkan keracunan darah, pneumonia, dan pembengkakakkan hati dan ginjal, kelenjar prostat, kelenjar liur, dan limpa. Bakteri mengerikan ini juga tak mudah musnah, mereka dapat bertahan laten di dalam tubuh selama bertahun-tahun. Dari data yang tercatat, tingkat kematian penyakit ini dapat mencapai 70 persen.
Penyakit ini sulit dideteksi karena bakteri B. pseudomallei mampu menyerupai gejala penyakit lain. Peneliti penyakit menular dari Laos, Dance, mengatakan tak ada gejala spesifik yang mencirikan melioidosis. Terkadang, penderita akan mengalami demam, sesak nafas, linglung, atau abses di kulit. Satu-satunya cara untuk memastikan penyakit melioidosis, adalah melalui penelitian di laboratorium mikrobiologi.
“Tapi, tak semua daerah memiliki fasilitas ini, sehingga sulit membuat diagnosa akurat. Dan karena masalah ini pula tingkat kematian akibat melioidosis tinggi,” kata Limmathurotsakul.
Meski memiliki sejarah yang cukup lama, kesadaran ahli medis terhadap penyakit ini masih rendah. Padahal, pada 2015 saja, diduga ada 165 ribu orang yang terinfeksi melioidosis; 89 ribu di antaranya mungkin sudah meninggal. Tak ada upaya untuk meneliti pencegahan ataupun penanggulangan penyakit ini lebih lanjut; meski dampaknya begitu mengerikan.
“Memang sulit untuk meneliti, karena kebanyakan daerah yang terjangkit memang tak memiliki fasilitas memadai untuk pelaporan ataupun identifikasi,” kata Limmathurotsakul. Ia berharap pemerintah dapat mengambil langkah, seperti kampanye atau mengerahkan ahli meids, untuk memangkas kematian akibat penyakit ini.
DEUTSCHE WELLE | STAT | REUTERS | URSULA FLORENE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini