Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Abdul Hakim dosen dari Universitas Sebelas Maret sekaligus pengamat pendidikan mengatakan karakteristik pada Tes Potensi Skolastik (TPS) dan Tes Potensi Akademik (TPA) sangat jauh berbeda. Hal itu didasari dari beberapa studi empiris yang telah dilakukan. Ia menjelaskan kompetensi akademik yang berisi materi pelajaran, bisa dilatih dengan cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Karena bisa dipelajari dengan cepat, menurut dia, banyak siswa yang berasal dari ekonomi mampu mengikuti les atau bimbingan belajar. "Artinya skor tes kemampuan akademik ini sangat berkolerasi dengan kemampuan sosial ekonomi siswa," ujarnya dalam webinar bertajuk "Mewujudkan Transformasi Seleksi Masuk Pendidikan Tinggi Negeri Berkeadilan" di kanal Youtube Kementerian Pendidikan pada Kamis, 15 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lain halnya dengan tes skolastik, Hakim mengibaratkan ters tersebut sebagai wadah yang tidak dapat dipelajari secara singkat. Hakim mengatakan tes skolastik merupakan wadah untuk mengembangkan proses berpikir siswa di masa yang akan datang.
"Jadi yang diukur di tes potensi skolastik adalah wadah, seberapa besar wadah yang dimiliki calon mahasiswa untuk belajar hal-hal baru di masa depan." ungkap Hakim.
Ia menambahkan bahwa untuk memahami materi skolastik, diperlukan waktu yang lebih lama dan tidak dapat dilatih hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Perkembangan skor tes skolastik juga beriringan dengan proses kognitif siswa.
Untuk mengasahnya, Hakim mengatakan dapat dilakukan dengan cara melatif otot-otot kognitif siswa. Siswa harus mulai berlatih dengan menggunakan penalaran dan kemampuan berpikir secara numerik sejak jauh-jauh hari.
Hakim mengatakan telah melakukan penelitian terkait tes skolastik di 641 sekolah di Indonesia. Hasilnya, tes skolastik antarsekolah tak ada perbedaan signifikan. Menurut dia, hal itu menunjukan tes skolastik dapat memberi kesempatan yang sama bagi semua siswa.
Hakim menambahkan bahwa dengan menggunakan mekanisme tes skolastik, dapat menjaring siswa yang memiliki potensi tanpa mengenal status ekonomi. "Kita tahu dari kondisi sekarang banyak anak anak brilian yang mungkin kurang beruntung dan akhirnya sekolah dengan fasilitas seadanya dan itu fakta yang tak bisa kita ingkari," terangnya.
Adapun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengubah aturan masuk perguruan tinggi negeri salah satunya dengan menghilangkan tes akademik di jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Tes tersebut akan sepenuhnya menggunakan tes skolastik yang berfokus pada penalaran.
"Perlu ada perubahan lebih inklusif agar meminimalisir diskriminasi," ungkap Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Catatan: berita ini telah diubah pada 18 September 2022 dengan mengubah nama narasumber yang sebelumnya keliru. Kami mohon maaf atas kekeliruannya.
Zahrani Jati Hidayah
Baca juga:
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.