Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Pengangkut Virus tanpa Es

Tim peneliti Universitas Padjadjaran mengembangkan alat pengangkut virus tanpa perlu kotak pendingin. Dipicu oleh keterbatasan viral transport medium sejak April 2020.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM peneliti sekaligus pemeriksa sampel Covid-19 di Laboratorium Bio Safety Level-2 Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran di Bandung mengembangkan alat pengangkut virus atau viral transport medium (VTM) yang unik. Tanpa perlu kotak pendingin, VTM itu dirancang tahan pada suhu ruangan. Temperatur minimumnya berkisar dari minus 80 derajat hingga maksimum 50 derajat Celsius. Berdasarkan hasil pengujian tim, VTM mandiri itu juga dapat menyimpan sampel selama tujuh dan 14 hari tanpa merusak virus.

Inovatornya adalah anggota Tim Tanggap Covid-19 Jawa Barat, yaitu Hesti Lina Wiraswati, Lia Faridah, Savira Ekawardhani, dan Shabarni Gaffar. Mereka mengembangkan jenis VTM berbasis buffer atau larutan penyangga yang menjaga tingkat keasaman/kebasaan atau pH (power of hydrogen) suatu virus. “VTM, yang kami buat sekarang khusus untuk Covid-19, secara teoretis bisa untuk menyimpan virus penyakit lain,” kata Hesti, Rabu, 20 Januari lalu.

Dirintis pada Juni 2020, tim secara bertahap membuat tiga varian VTM yang semuanya telah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan, terhitung  sejak Desember 2020 hingga Januari 2021. Bentuknya sama seperti VTM biasa, yaitu tabung kecil berbahan plastik. Dua varian, yaitu I-Blue dan C-Transport yang dibalut warna biru, khusus untuk penyimpanan sampel selama tujuh hari. Varian lainnya, Vitpad yang berwarna jingga, untuk penyimpanan selama 14 hari. Perbedaan durasi penyimpanan itu bertujuan mengatasi masalah antrean sampel hingga menumpuk karena keterbatasan ruang kotak pendingin untuk VTM di laboratorium uji. 

Awalnya, menurut Hesti, ide ini muncul karena terjadi keterbatasan VTM sejak April 2020. Barang impor itu diperebutkan banyak negara di masa pandemi. Selain itu, tim melihat kesulitan petugas yang membawa hasil swab test dari tempat yang jauh. Sambil harus memakai kotak pendingin (cooler box), petugas harus menjaga suhunya. Jika kotak pendingin tidak bersuhu 2-8 derajat Celsius, sampel virus rentan terdegradasi. “Hasil pemeriksaan sampelnya juga bisa jadi invalid,” ucap Hesti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk memberi solusi atas masalah itulah tim meracik reagen denaturasi atau terendapkan untuk melemahkan atau menginaktivasi virus dalam VTM. “Sehingga produk ini tidak akan infeksius sekalipun disimpan di kotak penyimpanan biasa tanpa es,” ujarnya. Metode itu berfungsi menjaga kualitas virus agar tidak terdegradasi, serta ikut memperkuat (enhancer) ketika sampel diekstraksi untuk mengisolasi asam ribonukleat (RNA) dalam pemeriksaan virus bermetode polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium. 

Menurut Hesti, VTM buatan Unpad ini terobosan dari dua jenis VTM yang selama ini umum dipakai dan biasanya harus sepaket dengan kotak pendingin. Jenis pertama adalah VTM berbahan dasar medium nutrient. Selain untuk menyimpan, formulanya dibuat untuk mengembangkan virus. Jenis ini lazim dipakai untuk pemeriksaan virus lebih lanjut, misalnya untuk dikulturkan. Sebelum dan sesudah diisi virus, VTM medium nutrient harus disimpan di dalam kotak pendingin bersuhu 2-8 derajat Celsius.

Adapun VTM jenis kedua adalah yang berbasis buffer. VTM ini sebelum dipakai bisa disimpan pada suhu ruang. “Tapi setelah diisi sampel virus VTM langsung dimasukkan ke kotak es juga,” tutur Hesti. VTM jenis buffer ini sudah memadai untuk dipakai dalam pemeriksaan sampel virus Covid-19. Kualitas virusnya sama dengan VTM medium nutrient dan bisa dipakai juga untuk proses analisis genetik virus. 

Bermitra dengan empat perusahaan lokal untuk pembuatan VTM, tim Unpad bertugas membuat formula larutannya atau reagen. Perhitungannya secara bisnis, alat itu harus dibuat minimal sebanyak 1 juta unit agar mencapai break even point. Tahap pertama untuk uji pasar dibantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyebarkan 26 ribu kit VTM mandiri ke rumah sakit pendidikan se-Indonesia. Total VTM buatan mereka yang beredar sudah 100 ribu kit.

Soal harga, menurut Hesti, memang masih menjadi tantangan. Bahan-bahan kimia murni untuk reagen masih harus diimpor dari Jerman karena belum ada pembuatnya di Indonesia. Tim peneliti ingin harga VTM buatan mereka ini lebih terjangkau dan harganya mampu bersaing dengan VTM impor asal Cina. “Harapannya ke pemerintah soal harga ini,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus