Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAWAL dari betapa sulitnya melacak korban bencana tanah longsor di daerah terpencil, tim Spectronics Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, membuat inovasi Insects Biological Robot (I-Bot). Ini seperti asisten cybernetic organism (cyborg) berupa serangga yang dapat membantu tim penyelamat dalam operasi pencarian. Untuk tahap awal, tim Spectronics menggunakan kecoak dan kumbang sebagai obyeknya.
Ketua Tim Spectronics ITS Michael Adrian Subagio mengatakan, untuk masuk ke daerah bencana yang sempit, penggunaan kecoak dan kumbang lebih efektif ketimbang anjing pelacak. Selain membutuhkan pawang yang mengikuti pergerakannya, anjing pelacak butuh dilatih minimal satu bulan untuk dapat mendeteksi korban bencana. "Kalau pakai serangga, kita tinggal melepaskan ke lokasi bencana, lalu kita pantau sinyal yang dikirim dari jauh. Ia mampu masuk ke celah-celah sempit," ujarnya, Selasa, 2 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Michael, pada dasarnya dia dan lima kawannya hanya memanfaatkan kemampuan alami kecoak dan kumbang yang dimodifikasi dengan perangkat lunak. Caranya adalah menanamkan microchip ke tubuh hewan tersebut. Microchip itu dilengkapi banyak sensor, seperti sensor suhu dan sensor bau khas manusia serta mikrofon dan kamera. Microchip lalu dikoneksikan ke antena serangga yang merupakan otak serta segala indra yang dimilikinya, dari indra penciuman, penglihatan, hingga perasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antena itu tim juga menambahkan sensor sengatan agar serangga dapat dikendalikan dari jauh. Proses kerjanya, melalui antenanya tersebut, serangga yang mendeteksi sesuatu lalu ditangkap oleh microchip. "Kami berupaya mendapatkan informasi dari sensor antena lewat microchip itu melalui perangkat yang kami pantau dari jauh, bisa berupa monitor komputer PC, laptop, ataupun layar smartphone," tutur Michael.
Implan microchip ke tubuh serangga tak menyakitkan. Alat itu hanya semacam tas kecil yang dipasang di tubuh setelah serangga dibius sekitar satu jam. Selama masa pembiusan itulah serangga "dibedah" untuk memasukkan microchip. Ketika serangga itu siuman, ia baru dilepas ke wilayah bencana.
Serangga yang dilepaskan ke lapangan tidak hanya satu atau dua, melainkan sekumpulan. Dengan imbuhan sengatan di antena, Michael menjelaskan, kawanan serangga itu dapat dikontrol sekaligus diarahkan pergerakannya. "Kalau misalnya antena sebelah kanan kami kasih sengatan sedikit saja, ia akan bergerak ke arah yang berlawanan," katanya.
Agar gerakan mereka lebih terintegrasi, digunakanlah Internet of Things (IoT), Bluetooth, serta perangkat amplifier untuk memperkuat sinyal. Dengan tambahan perangkat berukuran mikrometer itu, menurut Michael, tim dapat memantau pergerakan serangga secara langsung atau live streaming. "Kami sebagai operator bisa mengarahkan dari jauh," ujarnya.
Namun, Michael menambahkan, pemanfaatan Bluetooth untuk mendeteksi keberadaan serangga dan melakukan transmisi data masih memiliki kekurangan. Akurasi dalam penelitian sebelumnya tidak mencapai 100 persen, sehingga perlu banyak riset untuk mencapai ketepatan hasil. Inovasi ini belum diuji coba lantaran masih masa pandemi. "Uji coba belum, tapi kalau simulasi sudah," tuturnya.
Kendala lain yang dihadapi Tim Spectronics adalah sulitnya mencari perangkat mikro pelengkap microchip. Menurut dia, untuk mencapai inovasi yang ideal, diperlukan pengadaan alat-alat mikro itu dari luar negeri. "Kalau di Indonesia mutunya masih kurang, sehingga tingkat akurasinya rendah," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo