Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Tak Punya Smartphone, Banyak Siswa Tak Ikut Pendidikan Jarak Jauh

FSGI ungkap aneka hambatan Pendidikan Jarak Jauh fase II atau pada semester awal tahun ajaran baru 2020/2021. Pendidikan luar jaringan juga terhambat.

24 Juli 2020 | 10.04 WIB

Sejumlah siswa SD mengayuh sepedanya saat pulang dari sekolahnya di Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin, 13 Juli 2020. Pada hari pertama masuk sekolah di sebagian besar satuan pendidikan di wilayah NTB belum melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka dan masih dilakukan dari rumah secara daring atau bentuk lain memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki secara optimal karena kasus COVID-19 di NTB masih tinggi. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Perbesar
Sejumlah siswa SD mengayuh sepedanya saat pulang dari sekolahnya di Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin, 13 Juli 2020. Pada hari pertama masuk sekolah di sebagian besar satuan pendidikan di wilayah NTB belum melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka dan masih dilakukan dari rumah secara daring atau bentuk lain memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki secara optimal karena kasus COVID-19 di NTB masih tinggi. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Pendidikan Jarak Jauh fase II atau pada semester awal tahun ajaran baru 2020/2021 menunjukkan hambatan berupa masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar (smartphone) secara pribadi. Bukan hanya di daerah, hambatan itu bahkan ditemukan pula di Jabodetabek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Persoalan hambatan selama PJJ tak hanya keterbatasan terhadap akses internet dan listrik tetapi juga pada kepemilikan gawai pintar," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim, Kamis 23 Juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satriwan menyebutkan dalam satu keluarga kerap didapati hanya memiliki satu smartphone. "Itupun dipegang orang tua. Alhasil tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama teman siang hari," kata dia.

FSGI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendata jumlah siswa dan guru yang tidak mempunyai smartphone tersebut, bersama mereka yang tidak punya akses terhadap internet ataupun jenis hambatan lainnya. Kebijakan negara, kata Satriwan, sangat dibutuhkan segera untuk mengintervensi PJJ tersebut.

"Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin besar antara siswa yang PJJ luring (luar jaringan) dengan siswa PJJ daring," katanya.

FSGI, dalam laporan yang sama, juga memberi catatan terhadap koordinasi lintas kementerian dan lembaga antara pemerintah pusat dan daerah yang dinilainya belum banyak terasa. Terutama, FSGI menunjuk penyelesaian persoalanan-persoalan PJJ luar jaringan. 

Setidaknya, Satriawan mengungkapkan, terdapat lebih dari 46 ribu sekolah yang tidak dapat merasakan PJJ daring tersebut. Ini terjadi mayoritas di daerah pelosok, pegunungan, khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.

Keterbatasan terhadap akses internet, listrik, tidak punya smartphone atau komputer membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru berkunjung ke rumah siswa atau luring. Tetapi metode itu tidak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa satu per satu.

"Guru yang terbatas, waktu sangat terbatas, bahkan acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis jauhnya rumah siswa di pegunungan yg sulit ditempuh guru," kata Satriwan. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus