Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Virus Nipah menjadi pembicaraan akhir-akhir ini. Saat pandemi Covid-19 masih memukul berbagai sendi kehidupan, virus Nipah menjadi sorotan karena ilmuwan di sejumlah Asia menyampaikan kasus yang terjadi di negaranya.
Baca:
Guru Besar Unair Sebut Struktur Virus Nipah Mudah Bermutasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Guru Besar dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom menerangkan infeksi virus Nipah, yang belum ditemukan di Indonesia, bisa melalui urine atau feses, air liur atau buah-buahan yang bekas digigit kelelawar atau dimakan babi. “Kemudian menular ke manusia,” ujar dia saat dihubungi, Selasa malam, 2 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Virus Nipah pertama diketahui pada 1998 di Malaysia. Virus tersebut kemudian menyebar ke sejumlah negara, seperti Thailand, India, Singapura, Cina, dan Bangladesh. Dan masuk dalam daftar sepuluh penyakit menular Organisasi kesehatan dunia (WHO) yang memiliki risiko kesehatan terbesar
Nidom yang juga Ketua tim Laboratorium Professor Nidom Foundation menjelaskan langkah agar tidak tertular virus tersebut. Salah satunya, jangan mengganggu habitat kelelawar, termasuk pengubahan fungsi hutan.
“Kalau makan buah harus dicuci dengan baik. Jika mungkin, sebelum dicuci didisinfektan dulu. Untuk peternak babi, sebaiknya dihindari dari hewan kelelawar, dan sering dilakukan disinfeksi,” kata Nidom.
Seseorang yang terinfeksi virus Nipah akan merasakan gangguan pernapasan hingga peradangan pada jaringan otak hingga mengganggu kerja saraf atau ensefalitis. WHO menyatakan belum ada obat atau vaksin khusus virus Nipah.
“Bagi penggemar kuliner daging kelelawar sebaiknya diperhatikan situasi ini. Gejala penyakitnya menyerang pada pernapasan dan sampai ke otak atau ensefalitis. Dan tingkat kematiannya 75 persen,” tutur dia.
Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation, sebuah nirlaba yang berbasis di Belanda, Jayasree K. Iyer, mengatakan wabah virus Nipah yang terjadi di Cina, dengan tingkat kematian hingga 75 persen berpotensi menjadi risiko pandemi besar berikutnya. "Virus Nipah merupakan penyakit menular yang bisa meledak kapan saja," kata Jayasree K. Iyer seperti dikutip dari The Guardian.