Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

<font face=arial size=1 color=#ff9900>150 Tahun Debussy</font><br />Tafsir Slamet tentang Debussy

Slamet Abdul Sjukur bekerja sama dengan pianis Prancis, Nicolas Stavy, menggarap proyek musik tentang pertemuan Claude Debussy dengan gamelan.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk di sebuah kursi, Nicolas Stavy hanya terdiam memandangi partitur di pangkuannya. Pianis Prancis itu membiarkan penonton yang memenuhi ruang Teater Salihara, 4 November lalu, penasaran. Selama hampir lima menit Stavy hanya menyuguhkan keheningan sebelum mengejutkan penonton dengan tepukan tangan yang cukup keras. Ia kemudian menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, menghasilkan suara yang semakin lama semakin keras.

Tak sedikit penonton yang tertawa kecil ketika lelaki berambut keriting itu malah mengeluarkan suara-suara "aneh" dari mulut dan tenggorokan. Ia mendesis-desis, bersiul, menggeram, dan bersuara seperti orang yang tercekik. "Sstt!" Stavy seolah-olah jengkel dan meminta penonton yang berbisik-bisik mengomentari ulahnya untuk diam.

Stavy lumayan membuat penonton bingung. Maklum, selama ini dia dikenal sebagai seorang virtuoso (pakar) piano yang mahir menafsirkan repertoar klasik dan romantik. Malam itu pun dia sempat memukau penonton dengan kepiawaian jemarinya menari lincah di tuts-tuts piano. Dua komposisi klasik—3 Images ­Oubliées karya Claude Debussy dan Fantaisie milik komponis Jerman, Robert Schumann—ia mainkan tanpa cela. Tapi, di atas panggung, pemenang Kompetisi Chopin di Warsawa, Polandia, pada 2002 itu lebih terlihat sebagai seorang aktor yang sedang berolah peran.

Stavy, tentu saja, tidak berakting. Dalam pertunjukan bertajuk "Tahun Debussy" itu, dia membawakan komposisi terbaru milik Slamet Abdul Sjukur. Karya berjudul GAME-Land 5 itu menjadi penutup pertunjukan yang digelar Institut Français Indonesia untuk merayakan 150 tahun kelahiran komponis Prancis bernama lengkap Achille-Claude Debussy (22 Agustus 1862-25 Maret 1918) tersebut. Selain dipentaskan di Teater Salihara, konser serupa akan digelar di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta.

GAME-Land 5 adalah hasil penelitian Slamet bertahun-tahun tentang hubungan estetika antara Debussy dan gamelan. Dia membaginya dalam tiga judul: Biarkan Bunyi Berbicara Sendiri, Sungai, dan Seandainya. Semuanya menyimbolkan hubungan erat Debussy dengan gamelan. Dalam Biarkan Bunyi Berbicara Sendiri, yang membuat Stavy laksana aktor, Slamet mengajak penonton mendengarkan musik apa adanya dan menikmati keheningan sebagai sesuatu yang puitis.

Slamet tak hanya mengeksplorasi musik dari piano, bunyi-bunyian dari tepukan tangan, serta permainan mulut, lidah, dan tenggorokan. Ia juga menggunakan gong ageng dan kemanak (instrumen gamelan Jawa berukuran kecil yang bentuknya seperti busur) untuk karya terbarunya itu. Piano pun tak sebatas pada kelincahan jari. Stavy juga memukulkan kerangka besi dengan palu berselubung karet, menggaruk-garuk dawainya. Terkadang ia harus menekan tuts piano, sementara tangan yang lain menekan dawai.

Slamet menciptakan GAME-Land atas permintaan Institut Français Indonesia (Institut Prancis-Indonesia) pada Februari 2012. "Awalnya saya menolak karena bosan mendengar cerita tentang hubungan gamelan dan Debussy," kata Slamet. Tapi, setelah sepuluh hari, ia memutuskan menerima tawaran itu. "Ini kesempatan bagi saya untuk menjelaskan seperti apa sebenarnya hubungan gelap Debussy dan gamelan," ujar komposer kelahiran Surabaya 77 tahun lalu itu.

GAME-Land 5 sekaligus untuk mengenang kembali pertemuan Debussy dengan gamelan pada 1889. Konon, dia jatuh cinta pada gamelan ketika pertama kali mendengar musik tradisional itu di pameran internasional Exposition Universelle yang digelar di Paris. Perayaan yang berbarengan dengan peresmian Menara Eiffel tersebut juga diikuti oleh Belanda, yang kala itu menjajah Indonesia. Belanda memamerkan teh dari perkebunan Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Sebagai hiburan, mereka mendatangkan orang-orang dari perkebunan memainkan seperangkat gamelan Sunda, Sari Oneng, untuk mengiringi empat penari asal Surakarta.

Gamelan Sunda mengiringi tari Jawa memang agak membingungkan. Tapi, bagi Debussy, yang waktu itu berumur 27 tahun, gamelan adalah jawaban dari pencariannya akan musik yang merdeka dan bebas dari cengkeraman Richard Wagner, komposer musik romantik dari Jerman yang pada abad ke-19 "memonopoli" kuping Eropa.

Gamelan menjadi jawaban karena alat musik ini menentang pakem harmoni fungsional dan orkestrasi yang berat. Meski amat mengagumi gamelan, Debussy tak lantas menirunya. Ia hanya menyerap intisarinya. Bagi Slamet, musik Debussy akan terlalu dangkal seandainya gamelan bisa dilacak dengan mudah pada setiap nada karya Debussy. Gamelan mungkin hanya seutas sumbu dari ledakan pemberontakan Debussy terhadap Wagner.

Slamet membutuhkan delapan bulan untuk merampungkan GAME-Land 5. Dibandingkan dengan karyanya yang lain, seperti Ketut Candu, String Quartet I, Silence, dan Daun Pulus, proses penciptaan GAME-Land 5 terbilang cepat. "Biasanya saya butuh waktu 2-4 tahun," katanya. Slamet memang harus bekerja cepat mengingat waktu terbatas. Apalagi dia mesti segera mengirimkan partitur kepada Stavy, yang bermukim di Paris.

Bagi Stavy, bukan perkara mudah membawakan karya Slamet, yang memiliki cita rasa berbeda. Beruntung Slamet meleng­kapi partitur dengan keterangan teknis plus gambar-gambar yang amat terperinci. Ini membuat Stavy lebih mudah berlatih sendiri di negaranya. Agar terbiasa menyentuh gong—yang tak hanya disentuh dengan jari-jari, tapi juga pergelangan tangan serta ujung dan permukaan kuku—Stavy disarankan oleh Slamet berlatih di tembok.

Hasilnya cukup menggembirakan. Ketika bertemu dengan gong yang asli, Stavy tak canggung lagi. Hanya dalam waktu empat hari berlatih gong di kediaman Slamet di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, dia sudah bisa menghasilkan suara-suara yang bunyinya tidak umum. Pukulan telapak tangan di permukaan gong menghasilkan bunyi yang berbeda dengan suara pukulan gong biasa. Ia mampu menghasilkan suara yang sangat lembut dengan nada-nada harmonik.

Tentu saja bukan cuma gong yang harus ditaklukkan Stavy. Ia juga belajar memainkan kemanak. Sebagai pianis, Stavy memang dikenal penuh perasaan dan imajinasi. Ia mampu menghasilkan lirik yang tak biasa. Interpretasinya terhadap repertoar romantis juga luar biasa. Namun, bagi Slamet, yang paling penting adalah Stavy selalu menunjukkan keingintahuan yang besar terhadap jenis musik lain. "Ia tak hanya cerdas, tapi juga punya keinginan kuat untuk belajar," ujarnya. Itu yang membuat Stavy mampu menafsirkan tafsir Slamet tentang Debussy.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus