Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebuah film serial tentang permainan maut yang mendebarkan
Squid Game menciptakan euforia
Salah satu serial terlaris yang tayang di Netflix
“PERMAINAN macam apa ini? Beberapa mendapat yang mudah, sedangkan yang lain mendapat yang susah?” kata seorang peserta permainan Squid Game dengan berteriak. Dia terang sudah kalah. Pucuk bedil sudah mengincar kepalanya. Hidupnya bakal berakhir dalam hitungan detik di tangan manusia berjubah merah jambu yang mengenakan topeng. Hanya karena tak bisa membuat bentuk payung dari permen gulali, si peserta harus dibunuh. Nasibnya tak mujur bila dibandingkan dengan peserta lain yang bisa melenggang karena tugasnya relatif lebih mudah.
Pernyataan si peserta menjadi salah satu dari banyak adegan yang mengusik penonton Squid Game, serial yang tayang di Netflix sejak September lalu. Dia seolah berbicara kepada kita tentang garis hidup. Tentang mereka yang mempunyai jalan lebih mudah pada kesuksesan, sedangkan sebagian lainnya sampai harus mempertaruhkan nyawa demi bertahan. Squid Game membuat luka di pikiran kita dengan gambaran masyarakat yang tak setara secara sosial dan ekonomi, juga bagaimana situasi itu melahirkan kengerian yang brutal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adsegan Game kedua membuat pola dari permen dalam Squid Game. Netflix
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum terlalu lama, film Parasite (Bong Joon-ho) membuat capaian dalam industri film Korea Selatan dengan plot yang menyuguhkan realitas gelap kapitalisme negeri itu. Di sisi yang berbeda dari gemerlap K-Pop dan drama Korea, Parasite, dan kini Squid Game, menghadirkan lagi polarisasi antara si miskin dan para pemilik modal yang berkuasa. Betulkah uang menjadi jalan keluar bagi segalanya? Apakah kerja keras selalu berbuah kesejahteraan ekonomi?
Kita tentu tahu jawabannya di dunia nyata. Dalam banyak kasus, premis itu tidak terbukti. Begitu pun yang dialami tokoh-tokoh dalam serial arahan sutradara Hwang Dong-hyuk (Silenced, The Fortress) ini. Sejak 1961, di bawah pimpinan Presiden Park Chung-hee, Korea Selatan mulai meniti jalan menjadi negara maju. Perekonomian negara ini perlahan meroket lewat industri otomotif dan elektronik serta dunia hiburan. Para chaebol alias konglomerat di negara itu tumbuh menjadi raksasa bisnis, yang konsekuensinya, melahirkan ketimpangan ekonomi.
Tingkat bunuh diri di Korea Selatan tercatat menjadi yang tertinggi di Asia. Pada semester I 2020, tercatat ada 28-29 orang per 100 ribu jiwa yang mengakhiri hidupnya. Adapun lebih dari 595 ribu warga mengalami depresi. Orang Korea pun menciptakan istilah satire “Neraka Joseon” (heljoseon) yang merupakan semacam sindiran mereka, terutama anak muda, terhadap kondisi sosial ekonomi di negeri mereka saat ini. Kritik itu meluapkan keletihan warga di sana terhadap tradisi Konfusianisme yang menekankan kesempurnaan.
Entah disengaja atau tidak, sutradara Hwang memberi judul episode keduanya “Neraka”. Pada babak ini kita melihat tarik-ulur psikologis yang tak bisa dilepaskan dari cengkeraman kemiskinan. Kita melihat orang-orang dengan problem ekonominya masing-masing. Ada yang terlilit utang seperti Seung Gi-hun (diperankan Lee Jung-jae). Ada pula yang terjerat problem investasi sampai dikejar-kejar klien seperti Cho Sang-woo (Park Hae-soo). Mereka yang bermasalah ini berkesempatan mendapat duit miliaran won asalkan menang dalam enam permainan tradisional anak-anak Korea. Kecuali satu pemenang, ratusan yang kalah akan terbunuh di tempat. Aturan ini seperti menyiratkan betapa kesenangan masa kanak-kanak dapat menguap begitu saja karena tuntutan hidup saat dewasa.
Permainan tebak kelereng dalam Squid Game. Netflix
Ilustrasi ketimpangan kelas salah satunya terlihat dari para “Tamu VIP” yang mengawasi para kontestan permainan. Sementara di kalangan peserta terjadi baku hantam dan nyawa demikian mudah melayang, para elite menonton dengan riang dan bahkan membuat taruhan. Ini menjadi visualisasi yang amat eksplisit tentang kapitalisme dalam konteks saat ini. Pilihan-pilihan memang ada. Seperti dalam episode awal, saat kontestan dihadapkan pada dua kemungkinan yang sama-sama tak enak: kembali ke kehidupan nyata dan dikejar-kejar penagih utang, ataukah ikut dalam permainan para pemilik modal tapi nyawa menjadi taruhan. Namun kita bisa menebak, opsi kedua lebih menggiurkan.
Squid Game membawa kita ke arena yang mempertentangkan banyak hal. Uang menjadi hadiah setelah pemenang melewati hal-hal biadab yang tak bisa ia hindari. Persahabatan berhadapan dengan pengkhianatan, dan laku bejat pun tak mustahil lahir dari wajah-wajah tanpa dosa. Namun, ingat, mereka datang bukan sebagai penjahat. Para peserta adalah orang-orang yang terpaksa bertahan karena, di mana pun mereka berada, kondisinya tetap saja seperti neraka.
Konsep permainan bertahan hidup (survival game) membuat greget Squid Game yang sudah digagas Hwang sejak 2009 ini sangat terasa. Ide film ini pun dekat dengan banyak orang yang mungkin saja membutuhkan keajaiban terjadi dalam hidupnya. Sekilas kita akan teringat pada film trilogi The Hunger Games yang berangkat dari novel karya Suzanne Collins. Jepang pun sudah bermain-main dengan konsep semacam itu. Yang tak kalah epiknya tentu Alice in Borderland (2020) yang sama-sama membikin penonton sering menahan napas, juga Battle Royale (2000).
Pamor Squid Game bisa jadi lebih cepat melejit karena berlatar dunia nyata. Lain halnya dengan Alice in Borderland yang berkisah di dunia paralel sehingga merentangkan jarak dengan penonton. Latar belakang dan karakter tokoh di Squid Game pun terasa lebih manusiawi, mengingat tokoh utamanya saja dikisahkan tak baik-baik amat. Tokoh Gi Hun ada saatnya memantik belas kasih dan penyayang, tapi tak jarang ia menyebalkan, dan bahkan pernah mencurangi ibunya sendiri.
Berbeda dengan film semacamnya yang terasa muram dengan tampilan suram, palet Squid Game justru cerah dan segar. Selaras dengan permainan anak-anak yang ceria dan penuh warna, tapi kontras dengan adegan-adegannya yang berlumuran darah. Bahkan peti mati pun hadir dengan kemasan imut yang sekilas mengolok-olok kematian itu sendiri. Peti itu berwarna hitam dengan pita pink muda. Sutradara Hwang berseloroh, ia terinspirasi grup perempuan tersohor Korea Selatan, Blackpink. Bahkan Hwang sempat menghadiahi salah satu anggota kelompok itu, Jennie, dengan setelan hijau yang dipakai para kontestan. Namun tak sedikit penonton yang berspekulasi bahwa fisik peti itu adalah perspektif penyelenggara permainan yang menganggap diri mereka sebagai “Tuhan”.
Adegan dalam Squid Game. Netflix
Spekulasi dan teori soal Squid Game memang membuncah setelah serial ini sempat menjadi yang terlaris di Netflix sejumlah negara. Di Amerika Serikat, Squid Game menjadi tontonan Korea Selatan pertama yang memuncaki klasemen Netflix setempat. Saking populernya serial mendebarkan ini, tak sedikit orang betul-betul menghubungi nomor telepon penyelenggara permainan Squid Game yang terpampang di tayangan itu. Padahal nomor itu di dunia nyata adalah milik seorang pebisnis asal Provinsi Gyeonggi. Walhasil, si empunya nomor sampai frustrasi karena dihubungi orang-orang yang minta diizinkan bergabung dalam Squid Game.
Entah, apakah para penelepon itu iseng ataukah mereka sejatinya sudah putus asa seperti halnya para kontestan yang menggadaikan nyawanya. Atau, bisa jadi, meledaknya Squid Game adalah pengingat bahwa kehidupan memang demikian berdarah-darahnya bagi sebagian dari kita.
Netflix
Squid Game
Sutradara: Hwang Dong-hyuk
Pemain: Lee Jung-jae, Park Hae-soo, Jung Ho-yeon
Rilis: September 2021
Distributor: Netflix
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo