Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI pasar seni rupa yang makin menggairahkan, apa sesungguhnya peran biennale seni rupa dalam medan seni sekarang ini? Di titik ini, menarik mencermati Venice Biennale 2015 bertema "All the World's Future", yang dibuka pada 6 Mei lalu di kawasan Arsenale dan Giardini, Venesia.
Beberapa artikel menyatakan Biennale Venesia 2015, yang kali ini dikuratori Okwui Enwezor, adalah pameran seni yang pretensius dengan segala isu dan konflik sosial sehingga menjadi pameran yang "kurang bisa dinikmati". Seniman-seniman yang dipilih Enwezor memaparkan kenyataan dunia yang sedemikian pahit: perang, kekerasan, kelaparan.
Sebagai kurator, Enwezor terlalu memberi bingkai teori Marxisme yang berat. Sebuah artikel dengan sinis menyebutkan bahwa pilihan Enwezor menjadi tidak strategis karena jika kita ingin mendapat kabar terbaru tentang kepedihan dunia, lebih baik kita menonton televisi dan bukannya mendatangi Venice Biennale.
Saya kira penulis kritik itu gagal memahami peran sebuah biennale yang terus berusaha memberi alternatif. Dari televisi, tentu saja kita melihat berita-berita yang datang dari pemikiran arus utama dan lebih bersifat stereotipikal, sehingga justru di situ peristiwa seperti Biennale membuka kemungkinan mengupas sebuah kejadian dari sisi yang berbeda.
Okwui Enwezor, kurator kelahiran Nigeria, merupakan salah satu figur penting dalam seni rupa kontemporer sekarang ini, terutama karena pemikiran pascakolonialnya. Ia berusaha menunjukkan perkembangan pemikiran kebudayaan dari wilayah-wilayah di luar Amerika dan Eropa. Semangat itu pula yang hendak ia bawa dengan memperkenalkan 35 seniman kulit hitam dalam Biennale Venesia kali ini-yang biasanya sangat berorientasi Barat.
Enwezor membagi pameran dalam tiga lapis utama: Kebun Ketidakberaturan (Garden of Disorder), Sesuatu yang Sedang Berlangsung: Tentang Durasi Epik (Liveness: On Epic Duration), dan Membaca (Kuasa) Modal (Reading Capital). Pameran dibuka di kawasan Giardini dengan barisan patung berbahan minyak aspal dan parafin, yang mengambil gagasan bentuk dari patung monumental ala masa klasik, dari kelompok seniman India, Raqs Media Collective.
Coronation Park, judul proyek ini, diilhami dari sebuah situs di Delhi yang dibangun pada 1911 untuk penobatan Raja George V, dan itu juga menjadi alasan mereka meletakkan patung ini sepanjang jalan menuju Paviliun Inggris. Di bagian bawah sembilan patung ini masing-masing tertulis petikan kalimat dari karya George Orwell yang terutama digunakan untuk menggarisbawahi sejarah supremasi kulit putih.
Setelah itu, memasuki gedung Paviliun Utama, pengunjung disambut karya Fabio Mauri yang cukup monumental, yakni setumpuk koper tua yang disusun setinggi lima meter berhadapan dengan mesin perata bangunan yang diarahkan ke langit-langit dengan lukisan atap yang sedemikian indah.
Okwui Enwezor berhasil menciptakan sebuah drama yang cukup menyerap pada dua dan tiga karya pembukanya. Tapi, saya kira, memasuki lebih dalam koridor-koridor ruang pamer, terasa bahwa karya-karya ini sangat menarik secara ide. Namun banyak yang kurang berhasil membangkitkan keinginan penonton untuk mencari tahu lebih jauh dan mengamati lebih saksama. Saya memperhatikan ada banyak penonton yang lewat begitu saja.
Karya paling menarik, misalnya, merupakan survei yang dilakukan Hans Haacke dalam medan seni rupa pada akhir 1960-1980-an. Haacke memajang beberapa kuesioner yang ia pakai untuk membuat peta tentang siapa saja yang terlibat dalam seni serta bagaimana para aktor dan agen dalam seni rupa ini menunjukkan posisi mereka dalam berbagai gerakan sosial dan ideologi. Meski penuh dengan teks, karya ini masih menyenangkan dan memberi keasyikan sendiri untuk memperhatikan dengan saksama, terutama karena kepiawaian Haacke mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang radikal.
Seniman Inggris berdarah Uganda, John Akomfrah, sekali lagi mencuri perhatian melalui karyanya, Vertigo Sea, yang terdiri atas tiga saluran video yang menyejajarkan perjalanan peradaban manusia yang penuh kekerasan dengan evolusi kehidupan kelompok binatang dari beberapa bagian di dunia. Akomfrah menyajikan sebuah keindahan yang sangat menyentuh melalui gambar geraknya, yang sesekali diiringi pembacaan narasi dari beberapa tokoh korban kekerasan yang ditampilkan di sana.
Karya seniman Adrian Piper, pelopor seni konseptual, yang tahun ini mendapatkan anugerah seniman terbaik (Golden Lyon), adalah empat panel papan tulis yang mengulang kalimat "Everything will be taken away". Bagi saya, karya Piper bukanlah yang terbaik dalam pameran ini, dan juri tampaknya memang lebih menimbang perjalanan karier Piper secara keseluruhan ketimbang menilai satu karya ini.
Di kawasan Arsenale, kualitas pameran agak berkurang karena Okwui Enwezor membangun desain ruang pamer yang seperti "museum", sehingga bangunan tua bekas gudang yang jauh dari kesan kotak putih (white cube) terasa tidak lagi memberi peluang bagi seniman untuk membuat sesuatu yang spesial. Ruang berubah menjadi netral sehingga isu-isu yang ditampilkan senimannya terasa kurang "galak".
Di Arsenale, saya terkesan oleh karya seniman Amerika, Theaster Gastes, yang memberi ruang sedikit hening di antara karya-karya yang terasa hiruk-pikuk ini. Gastes membangun pembatas dinding dari atap tanah liat berwarna hitam, lalu meletakkan lonceng gereja di sebuah sudut pintu masuk. Pengunjung sudah diantar untuk merasakan suasana yang surealistik sebelum masuk ke ruang gelap tempat ia membuat video tentang perbudakan dan diskriminasi ras di masa lalu dan masa kini.
Bagaimana dengan bagian paviliun nasional, yang merupakan pembeda penting Venice Biennale dengan biennale lain di seluruh dunia? Venice Biennale 2015 diikuti 89 paviliun nasional. Tahun ini gelar paviliun terbaik diberikan kepada Armenia-bertepatan dengan perayaan besar terhadap peristiwa pembunuhan besar Armenia pada 1915 oleh kekuasaan Ottoman Turki.
Paviliun Indonesia menampilkan karya seniman kawakan Heri Dono berjudul Trokomod. Penampilan Paviliun Indonesia kali ini mendapat cukup banyak pujian dari kelompok pelaku seni profesional, terutama karena berkurangnya elemen yang terlalu tradisional (seperti alunan musik gamelan atau munculnya tubuh penari bedaya) yang hadir tanpa konteks seperti yang bisa dilihat pada Paviliun Indonesia 2013.
Heri Dono membuat bentuk perahu besar berkepala kuda (dari bentuk dan konsep kuda Trojan) dengan enam teropong yang di dalamnya pengunjung bisa mendapatkan imaji-imaji yang lebih dekat dengan budaya populer Indonesia masa kini. Bentuk perahu muncul juga di beberapa paviliun nasional lain, terutama karena imaji tentang perahu adalah salah satu hal yang paling kuat di kawasan Venesia. Paviliun lain yang menampilkan perahu adalah paviliun Jepang, yang menampilkan karya Chiharu Shiota berupa proyek, The Key in Your Hands, di mana ia merangkai jejalin benang merah yang sangat tipis dan rumit seperti jala dengan kunci menggantung di sekitarnya.
Secara umum, saya tidak merasa pameran Okwui Enwezor ini sebagai pameran yang sedemikian buruk sebagaimana beberapa ulasan yang muncul di sejumlah situs majalah seni. Justru saya merasa bahwa Enwezor masih memberi ruang bagi bentuk seni konvensional dan gagasan yang klasik tentang "keindahan", yang selama ini terasa hilang dalam berbagai pameran model biennale atau triennale. Lewat biennale kali ini, kita menghargai berbagai gerakan dan pencapaian pemikiran yang muncul dari ranah-ranah nan jauh di sana yang selama ini kurang terjamah.
Alia Swastika, Pemerhati Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo