Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak ganjalan untuk menjadi universitas riset, antara lain dana penelitian yang relatif kecil dan kenyataan bahwa penelitian belum menjadi budaya perguruan tinggi di negeri ini. Untuk menggali permasalahan ini, wartawan Tempo Erwin Zachri, Gabriel Titiyoga, dan fotografer Dhemas Reviyanto menemui Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di kantornya, Selasa pekan lalu.
Bagaimana gambaran masa depan universitas riset dalam waktu dekat?
Semua perguruan tinggi wajib mengalokasikan 35 persen biaya operasional untuk riset. Perguruan tinggi besar yang menjadi universitas riset nanti kami tambah anggarannya. Dulu untuk riset Rp 2,7 triliun, sekarang Rp 5,5 triliun. Nanti universitas besar yang saya beri mandat. Sedangkan perguruan tinggi swasta ada slot sendiri, kami alokasikan sekitar Rp 300 miliar per tahun, baik riset maupun pengembangan laboratorium dan peralatan.
Menurut Anda, idealnya berapa besar dana riset kita?
Idealnya, untuk Indonesia, untuk menjadi negara industri antara 1 dan 2 persen. Tapi sepertinya tidak mampu, 1 persen sudah hebat. Dari 0,09 persen, saya targetkan 0,5 persen.
Tidak ada usaha untuk membujuk Presiden?
Sekarang kebutuhan negara cukup besar, kami membujuk industri. Saya akan mengajak industri mendukung riset.
Salah satu elemen Tridarma Perguruan Tinggi adalah penelitian. Mengapa kelompok mandiri masih kecil? Bagaimana kondisi sebenarnya?
Tidak semua universitas di Indonesia akan menjadi universitas riset, karena itu akan sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia. Universitas riset nanti hanya akan ada beberapa, yang kira-kira sudah maju, paling tidak sudah terakreditasi A. Selain itu, yang penting adalah riset yang menghasilkan inovasi. Ini berkaitan erat dengan infrastruktur, laboratorium, dan dosen.
Tridarma mencakup pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah mengklasifikasinya. Misalnya politeknik, tidak mungkin melakukan penelitian empirikal, dia melakukan penelitian terapan. Penelitian terapan itulah yang diharapkan menjadi inovasi. Riset yang menghasilkan prototipe dan inovasi itu diharapkan lebih luas.
Apa yang lebih menjadi kendala, sumber daya manusia atau dana?
Kalau diperhatikan secara keseluruhan, yang sangat dominan adalah keinginan seseorang melakukan penelitian. Tidak semua dosen punya dorongan ke sana. Kami mendorong universitas untuk melakukan penelitian terapan yang memberi manfaat pada masyarakat. Hasil yang diharapkan dari penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah meningkatnya daya saing bangsa melalui inovasi dan pekerja yang terampil. Keduanya harus didukung riset yang baik, kelembagaan yang baik, sumber daya yang baik. Saat ini tingkat inovasi kita di posisi 26, indeks persaingan kita di posisi 33. Jadi kemampuan perguruan tinggi kita masih jauh.
Bagaimana dengan kendala dana riset yang kecil?
Angka dana riset perguruan tinggi 0,09 persen dari produk domestik bruto. Angka 0,09 persen itu, 76 persen dari pemerintah dan 24 persen dari swasta. Sedangkan di Singapura, 80 persen dari industri dan?20 persen dari pemerintah. Kami telah berbicara dengan Menteri BUMN untuk menggandeng dana riset BUMN dengan para peneliti di Kementerian.
Ada target khusus?
Targetnya menghasilkan peningkatan inovasi, 19 inovasi yang menghasilkan produk tahun ini. Kementerian punya 106 penelitian inovasi, tapi yang masuk industri hanya delapan atau sembilan, sangat kecil. Tugas kami harus mempertemukan kebutuhan peneliti dan perusahaan.
Salah satu kendala untuk menjadi universitas riset adalah minimnya fasilitas. Apa yang dilakukan pemerintah untuk ini?
Pemerintah melakukan intervensi terhadap penyediaan fasilitas, contohnya di Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang Selatan) ada perbaikan laboratorium. Kalau tidak, nanti ketinggalan zaman. Indonesia sudah dipercaya hasil risetnya untuk nyamuk malaria, yang dilakukan Lembaga Eijkman. Artinya risetnya sudah kelas dunia.
Bagaimana dengan universitas?
Universitas tertentu juga sudah maju. Penelitian tulang persendian yang keropos sudah bisa didegeneratifkan, diperbarui, yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada. Politeknik Negeri Batam juga sudah bisa membuat chip. Yang belum bisa isi otak chip, untuk itu investasinya bisa Rp 2,5 triliun.
Soal SDM, apa jaminan pemerintah untuk menarik dan mempertahankan para ahli kita?
Insentif untuk mengembangkan para ahli, kami sekolahkan ke luar negeri. Biaya dari kami cukup besar. Untuk S-2 dan S-3 dalam negeri 8.000 orang, untuk luar negeri 1.000 calon doktor. Dana di Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan di Kementerian Keuangan bersama Kementerian Ristek dan Kementerian Agama itu sebesar Rp 18,5 triliun.
Untuk yang di luar negeri, ada peneliti nanoteknologi di Jepang yang ingin kembali. Kami akan membahas bagaimana menempatkan mereka, dan kami berikan insentif tambahan agar mereka tertarik, karena mereka punya nilai lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo