Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Bila Syariat Beralih ke Esensi

Kompetisi Trienal Seni Grafis Indonesia II memasukkan karya cetak digital. Ancaman bagi teknik grafis konvensional?

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang pamer Bentara Budaya, Yogyakarta, berdandan bak suasana di selasar pusat belanja. Lampu hias kerlap-kerlip meng-hiasi neon-box di dinding, membuat berbagai citraan visual yang menyedot perhatian pengunjung. Kali ini mereka disuguhi sesuatu yang spesial: produk seni grafis dalam rangkaian pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II, pada 4-11 November 2006.

Tengoklah karya Arif Rahman bertajuk Aku Jakarta dan Indonesia. Ia menampilkan kerumunan manusia yang tampak hanya berupa kepala dari perspektif pandangan di atas panggung dengan menggunakan teknik cetak saring di atas kertas. Nun jauh di belakang, terentang siluet hutan beton gedung bertingkat. Arif Rahman membingkai karyanya dengan neon-box dan masih ditambah dengan lampu warna-warni di depannya.

Peserta lain bergerak lebih jauh. Karya Arief Eko Saputro, 28 tahun, berjudul Kotak-kotak Peradaban Kota, misalnya, membangun suasana hiruk kota imajinatif yang mencekam dengan teknik cukil kayu dalam warna yang mengesankan suasana keras masyarakat urban. Namun, citraan cukil kayu tidak ia cetak ke atas kertas, melainkan ke cetak digital.

Memang hanya enam karya dari 29 karya terseleksi yang menggunakan teknik cetak digital dalam trienal kali ini. Tapi diloloskannya teknik cetak digital oleh Dewan Kurator Bentara Budaya, penyelenggara perhelatan khusus tiga tahunan seni grafis ini, merupakan perubahan cara pandang penyelenggara terhadap seni grafis. Bahkan dewan juri memilih karya dengan teknik cetak digital di atas kanvas sebagai pemenang pertama, yakni karya A.C. Andre Tanama, 24 tahun, berjudul Hegemoni Teknologi. Dengan kemampuannya mengolah citraan lewat komputer, Andre membuat bentuk sosok figur yang mengesankan hasil teknik cukilan kayu.

Mungkin di sinilah nilai lebih kemampuan Andre di mata juri. Andre menerobos semua proses pembuatan karya grafis dengan mengabaikan keterampilan tangan memainkan alat pencukil kayu, kemampuan memainkan jarum di atas lempeng tembaga, atau memelihara cara pandang visual secara terbalik agar tak salah mengisi bidang yang bakal dialiri tinta saat mencetak. Andre tak perlu repot menguasai teknik grafis konvensional. Ia cukup menguasai pengoperasian perangkat lunak komputer dan kelincahan tangannya memainkan ”si tikus”.

Sebaliknya, juri menyisihkan karya seni grafis Agus Prasetyo, 30 tahun, hanya sebagai pemenang kedua. Karya Agus mewakili karakter khas teknik seni grafis yang berkutat dengan kerumitan teknik grafis konvensional, teknik intaglio di atas kertas. ”Kerumitan dan kecanggihan teknik tidak lantas jadi jaminan, atau satu-satunya ukuran penentu mutu karya grafis,” tulis Enin Supriyanto, ketua dewan juri, dalam katalog pameran.

Perubahan cara pandang terhadap seni grafis bisa dilihat sebagai satu perkembangan yang tak terhindarkan. Bagi penyelenggara, yang penting adalah penggunaan teknik secara maksimal untuk berekspresi. ”Bagi kami, teknik olah gambar dan cetak digital adalah bagian yang sah saja dari kenyataan perkembangan seni grafis Indonesia,” kata Enin.

Perubahan ini memang bukan tiba-tiba. Dalam trienal pertama pada 2003 penyelenggara mematok secara ketat batasan teknis. Peserta harus menggunakan teknis konvensional semacam dry point, cukil kayu, etsa, akuatin, serigrafi, litografi, atau campuran berbagai teknik yang biasa dikenal seniman grafis. ”Pembatasan teknis jamak dilakukan dalam peristiwa kompetisi sejenis pada tataran tingkat dunia sekalipun,” kata Ipong Purnama Sidhi, ketua panitia Trienal Seni Grafis Indonesia I. Ipong bahkan menancapkan tekad, kompetisi tiga tahunan seni grafis ini mengemban semangat mempertahankan khazanah seni grafis sebagai bentuk ekspresi seni murni. Tapi Ipong juga mengisyaratkan akan membuka pintu kepada karya yang menggunakan teknik cetak digital pada masa mendatang.

Sejak awal, penyelenggara tampak bimbang memberi arah pada kompetisi ini. Di satu sisi ada keinginan menjadi penyelamat seni grafis konvensional dengan menetapkan kategori (seni grafis), tapi di sisi lain penyelenggara tak ingin dicap menghambat perkembangan seni grafis dengan membuka sekat kategori teknis.

Padahal, sebagai bagian dari seni murni, seniman grafis selama berabad-abad secara ketat memegang prinsip teknis dibanding seniman seni murni lainnya. Seniman lukis, misalnya, menggunakan teknik apa saja—termasuk menggunakan teknik grafis, memakai medium tiga dimensi, mengolah ruang, dan memainkan idiom secara bebas.

Sebaliknya seniman grafis bak penganut agama yang fanatik, taat pada ”syariat teknik” seni grafis. Apalagi pasar seni rupa menilai seni grafis sebagai medium kelas dua. Akibatnya, seni grafis sepi dari respons pasar. Hanya segelintir seniman grafis yang mulai mengubah cara pandang dengan lebih memperlakukan seni grafis dari aspek esensi sebagai duplikasi citraan ketimbang berkutat pada kemapanan ”syariat teknik”.

Tisna Sanjaya, misalnya, menggarap karya seni instalasi dengan tetap menggunakan seni grafis sebagai basis medium. Atau Setiawan Sabana, yang lebih radikal mengubah cara pandang terhadap seni grafis dengan menggunakan medium buku. Dua dosen seni grafis ITB ini menjadi anggota dewan juri pada trienal kali ini.

Tapi, perubahan cara pandang tentu punya risiko. Memasukkan teknik cetak digital—yang secara teknis memotong rentang proses kreatif dalam seni grafis—ke dalam kompetisi seni grafis bertabrakan dengan niat perhelatan trienal ini untuk mempertahankan khazanah seni grafis sebagai ekspresi seni murni.

Cetak digital memang bukan teknik yang lazim digunakan dalam seni grafis. Cetak digital justru populer sebagai aplikasi dalam desain grafis untuk kepentingan dunia periklanan. Jika penyelenggara kontes menjejalkan karya seni grafis dalam kategori yang sama dengan produk ”desain iklan”, apa lagi yang tersisa dalam seni grafis?

Sebenarnya kompetisi seni grafis bisa dibuat dalam kategori yang berbeda, tanpa harus menolak perkembangan teknologi. Pertama, kategori seni grafis dengan batasan ketat teknik seni grafis konvensional. Kedua, kategori yang menampung teknik dan medium baru. Masalah dana penyelenggaraan yang bertambah akan lebih mudah dicari jalan keluarnya dibanding harga yang harus dibayar dengan ikut mengubur khazanah teknis seni grafis konvensional.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus