Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A Brief History of Seven Killings
Penulis: Marlon James
Penerbit: Oneworld Publications
Edisi: 1, 2014
Bersiaplah untuk sibuk. Dalam panggung fiksi A Brief History of Seven Killings, 76 karakter bermain—13 di antaranya perawi yang silih berganti bertutur. Merekalah mata Marlon James dalam memotret Jamaika dari beragam sudut pandang: remaja yang telah menimang senjata api, geng kokain yang tak segan membunuh, politikus korup yang sok akrab dengan rakyat, agen badan intelijen Amerika Serikat (CIA) yang paranoid terhadap komunisme, hingga perempuan yang berangan-angan diajak Bob Marley terbang ke New York.
Bob Marley, bintang reggae di langit Jamaika (The Singer dalam novel ini), telah memikat warga Copenhagen City, sebuah ghetto yang suram di Kingston. Ia menyuarakan jeritan kaum papa:
[Babylon system is the vampire, yeah!
Suckin' the children day by day, yeah!
Me say: de Babylon system is the vampire, falling empire.
Suckin' the blood of the sufferers, yea-ea-ea-ea-e-ah!
(Babylon System dalam album Survival, 1979)]
Biarpun begitu, politikus perlu kaum papa dan berkepentingan menggaet bintang reggae ini. Babylon adalah kekuasaan yang ditegakkan di atas perbudakan kaum papa. Siapa menguasai Copenhagen City, ia menguasai Kingston, dan kemudian memenangi pemilihan nasional.
Namun politik selalu melahirkan prasangka. Bob Marley berada di titik maut dua hari menjelang naik pentas di Smile Jamaica Concert yang didanai People's National Party (PNP) pimpinan Michael Manley, Perdana Menteri Jamaika. Menyangka Marley telah berpihak kepada penguasa, tujuh orang bersenjata menyatroni rumahnya dan memuntahkan peluru. Marley selamat, tetap naik panggung karena berharap dapat mengakhiri pertikaian di antara dua faksi politikus-geng (PNP dan JLP—Jamaica Labour Party), tapi meninggalkan Jamaika keesokan harinya hingga dua tahun.
Inilah pintu masuk James untuk menyingkap dunia Jamaika pada 1970-an: banjir senjata api, demam narkotik, keterlibatan CIA, dan momen-momen paling keras dalam sejarah negeri itu. Tangan-tangan geng kokain Copenhagen City bahkan mencapai Miami dan New York. Kebengisan terucap dalam kata dan aksi—narasi sejarah terasa agak kering dibanding fiksi dalam meniupkan roh pada adegan demi adegan yang menggetarkan hati. Ada kengerian psikologis: kebengisan, ketakutan, dan kehampaan.
Jamaika seakan-akan tanpa hukum. Yang tegak adalah senapan dan niat jahat sejak dalam kepala. Fiksi menjadi jalan untuk mengkonstruksi sejarah, menyingkap yang tersembunyi, dan merasakan denyut nadi ketegangan hidup sehari-hari.
James mengorkestrasi suara-suara perawi (Bam-Bam, remaja 15 tahun; Papa-Lo dan Josey Wales, para don di ghetto Copenhagen City; Barry Diflorio, agen CIA; dan banyak lagi) yang bersaing menceritakan Jamaika. Perawi yang banyak mengingatkan pada As I Lay Dying-nya William Faulkner. Perawi dan karakter lain membentuk jejaring yang bertautan, membaur, menguatkan, dan perlahan menyingkapkan pertalian dengan The Singer.
Tak ada The Singer sebagai perawi. James lebih tertarik pada apa yang terjadi di sekeliling The Singer ketimbang apa yang berkecamuk dalam benak penyanyi ini. James menginginkan derajat jarak yang berbeda-beda di antara karakter-karakter itu dalam relasinya dengan The Singer.
Dalam A Brief History, tidak selalu ada alasan yang cukup bagi tindakan bengis. "Membunuh tidak memerlukan alasan. Ini ghetto," kata Bam-Bam, penembak Rita, istri Bob Marley. "Alasan hanya berlaku untuk orang kaya, sementara kegilaan yang kami punya."
James menawarkan pesona kata, aksen, dan diksi untuk memahami kompleksitas karakter. "Me can't remember when last me walking so fast and get anywhere so slow," ujar Papa-Lo, don di Copenhagen City. Juga aroma kekasaran dan kekerasan: "bloodclaat", "battyman", "f**k"—yang bertebaran. Weeper, lelaki terdidik yang berubah jadi pembunuh polisi setelah disiksa di penjara Babylon, punya dua moda bicara. "Ketika berbicara kasar dan jahat, ia berbicara seperti orang Jamaika. Ketika berbicara laiknya orang kulit putih, ia bersuara seperti sedang membaca buku," kata Demus, teman sebaya Bam-Bam.
Novel yang dianugerahi Man Booker Prize 2015 ini membaurkan unsur komikal, surealis, bengis, mimpi buruk, hingga parodi. James menangkap suara-suara di jalanan ghetto, yang tak tertulis dalam buku sejarah: kebencian, amarah, rasa lapar, ketakutan, dan keputusasaan.
Novel ketiga James ini didukung riset historis yang kuat, tapi imajinasi Jameslah yang telah menghidupkannya sebagai kisah yang membuat saya terperenyak, terlebih ketika Bam-Bam berkata: "Saat anak lelaki sepertiku lepas dari ibu, ia akan menyerah. Pendeta bilang ada kekosongan yang dibentuk oleh Tuhan dalam kehidupan setiap orang, tapi satu-satunya hal yang dapat dilakukan orang ghetto terhadap kekosongan itu adalah mengisinya dengan kekosongan pula."
Dian Basuki, penulis blog Indonesiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo