Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA pun temanya, lukisan Hendra Gunawan (61 tahun) memang
selalu punya daya tarik khas. Ya karena besarnya, ya karena
warnanya yang kontras, ya karena adegannya. 21 lukisan yang kini
dipamerkannya di Ruang Pameran TIM pun, 3 - 14 Juli, begitu.
Yang tak kurang menarik adalah cerita di balik karya-karya
tersebut. Soalnya Hendra, seperti juga Sudjojono, bukan seorang
pelukis yang hanya melukis suasana -- apalagi non-figuratif.
Tapi mempunyai hal-hal tertentu yang dicobanya dicerminkan dalam
karya-karyanya. Ada ceritanya, begitu.
Suatu hari, di umur 60-an ini, dia membaca komik Mahabbarata,
Membaca bagian yang menceritakan Pandawa bermain dadu dengan
Kaurawa, ternyata melahirkan satu lukisan besar yang
menggambarkan tingkah para Kaurawa setelah memenangkdn perjudian
itu.
Dalam Pandawa Dadu itu fokusnya Dewi Drupadi -- yang dikelilingi
Kaurawa sedang terbahak dengan muka merah dan mata melotot. Tapi
lain dari cerita sesungguhnya (yang karena pertolongan dewa,
Drupadi tak berhasil ditelanjangi Kaurawa -- selalu ada pakaian
lagi di bawah pakaian yang dilepas), karya Hendra menampilkan
Drupadi yang terbuka pakaiannya dan terlihat dadanya. "Itu
karena kekurangajaran pelukisnya saja," kata Hendra sendiri,
sambil tersenyum. Kemudian ditunjukkannya sebuah lukisan sebagai
bukti bahwa pelukisnya memang kurang ajar.
Lukisan itu berjudul Aing Dasamuka (Aku Dasamuka). "Itu potret
diri saya," celetuk Hendra. Menggambarkan seorang berkepala
banyak. Tapi tak semuanya kepala manusia -- ada buayanya, ular,
anjing, kuda. Lebih kurang dimaksudkan menunjukkan sifat apa
saja yang terkandung dalam diri "aku".
Menggorok Leher
Sebuah lukisan yang diberi harga paling mahal, Rp 12 juta,
berjudul Arjuna Menyusui. Lho, masa Arjuna menyusui? Jangan
kaget, ini hanya terjadi di belakang panggung. Arjuna itu, dalam
wayang orang, kan diperankan wanita. Waktu itu Hendra sedang
dikontrak membuat Tugu Muda di Semarang, tahun 50-an. Dia
tinggal dekat wayang orang Ngesti Pandowo. Nah, di situlah dia
melihat Arjuna menyusui anaknya sebelum keluar untuk perang
tanding melawan Cakil. "Yang menjadi Bagong di situ suami si
Arjuna. Makanya dia berani saja meletakkan tangannya ke paha
Arjuna," tutur Hendra.
Ada lagi lukisan yang menggelitik rasa ngeri. Tuak Manis
menyuguhkan entah suasana pasar, entah suasana kaki lima. Yang
jelas ada becak, ada penjual tuak, ada perempuan membawa
mangkuk-mangkuk, ada orang lalu-lalang.
Yang penting, ada tukang cukur sedang membersihkan jenggot
orang, tapi dilukis sedemikian seolah mau menyembelih orang itu.
Apalagi koran Merdeka yang dibaca si orang yang lagi dicukur
berkepala berita: "Iie Sumirat Jagal Raksasa dari Bandung." Nah,
apa tidak risih anda?
"Saya dulu tinggal di depan pembantaian hewan," demikian ia
bertutur. "Setiap hari mendengar lenguh sapi disembelih. Ini
pada satu saat menimbulkan rasa ngeri pada saya. Sampai-sampai
saya takut ke tukang cukur, ngeri kalau pisau cukurnya menggorok
leher saya. Dan ini berlangsung selama 6 bulan. Tapi akhirnya
bayangan itu lenyap sendirinya." Alhamdulillah.
Sebuah lukisan lain dihias dengan sajak. Antara lain kalimatnya:
"Di bawah badai cambuk/jembatan jembatan berbatang
rakyat/pohon-pohon berdaun orang." Lukisannya menggambarkan
Pangeran Kornel -- pangeran dari Sumedang -- berjumpa dengan
Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang melahirkan rodi jalan
raya se-Jawa itu.
"Lukisan ini memang lahir dari rasa sedih. Bahkan saya suka
mengeluarkan air mata kalau melihat lukisan ini," kata llendra
terbata-bata. "Saya ingat selalu, jalan raya di lawa ini dibayar
dengan tubuh beribu-ribu saudara kita. Dan saya jadi sedih kalau
mendengar hal-hal yang amat tak bermoral, misalnya korupsi."
Dengan mayat-mayat yang bergantungan di pohon, memang Pangeran
Kornel, judul lukisan itu, mengerikan.
"Saya pernah menyaksikan, di Madiun, entah gelandangan entah
apa, tidur di pinggir jalan di sebuah tikar. Tiba-tiba ia
berkelojot sebentar, mukanya jadi biru, lantas mati," tutur
Hendra di hadapan lukisan Pemain Ular. "Dan sejenak kemudian
seekor ular lari dari bawah tikarnya." Tapi kesan tentang betapa
ganasnya ular itu, telah membuat Hendra tersentak ketika
menyaksikan penari ular di Bandung. Sebab, sebaliknya, "ular
yang begitu ganas, bisa saja dielus-elus dibawa menari. Itu
menarik saya." Dan lahirlah lukisan tersebut.
Mungkin saja cerita-cerita Hendra tersebut tak relevan dengan
mutu karyanya. Namun adegan-adegan yang unik dalam
karya-karyanya, terkadang memang menimbulkan pertanyaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo