Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Cerita di balik lukisan

Hendra gunawan, 67, mengadakan pameran lukisan di tim, jakarta. lukisannya mempunyai daya tarik khas. kisah-kisah di balik lukisannya, menarik untuk di dengar. (sr)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA pun temanya, lukisan Hendra Gunawan (61 tahun) memang selalu punya daya tarik khas. Ya karena besarnya, ya karena warnanya yang kontras, ya karena adegannya. 21 lukisan yang kini dipamerkannya di Ruang Pameran TIM pun, 3 - 14 Juli, begitu. Yang tak kurang menarik adalah cerita di balik karya-karya tersebut. Soalnya Hendra, seperti juga Sudjojono, bukan seorang pelukis yang hanya melukis suasana -- apalagi non-figuratif. Tapi mempunyai hal-hal tertentu yang dicobanya dicerminkan dalam karya-karyanya. Ada ceritanya, begitu. Suatu hari, di umur 60-an ini, dia membaca komik Mahabbarata, Membaca bagian yang menceritakan Pandawa bermain dadu dengan Kaurawa, ternyata melahirkan satu lukisan besar yang menggambarkan tingkah para Kaurawa setelah memenangkdn perjudian itu. Dalam Pandawa Dadu itu fokusnya Dewi Drupadi -- yang dikelilingi Kaurawa sedang terbahak dengan muka merah dan mata melotot. Tapi lain dari cerita sesungguhnya (yang karena pertolongan dewa, Drupadi tak berhasil ditelanjangi Kaurawa -- selalu ada pakaian lagi di bawah pakaian yang dilepas), karya Hendra menampilkan Drupadi yang terbuka pakaiannya dan terlihat dadanya. "Itu karena kekurangajaran pelukisnya saja," kata Hendra sendiri, sambil tersenyum. Kemudian ditunjukkannya sebuah lukisan sebagai bukti bahwa pelukisnya memang kurang ajar. Lukisan itu berjudul Aing Dasamuka (Aku Dasamuka). "Itu potret diri saya," celetuk Hendra. Menggambarkan seorang berkepala banyak. Tapi tak semuanya kepala manusia -- ada buayanya, ular, anjing, kuda. Lebih kurang dimaksudkan menunjukkan sifat apa saja yang terkandung dalam diri "aku". Menggorok Leher Sebuah lukisan yang diberi harga paling mahal, Rp 12 juta, berjudul Arjuna Menyusui. Lho, masa Arjuna menyusui? Jangan kaget, ini hanya terjadi di belakang panggung. Arjuna itu, dalam wayang orang, kan diperankan wanita. Waktu itu Hendra sedang dikontrak membuat Tugu Muda di Semarang, tahun 50-an. Dia tinggal dekat wayang orang Ngesti Pandowo. Nah, di situlah dia melihat Arjuna menyusui anaknya sebelum keluar untuk perang tanding melawan Cakil. "Yang menjadi Bagong di situ suami si Arjuna. Makanya dia berani saja meletakkan tangannya ke paha Arjuna," tutur Hendra. Ada lagi lukisan yang menggelitik rasa ngeri. Tuak Manis menyuguhkan entah suasana pasar, entah suasana kaki lima. Yang jelas ada becak, ada penjual tuak, ada perempuan membawa mangkuk-mangkuk, ada orang lalu-lalang. Yang penting, ada tukang cukur sedang membersihkan jenggot orang, tapi dilukis sedemikian seolah mau menyembelih orang itu. Apalagi koran Merdeka yang dibaca si orang yang lagi dicukur berkepala berita: "Iie Sumirat Jagal Raksasa dari Bandung." Nah, apa tidak risih anda? "Saya dulu tinggal di depan pembantaian hewan," demikian ia bertutur. "Setiap hari mendengar lenguh sapi disembelih. Ini pada satu saat menimbulkan rasa ngeri pada saya. Sampai-sampai saya takut ke tukang cukur, ngeri kalau pisau cukurnya menggorok leher saya. Dan ini berlangsung selama 6 bulan. Tapi akhirnya bayangan itu lenyap sendirinya." Alhamdulillah. Sebuah lukisan lain dihias dengan sajak. Antara lain kalimatnya: "Di bawah badai cambuk/jembatan jembatan berbatang rakyat/pohon-pohon berdaun orang." Lukisannya menggambarkan Pangeran Kornel -- pangeran dari Sumedang -- berjumpa dengan Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang melahirkan rodi jalan raya se-Jawa itu. "Lukisan ini memang lahir dari rasa sedih. Bahkan saya suka mengeluarkan air mata kalau melihat lukisan ini," kata llendra terbata-bata. "Saya ingat selalu, jalan raya di lawa ini dibayar dengan tubuh beribu-ribu saudara kita. Dan saya jadi sedih kalau mendengar hal-hal yang amat tak bermoral, misalnya korupsi." Dengan mayat-mayat yang bergantungan di pohon, memang Pangeran Kornel, judul lukisan itu, mengerikan. "Saya pernah menyaksikan, di Madiun, entah gelandangan entah apa, tidur di pinggir jalan di sebuah tikar. Tiba-tiba ia berkelojot sebentar, mukanya jadi biru, lantas mati," tutur Hendra di hadapan lukisan Pemain Ular. "Dan sejenak kemudian seekor ular lari dari bawah tikarnya." Tapi kesan tentang betapa ganasnya ular itu, telah membuat Hendra tersentak ketika menyaksikan penari ular di Bandung. Sebab, sebaliknya, "ular yang begitu ganas, bisa saja dielus-elus dibawa menari. Itu menarik saya." Dan lahirlah lukisan tersebut. Mungkin saja cerita-cerita Hendra tersebut tak relevan dengan mutu karyanya. Namun adegan-adegan yang unik dalam karya-karyanya, terkadang memang menimbulkan pertanyaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus