LIDAH-lidah api menjulur memenuhi bidang pinggir. Lalu bentuk-bentuk sulur, banyak bersambung-sambung saling membelit. Kemudian bentuk-bentuk kuku pancanaka muncul di sana-sini. Dan ornamen-ornamen tipis, rumit mengisi bidang-bidang kosong. Semua unsur biasanya ini merupakan sebagian bentuk seni lukis Bali tradisional, misalnya yang bisa dilihat pada wayang kulit Bali. Tapi pada sebagian besar lukisan Made Wiyanta di Taman Ismail Marzuki pekan ini, unsur itu membentuk sesuatu yang lain, tanpa figur atau hanya sedikit figur. Dan tetap menyeruakkan bau Bali. Bila orang mencari seni lukis modern Indonesia yang punya akar kesenian sendiri, karya Made boleh ditampilkan sebagai contoh. Kebalian di sini bukanlah tempelan atau sekadar etiket. Yang pokok yaitu watak dan bau kekhasan itu, sementara bentuk boleh macam apa pun. Tapi Made taklah sengaja berniat mempertahankan Bali. Karya-karya yang dipamerkan kini, bertahun 1979 sampai 1985, adalah hasil pencarian "bagaimana sebaiknya melukis dengan enak " itu. Dan perjalanan Made, 36, cukup panjang. Mula-mula, ia belajar tari di Konservatori Karawitan, Denpasar. "Tapi di depan cermin tampang saya tak cocok buat penari," katanya. Lalu ia belajar seni lukis di Sekolah Seni Rupa, Denpasar. Di sini ia menemukan kebebasan. Seni tak dipatok mengulang-ulang bentuk yang sudah ada, sebagaimana yang ia saksikan sehari-hari di kampungnya, yang menjadikan ia jenuh. Merasa menemukan dunianya, ia kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Seni Rupa "Asri" di Yogyakarta. Selama periode sebelum 1979 itulah Made melepaskan diri sejadi-jadinya. Ia melukis nonfiguratif, bebas, cuma garis dan warna yang tidak mengingatkan pada bentuk nyata sehari-hari. Lalu ia berdiam di Brussel Belgia, sebagai pegawai sebuah kantor ekspor-impor barang kerajinan. Di sini wawasan seni rupanya bertambah. Toh, ada yang selalu menggelisahkan hatinya: kebebasan, yang dulu dirasanya mengangkatnya keluar dari kungkungan seni tradisional kini terasa kosong. Ketenteraman akhirnya ditemukannya di sebuah rumah di Desa Kamasan, Klungkung, sepulangnya ke Indonesia kembali. Di rumah Nyoman Mandra pelukis wayang tradisional yang demikian terampil, Made melihat seorang seniman yang hidup bahagia dengan keseniannya. "Nyoman Mandra tak berpikir macam-macam. Dia sehari-hari, ya, cuma melukis lalu menjualnya. Melukis baginya seperti bersawah," tutur Made. Semangat itulah yang kemudian merasuki jiwa Made Wiyanta, anak bungsu seorang pemangku Desa Apuan, Tabanan, ini. Ia tidak mempelajari bentuk-bentuk yang dibuat oleh Mandra. Tapi ia mencoba mendekati cara Mandra bekerja, sikap hidupnya sehari-hari, dan sikapnya terhadap kesenian. Made memang ikut melukis di rumah pelukis wayang Itu, dengan tinta cina, dengan kanvas atau kertas yang ditaruh di lantai atau dimeja, tak di berdirikan sebagaimana ia melukis selama ini. Made bukannya lalu menyon-tek yang digambar oleh Mandra. Yang dicari cuma suasana kerja. Dari suasana itulah lahir sulur-suluran, lidah api, ornamen-ornamen. Bila kemudian semua itu memancarkan kebalian, memang bukan masalah sekadar bentuk. Kejenuhannya terhadap seni tradisional boleh jadi menjadi pertanda bahwa ia memang telah menyerap bau Bali sepenuhnya. Sejak kanak-kanak ia sudah kenyang dengan asap dupa upacara Hindu. Lingkungan tempatnya tumbuh tentulah ikut membentuk impian dan bayangan-bayangannya tentang alam semesta ini. Dan itulah semua, menurut saya, yang kemudian muncul dalam karya-karya Made. Bau Bali dari seni lukis Made itu muncul lengkap dengan suasana magisnya, dengan garis-garis ornamentiknya yang memenuhi sepenuh bidang gambar. Lihat saja, di antara sulur-suluran berbelit-belit kadang muncul kepala manusia dengan rambut bagaikan kobaran api. Atau, sekadar mata dan hidung yang menggantung. Dan Made tak lagi peduli gambarnya dibuat dengan bahan apa. Apa saja dia pakai: pensil, bolpoin pada kertas buku tulis jadilah. Ia memang telah jadi seorang petani, dan menemukan ketenteraman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini