Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Film Islam Indonesia Kini

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eric Sasono*

Di Indonesia, film dan Islam sudah bersahabat. Ketika film Al Kautsar (1977) diputar di Bioskop Menteng, salah satu bioskop paling elite di Jakarta waktu itu, banyak penontonnya orang yang belum pernah ke bioskop sebelumnya. Sutradara film itu, Chaerul Umam (akrab dipanggil Mamang), menggambarkan, "Para penonton itu bingung cara membeli tiket dan tersipu malu melihat poster perempuan berbahu terbuka di bioskop."

Al Kautsar—skenarionya ditulis Asrul Sani—sudah mengundang kelas menengah muslim waktu itu, kata Mamang. Al Kautsar seperti melayani kebutuhan kaum muslim untuk menikmati hiburan modern dan tetap beriman sekaligus. Sebuah pasar yang baru sedang dibuka waktu itu.

Fenomena serupa terjadi pada film Ayat-ayat Cinta (2007). Ibu-ibu pengajian berkerudung yang jarang ke bioskop berduyun-duyun ke mal-mal tempat bioskop berada dan bergabung dengan para "remaja putri" bercelana pendek. Mereka sama menangis terbawa emosi menyaksikan kisah mengharukan di film itu.

Namun 1977 berbeda dengan 2007. Lebih dari 30 tahun lalu itu, kaum muslim tidak bebas-bebas amat dalam mengungkapkan identitasnya. Islam dianggap tak modern dan pantasnya berada di pinggiran saja dalam konteks kehidupan bernegara. Maka perhatikan bagaimana keimanan tokoh utama dalam film Al Kautsar, Saiful Bahri, berarti juga sikap modern dan terbuka. Saiful juga kritis terhadap pemimpin agama dan politik yang memanfaatkan situasi buat memperkaya diri. Islam, dalam Al Kautsar dan beberapa film yang ditulis Asrul Sani, tampak seperti berusaha mendaku tidak hanya bisa membuat seorang muslim jadi modern, tapi juga berperan besar dalam membawa kemajuan di negeri bernama Indonesia.

Agenda semacam itu sempat tak tampak pada film bertema Islam tahun 2000-an, seperti Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo), Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam), dan Di Bawah Langit (Opick). Para tokoh dalam film-film itu seperti tak dipusingkan lingkungan sosial-politik dan sibuk dengan agenda-agenda personal, misalnya mencari jodoh yang paling solehah (ya, para tokoh itu adalah laki-laki) atau malah mencari kekayaan dunia. Satu film bertema Islam bahkan begitu besar orientasinya terhadap kekayaan, sehingga kata yang paling banyak diucapkan dalam film itu sesudah kata "Allah" (104 kali) adalah kata "uang" dan "rezeki" (96 kali).

Bisa jadi muslim di Indonesia kini sudah tak lagi terpinggirkan, sehingga tak merasa perlu mendaku peran di Indonesia seperti pada 1970-an. Mamang juga sudah membuat film bertema Islam yang mengedepankan tokoh yang mencari jodoh. Agenda umat sudah berubah?

Bisa jadi. Sejak 1990-an, umat Islam memang sudah "masuk ke tengah" dan ikut menjadi pelaku utama birokrasi pemerintahan dan dunia usaha. Pelan-pelan apa yang dulu dianggap subversif atau cuma pinggiran kini menjadi sebuah gagasan utama yang bahkan diperjuangkan negara. Tak terbayangkan hingga 1980-an, misalnya, seorang menteri koordinator berbicara soal Indonesia sebagai pusat industri halal seperti dikatakan Menko Perekonomian Hatta Rajasa belum lama ini.

Apakah dengan berpusarnya muslim di tengah kehidupan bangsa, urusan mereka menjadi semakin pribadi? Tidak sepenuhnya. Hanung Bramantyo setidaknya mencoba menghadirkan film-film bertema Islam yang menggugat. Ia mempersoalkan kaum muslim yang dianggap kolot dan memperlakukan perempuan dengan buruk (Perempuan Berkalung Sorban) atau mengkritik sikap mengabsolutkan penafsiran agama (Sang Pencerah) dan teologi yang cenderung gemar pada kekerasan (Tanda Tanya). Sekalipun penyajian film-film ini cenderung kelewat menggampangkan penggambaran tokoh-tokoh antagonis, setidaknya muslim dalam film-film ini sedang berusaha membincangkan soal-soal serius yang melanda kehidupan bersama sebagai bangsa.

Maka pertemuan Islam dengan film tidak selalu dalam kerangka menyelesaikan urusan pribadi. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh film-film belakangan, seharusnya mampu menyelesaikan masalah kehidupan bersama, sekalipun film-film Hanung sendiri digugat dan dipersoalkan karena malah dianggap menghina Islam. Inilah justru sebuah situasi paling dinamis bagi bangsa ini untuk mendefinisikan diri. Keberagamaan dan identitas sedang menjadi agenda besar, dan film sedang menjadi arena untuk itu.

*) Kritikus film, redaktur www.rumahfilm.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus