Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Gedombrang, gong dan harry rusli

Pementasan opera rok ken arok ciptaan hary roesli di teater arena tim. penjelasan roesli tentang musiknya ia mengembangkan bunyi untuk membentuk satu emosi yang membentuk musik yang utuh.

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM sebelumnya, musikus Suka Hardjana di Teater Arena menanyakan: mana ciptaan musik Indonesia yang serius? Malam berikutnya, 30 Juli sampai 1 Agustus Harry Roesli menjawab: sejumlah bunyi gedombreng, gong disabet rantai atau botol pecah diadu. Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roecli--itulah nama panjangnya--memang gemuruh. Menyeruak ke dunia musik lewat ciptaannya opera rok Ken Arok, kini ia tampil dengan musik yang diciptakannya tahun lalu, ketika belajar di konservatorium musik Rotterdam, Negeri Belanda. Musik ini diciptakan berdasar pengamatannya atas sebuah rumah sakit di sana. Menurut Harry, rumah sakit adalah tempat berkumpulnya berbagai emosi. Ada emosi karena tubrukan mobil, ada emosi karena sakit panas dan emosi-emosi lain. Maka beberapa bulan yang lalu ketika dipergelarkan di Bandung, musik ini berjudul: Masuk Rumah Sakit. Pukul delapan malam bunyi pun mulai bergema di Teater Arena. Mula-mula terasa tak teratur, kemudian gemuruh drum dipukuli. Sekitar 20 pemuda berkaus warna muram bertulisan 'Almarhum' menyebar memilih tugas masing-masing. Arena dipenuhi dengan berbagai alat musik: drum, gitar, gong dan semacamnya. Juga berbagai benda yang bisa menimbulkan bunyi: botol, kotak kartun berisi pecahan botol, satu meja penuh kaleng kosong. Dan tentu lembar-lembar partitur. Sejumlah alat musik kecil, kliningan misalnya, digantung--merupakan pemandangan sendiri yang menambah suasana gemuruh. Koor Cewek Lima cewek masuk arena masinemasing membawa megaphone. Iudul berderet, mereka berfungsi sebagai vokalis. Tapi jangan harap menyanyikan sesuatu yang jelas. Hanya semacam keluhan, rintihan atau teriakan atau dengung, begitu. Musik Rumah Sakit berlangsung lebih kurang 75 menit, non-stop. Harry, berpakaian hitam-hitam memimpin di depan. Bagian demi bagian pun terlontar prolog, rotasi 1, koordinat, nyikalayasa, yokae, puasa-lapar dan seterusnya. Semua ada 18 bagian. Ada gemuruh, ada teriakan, ada degung, ada bising. Sebuah gong besar yang diletakkan di lantai, dihajar dengan rantai besi oleh dua pemain. Sebuah 'teror bunyi'. Pada menit ke-25 Harry sendiri tampil, menyanyi. Entah lagu apa, tapi ada kata-kata: "Indonesia, miskin, gemah ripah loh jinawi." Kemudian kembali berbunyi musik, kali ini nyaris menampilkan melodi -- tapi ditimpa suara botol pecah diadu. Disusul disapunya kaleng-kaleng di meja, bergelontangan jatuh ke lantai. Selanjutnya seperti irama jazz. Sebentar. Pada menit ke-50, pause 3 menit. Kemudian irama terasa makin kental. Mendadak pada menit ke-60 irama berubah mirip musik disko. Juga sejenak saja. Lantas musik agak pelan. Tampil suara vokal, tunggal disusul koor cewek. Jangan menangis Indonesia, jangan bersedih Indonesia, kata mereka. Dan satu seruan bersemangat yang tak jelas bunyinya mendadak dibarengi acungan tinju secara serentak oleh mereka semua. Lalu gemuruh musik mirip irama mars. Pada menit ke-73 musik berhenti begitu saja. Ke-25 orang anggota Yayasan Musil dan Teater Depot Kreasi Bandung pun meninggalkan arena. Lampu terang menyala. Penonton, penuh, tetap duduk. Tak yakin, setelah sekitar sejam 15 menit terlibat 'teror bunyi', pertunjukan ini sudah habis. "Musik bunyi ternyata hasilnya lebih baik. Emosi yang kita inginkan lebih luas tercapai," kata si Harry yang kini 29 tahun. Dan itulah sebabnya, pertunjukan ini pun disebut Musik Bunyi. Toh, ada yang tidak pas. Harry yang ingin pergelaran musiknya disebut "tontonan saja", tak sepenuhnya menyuguhkan bunyi. Pertama, ada permainan lampu sorot--yang selalu berpindah sorotannya tertuju ke pemain yang lari aktif. Kedua, tampil sejumlah aktor yang mencoba melengkapi atau menerjemahkan musik dengan gerak laku, dengan bertingkah bagaikan pasien rumah sakit (jiwa?). Itu sebuah over acting. Sungguh bertolak belakang dengan sikap rendah hati Harry, yang mengakui karyanya bukan barang baru "Sudah ada Slamet Abdul Sjukur dengan Parentbesenya dan Franki Raden dengan ilustrasi musiknii film November 1828."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus