MALAM sebelumnya, musikus Suka Hardjana di Teater Arena
menanyakan: mana ciptaan musik Indonesia yang serius? Malam
berikutnya, 30 Juli sampai 1 Agustus Harry Roesli menjawab:
sejumlah bunyi gedombreng, gong disabet rantai atau botol pecah
diadu.
Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roecli--itulah nama
panjangnya--memang gemuruh. Menyeruak ke dunia musik lewat
ciptaannya opera rok Ken Arok, kini ia tampil dengan musik yang
diciptakannya tahun lalu, ketika belajar di konservatorium musik
Rotterdam, Negeri Belanda.
Musik ini diciptakan berdasar pengamatannya atas sebuah rumah
sakit di sana. Menurut Harry, rumah sakit adalah tempat
berkumpulnya berbagai emosi. Ada emosi karena tubrukan mobil,
ada emosi karena sakit panas dan emosi-emosi lain. Maka beberapa
bulan yang lalu ketika dipergelarkan di Bandung, musik ini
berjudul: Masuk Rumah Sakit.
Pukul delapan malam bunyi pun mulai bergema di Teater Arena.
Mula-mula terasa tak teratur, kemudian gemuruh drum dipukuli.
Sekitar 20 pemuda berkaus warna muram bertulisan 'Almarhum'
menyebar memilih tugas masing-masing.
Arena dipenuhi dengan berbagai alat musik: drum, gitar, gong dan
semacamnya. Juga berbagai benda yang bisa menimbulkan bunyi:
botol, kotak kartun berisi pecahan botol, satu meja penuh kaleng
kosong. Dan tentu lembar-lembar partitur. Sejumlah alat musik
kecil, kliningan misalnya, digantung--merupakan pemandangan
sendiri yang menambah suasana gemuruh.
Koor Cewek
Lima cewek masuk arena masinemasing membawa megaphone. Iudul
berderet, mereka berfungsi sebagai vokalis. Tapi jangan harap
menyanyikan sesuatu yang jelas. Hanya semacam keluhan, rintihan
atau teriakan atau dengung, begitu.
Musik Rumah Sakit berlangsung lebih kurang 75 menit, non-stop.
Harry, berpakaian hitam-hitam memimpin di depan. Bagian demi
bagian pun terlontar prolog, rotasi 1, koordinat, nyikalayasa,
yokae, puasa-lapar dan seterusnya. Semua ada 18 bagian.
Ada gemuruh, ada teriakan, ada degung, ada bising. Sebuah gong
besar yang diletakkan di lantai, dihajar dengan rantai besi oleh
dua pemain. Sebuah 'teror bunyi'.
Pada menit ke-25 Harry sendiri tampil, menyanyi. Entah lagu
apa, tapi ada kata-kata: "Indonesia, miskin, gemah ripah loh
jinawi." Kemudian kembali berbunyi musik, kali ini nyaris
menampilkan melodi -- tapi ditimpa suara botol pecah diadu.
Disusul disapunya kaleng-kaleng di meja, bergelontangan jatuh ke
lantai. Selanjutnya seperti irama jazz. Sebentar. Pada menit
ke-50, pause 3 menit.
Kemudian irama terasa makin kental. Mendadak pada menit ke-60
irama berubah mirip musik disko. Juga sejenak saja. Lantas musik
agak pelan. Tampil suara vokal, tunggal disusul koor cewek.
Jangan menangis Indonesia, jangan bersedih Indonesia, kata
mereka. Dan satu seruan bersemangat yang tak jelas bunyinya
mendadak dibarengi acungan tinju secara serentak oleh mereka
semua. Lalu gemuruh musik mirip irama mars. Pada menit ke-73
musik berhenti begitu saja.
Ke-25 orang anggota Yayasan Musil dan Teater Depot Kreasi
Bandung pun meninggalkan arena. Lampu terang menyala. Penonton,
penuh, tetap duduk. Tak yakin, setelah sekitar sejam 15 menit
terlibat 'teror bunyi', pertunjukan ini sudah habis.
"Musik bunyi ternyata hasilnya lebih baik. Emosi yang kita
inginkan lebih luas tercapai," kata si Harry yang kini 29 tahun.
Dan itulah sebabnya, pertunjukan ini pun disebut Musik Bunyi.
Toh, ada yang tidak pas. Harry yang ingin pergelaran musiknya
disebut "tontonan saja", tak sepenuhnya menyuguhkan bunyi.
Pertama, ada permainan lampu sorot--yang selalu berpindah
sorotannya tertuju ke pemain yang lari aktif. Kedua, tampil
sejumlah aktor yang mencoba melengkapi atau menerjemahkan musik
dengan gerak laku, dengan bertingkah bagaikan pasien rumah sakit
(jiwa?).
Itu sebuah over acting. Sungguh bertolak belakang dengan sikap
rendah hati Harry, yang mengakui karyanya bukan barang baru
"Sudah ada Slamet Abdul Sjukur dengan Parentbesenya dan Franki
Raden dengan ilustrasi musiknii film November 1828."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini