Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Potret-potret selintas sebuah ...

Pengarang: nasir tamara jakarta: sinar harapan, 1980 resensi oleh: goenawan mohammad. (bk)

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REVOLUSI IRAN oleh Nasir Tamara, 446 halaman, Penerbit Sinar Harapan, 1980 PEKERJAAN wartawan dimaksudkan untuk memberi tahu. Tapi soalnya: sampai sejauh mana wartawan itu sendiri tahu? Dalam suatu peristiwa besar dan cepat seperti perang atau revolusi, tanda tanya itu bisa lebih menggelembung. Revolusi Iran adalah contohnya. Inilah barangkali revolusi yang paling terbuka untuk diikuti pers, malah mungkin mendapatkan momentumnya karena peranan media. Ratusan wartawan datang ke dan pergi dari dalamnya. Tapi orang Iran punya istilah untuk kontak semacam ini: raft-o-amad. Arti harfiahnya pergi dan datang. Yang terjadi bukanlah suatu interaksi yang mendalam. Nasir Tamara, wartawan sinar Harapan, adalah salah satu dari sedikit wartawan dari pelbagai negeri yang ikut perjalanan bersejarah Ayatullah Khomeini dari pengasingannya di Prancis ke tanahairnya, tak lama setelah Almarhum Reza Pahlevi pergi dari tahta. Setahun setelah itu Nasir, yang tinggal di Paris, kembali ke Iran untuk mengcover masalah disanderanya sejumlah diplomat Amerika di Teheran. Dari kedua kepergian itu tulisannya dikirimkan ke Jakarta. Dari pclbagai laporannya itu terbentuklah buku tebal ini. Megalomaniak Kita di Indonesia memang beruntung bahwa ada wartawan Indonesia yangJ, tanpa ragu dan cukup ongkos, pergi menyaksikan revolusi Iran dari dekat untuk kita. Membaca laporan pelbagai media Barat dari Teheran saja memang tak memuaskan. Bukan karena mereka proshah atau pro-Amerika (banyak juga yang anti), tapi karena kerangka referensi mereka tak selamanya cocok dengan kita. Wartawan Italia, Oriana Fallaci, misalnya, dalam suatu tulisan anti-Shah yang galak, hasil wawancaranya dengan Mohammad Reza Pahlavi, menyebut Shah Iran itu sebagai "megalomaniak yang sangat berbahaya", yang telah mulai melakukan "invasi ke Barat" dengan membeli saham Pan American dan Fiat. Fallaci jelas berbicara sebagai seorang Barat: dia tak melihat bahwa impian Syah Iran untuk kebesaran adalah impian yang sulit dielakkan seorang pemimpin negeri Dunia Ketiga, yang punya masa silam yang hebat tapi berada di abad ke-20 yang memojokkan. Ia menyebut dibelinya saham Pan Am dan Fiat sebagai "invasi", semenatara itu adalah perdagangan biasa -- yang juga dilakukan orang kulit putih ke Timur. Nasir, alhamdulillah, bukan orang Italia. Keuntungan Nasir yang lain, dalam melihat revolusi Iran, ialah bahwa ia (lahir di Lampung tahun 1951) beragama Isiam. Dia tak merasa kaget atas yang terjdi, dia tak bingung melihat peran km ulama yang sangat menentukan daam revolusi itu. Ditambah dengan kelwesannya bergaul, dia boleh dibilang tak cuma mengadakan kontak jurnalistik yang sepintas. Tapi betapa pun wartawan harus mengakui batasnya sendiri--terutama bila dia harus menulis buku. Revolusi Iran pada dasarnya adalah potret-potret selintas tentang suatu perkembangan yang terpisah-pisah dan berlansung cepat. Sebagai tulisan untuk koran. snapshots itu sangat kena. Tapi suatu ikhtiar untuk mengombinasikan itu semua dengan suatu telaah sosialekonomis, merupakan kerja yang tak mudah -- terutama bila si penulis memang berangkat ke Iran tidak sebagai peneliti, dan terutama bila ia tak diimbangi editor yang kuat. Karena itulah dalam bagian-bagiannya dan merupakan snapshots buku ini menarik, tapi secara keseluruhan (terasa kurang kompak dan utuh. Disini, misalnya, ada analisa tentang arah pembangunan di Iran--nampaknya dari bacaan --tapi ada juga terjemahan wawancara wartawan lain. Judul-judul paragraf yang diberi angka juga bisa menyesatkan: seakan jadi judul bab baru. Meskipun demikian, buku ini tetap suatu analecta yang penting tentang Revolusi Iran. Hanya harus dicatat Nasir Tamara bukanlah sekedar penulis kronik yang tanpa rasa terlibat. Dan seperti banyak tulisan lain tentang Iran menelang dan selama revolusi, ada kehendak menjelaskan kenapa kekaisaran Pahlavi yang mentereng itu begitu mudah rontok. Karena itu, ia cenderung hanya mengorak apa yang salah dari sang Syah. Apa yang salah dari Almarhum Reza Pahlavi merupakan daftar panjang yang sebagian sudah berulang ditulis. Tap rolusi Iran memang masih baru setahun. Sikap partisan belum reda. Sulit untuk mengambil jarak, bersikap kritis ke segala sisi. Kesulitan itu nampak juga pada Nasir: apalagi agaknya ia teramat dekat dengan sumber ceritanya. Itu tak berarti ia tak pernah kritis. Cerita tentang ekses-ekses perlakuan orang Iran kini terhadap kaum minoritas non-Islam ditampilkannya juga. Tentunya dengan berhati-hati. Sebab begitulah: salah satu kerepotan orang Indonesia menulis tentang revolusi yang berbendera Islam itu adalah bahwa ia harus berhati-hati, baik itu demi untuk tak melukai orang seagama, atau pun demi untuk tak dituduh berkacamata Barat. Akibat buruknya tentu ada kita enggan berterus-terang tentang hal-hal yang menurut hati kecil kita sendiri tidak terpuji. Kita bahkan tak berani ragu, mungkin apa yang terjadi di Iran itu menunjukkan belum siapnya suatu resep Islam untuk menyelesaikan suatu revolusi dan mengelola sebuah negara. Ataukah kita memang tak harus berpikir lagi? Nasir Tamara mengutip, untuk semacam motto bagi bukunya, ucapan seorang lran, bahwa imperialisme juga "sebuah penjajahan cara berpikir dan cara hidup yang datang dari luar, terkadang secara halus tak terlihat, merasuki suatu bangsa". Mungkin itulah pencerminan semangat revolusi yang dipimpin Ayatullah homeini ini. Tapi membersihkan diri dari "cara berpikir dan cara hidup yang datang dari luar"--kalaupun itu mungkin--barangkali lebih cocok sebagai seruan Pol Pot di Kamboja tempo hari. Saya tidak yakin adakah itu seruan Islam--yang di Iran sendiri justru datang dari luar, dan yang dalam sejarahnya tak gentar menemui alam pikiran Yunani, kebudayaan Persia ataupun cara hidup di Indonesia. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus