Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Instalasi Bambu Seniman Indonesia Buat Kagum Warga Frankfurt

Bambu-bambu buatan seniman Indonesa Joko Avianto itu dipasang di sebuah kafe di Fankfurt menyerupai empat naungan pohon beringin besar.

10 Oktober 2015 | 17.23 WIB

Pameran seni instalasi bambu karya Joko Avianto di Frankfurt. TEMPO/Seno Joko
Perbesar
Pameran seni instalasi bambu karya Joko Avianto di Frankfurt. TEMPO/Seno Joko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Frankfurt - Lonceng gereja berdentang terdengar di kawasan Romerberg, Frankfurt. Kawasan yang telah ada sejak zaman imperium  Romawi dan penuh bangunan  tua-tua itu selalu dipenuhi turis. Para wisatawan biasanya berkumpul di plaza di depan gereja  Altai Nikolai Kirche (Protestan Paris Chuch) di sekitar  air mancur dewi kedilan yang kedua tangannya membawa  pedang dan neraca.

Tapi ada pemandangan agak lain di kawasan plaza Romersberg bulan-bulan ini. Di kafe Frankfurter Kunstverein, letaknya tak jauh dari Museum Schirn Kunsthalle Frankfurt dan juga Katedral Frankfurt yang megah, pengunjung dapat melihat sebuah  instalasi bambu yang memikat. Bambu-bambu itu menutupi hampir separuh  sisi muka kafe kecuali pintu masuk dan jendela-jendelanya.

Yang membuat orang terperangah bambu-bambu itu penampilannya bisa sedemikian plastis. Plintir memelintir. Siapa saja yang lalu lalang di depan kafe tersebut pasti berhenti dan  memotret. Itulah karya perupa Joko Avianto, berjudul Big Tree.

Joko membawa 1525 bambu dari Jawa barat. Di Frankfurt bambu-bambu tersebut ia permak sedemikian rupa sehingga menyerupai empat naungan pohon beringin yang besar. Ia dikenal memiliki teknik sendiri untuk memecah bagian dalam bambu agar bambu kemudian seperti halnya karet bisa lentur dan bisa dibuat belit membelit, gulung menggulung, plintir memelintir.

Karya Joko bagian dari pameran Roots: Indonesian Contemporary Art di Frankfurter Kunstverein. Di dalam galeri kita bisa menyaksikan mural dari Eko Nugroho dan karya Jompet (Yogyakarta) dan Tromarama(Bandung)  . Pameran ini dikuratori Franziska Nori dan Asikin Hasan. Dan kerjasama Galeri Nasional Jakarta dan Frankfurter Kunstverein.

Eko Nugroho menggambari dinding-dinding yang menghubungkan lantai satu dan dua. Seperti biasa mural Eko berupa  sosok-sosok  antara astronot dan makhluk antah berantah tapi ada celetukan-celutakan politik.Nicht politisch sondern schicksal tulisnya di dinding. Sementara Jompet menyajikan karya instalasi gantungan-gantungan 15 sosok kepala yang mengenakan sarung kepala intifadah dari  kaos-kaos pop. Lalu ada gantungan setang-setang sepeda motor.

Jompet ingin menggambarkan  pawai-pawai jalanan  dari kelompok keagamaan tertentu yang  seringmembawa  atribut-atribut. Sebuah toa dipasang. Dari toa itu keluar bunyi  klakson, suara orang menyeru-nyeru. Lampu pada setang sepeda secara otomatis menyala sendiri, dan terdengar suara menderum-derum.

Kelompok Tromarama menampilkan Break a Leg. Mereka menggelantungkan ratusan handuk leher putih yang murah yang diproduksi masal di Cina. Mereka membeli handuk-handuk itu di Cina. Merknya: Good Morning. Mereka ingin merefleksikan soal  globalisasi di Asia. Bagaimana handuk-handuk murah dari Cina itu bisa dijual ke seluruh penjuru Asia. Sampai juga masuk ke toko-toko kelontong kita dan melingkar di leher kernet-kernet mikrolet .Di tiap handuk itu dibordir sesosok laki-laki berlari. Pada sebuah layar, laki-laki itu dihidupkan secara digital. Ia berlari terus menerus tiada henti.

Di Frankfurter Kunstverein, pada 15 Oktober nanti akan ada diskusi yang melibatkan semua perupa, kurator juga Amanda Rrath, profesor dari jurusan sejarah seni Universitas Goethe, Frankfurt . Pada 18 Oktober ,akan ada ceramah  bertema  Bambu dalam Botani dan Seni oleh ahli botani Dr Ulrike Brunke. Sebelumnya menjelang acara pembukaan , pada 25 September lalu   Dr Ulrike Brunke juga menjadi guide penonton ke tempat penanaman bambu di Palmengarten Frankfurt. Dan lonceng Katedral Frankfurt pun berdentang. Empat pohon besar dari bambu yang dibuat Joko Avianto  berdiri kokoh, akar-akarnya seolah tertanam kuat di kawasan katedral.                                                                           
            
SENO JOKO SUYONO (FRANKFURT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nunuy Nurhayati

Nunuy Nurhayati

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus