Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Frankfurt - Lonceng gereja berdentang terdengar di kawasan Romerberg, Frankfurt. Kawasan yang telah ada sejak zaman imperium Romawi dan penuh bangunan tua-tua itu selalu dipenuhi turis. Para wisatawan biasanya berkumpul di plaza di depan gereja Altai Nikolai Kirche (Protestan Paris Chuch) di sekitar air mancur dewi kedilan yang kedua tangannya membawa pedang dan neraca.
Tapi ada pemandangan agak lain di kawasan plaza Romersberg bulan-bulan ini. Di kafe Frankfurter Kunstverein, letaknya tak jauh dari Museum Schirn Kunsthalle Frankfurt dan juga Katedral Frankfurt yang megah, pengunjung dapat melihat sebuah instalasi bambu yang memikat. Bambu-bambu itu menutupi hampir separuh sisi muka kafe kecuali pintu masuk dan jendela-jendelanya.
Yang membuat orang terperangah bambu-bambu itu penampilannya bisa sedemikian plastis. Plintir memelintir. Siapa saja yang lalu lalang di depan kafe tersebut pasti berhenti dan memotret. Itulah karya perupa Joko Avianto, berjudul Big Tree.
Joko membawa 1525 bambu dari Jawa barat. Di Frankfurt bambu-bambu tersebut ia permak sedemikian rupa sehingga menyerupai empat naungan pohon beringin yang besar. Ia dikenal memiliki teknik sendiri untuk memecah bagian dalam bambu agar bambu kemudian seperti halnya karet bisa lentur dan bisa dibuat belit membelit, gulung menggulung, plintir memelintir.
Karya Joko bagian dari pameran Roots: Indonesian Contemporary Art di Frankfurter Kunstverein. Di dalam galeri kita bisa menyaksikan mural dari Eko Nugroho dan karya Jompet (Yogyakarta) dan Tromarama(Bandung) . Pameran ini dikuratori Franziska Nori dan Asikin Hasan. Dan kerjasama Galeri Nasional Jakarta dan Frankfurter Kunstverein.
Eko Nugroho menggambari dinding-dinding yang menghubungkan lantai satu dan dua. Seperti biasa mural Eko berupa sosok-sosok antara astronot dan makhluk antah berantah tapi ada celetukan-celutakan politik.Nicht politisch sondern schicksal tulisnya di dinding. Sementara Jompet menyajikan karya instalasi gantungan-gantungan 15 sosok kepala yang mengenakan sarung kepala intifadah dari kaos-kaos pop. Lalu ada gantungan setang-setang sepeda motor.
Jompet ingin menggambarkan pawai-pawai jalanan dari kelompok keagamaan tertentu yang seringmembawa atribut-atribut. Sebuah toa dipasang. Dari toa itu keluar bunyi klakson, suara orang menyeru-nyeru. Lampu pada setang sepeda secara otomatis menyala sendiri, dan terdengar suara menderum-derum.
Kelompok Tromarama menampilkan Break a Leg. Mereka menggelantungkan ratusan handuk leher putih yang murah yang diproduksi masal di Cina. Mereka membeli handuk-handuk itu di Cina. Merknya: Good Morning. Mereka ingin merefleksikan soal globalisasi di Asia. Bagaimana handuk-handuk murah dari Cina itu bisa dijual ke seluruh penjuru Asia. Sampai juga masuk ke toko-toko kelontong kita dan melingkar di leher kernet-kernet mikrolet .Di tiap handuk itu dibordir sesosok laki-laki berlari. Pada sebuah layar, laki-laki itu dihidupkan secara digital. Ia berlari terus menerus tiada henti.
Di Frankfurter Kunstverein, pada 15 Oktober nanti akan ada diskusi yang melibatkan semua perupa, kurator juga Amanda Rrath, profesor dari jurusan sejarah seni Universitas Goethe, Frankfurt . Pada 18 Oktober ,akan ada ceramah bertema Bambu dalam Botani dan Seni oleh ahli botani Dr Ulrike Brunke. Sebelumnya menjelang acara pembukaan , pada 25 September lalu Dr Ulrike Brunke juga menjadi guide penonton ke tempat penanaman bambu di Palmengarten Frankfurt. Dan lonceng Katedral Frankfurt pun berdentang. Empat pohon besar dari bambu yang dibuat Joko Avianto berdiri kokoh, akar-akarnya seolah tertanam kuat di kawasan katedral.
SENO JOKO SUYONO (FRANKFURT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini