Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Intermezo akhir tahun

Pameran senirupawan muda di tim, dihebohkan oleh pemasangan patung di puncak planetarium. pembuatnya, hari sulistianto & agus ramona hadi. petugas satgas intel sempat menahan hadi beserta karyanya. (sr)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang mulai berdatangan masuk kerja di kantor-kantor di kawasan TIM (antara lain TIM sendiri, Dewan Kesenian Jakarta, Planetarium, Yayasan Dokumentasi HB Jassin) Rabu pagi pekan lalu terkejut, kagum dan heran. Bahkan Amak Baldjun, salah seorang manajer TIM, sempat diajak bergurau seorang teman. "Lihat Pak Amak, ada orang bunuh diri dari atap Planetarium. " Menengok ke atap Planetarium yang terletak sekitar 50 meter dari kantor TIM, Amak sempat tercengang. Sesosok tubuh berpakaian hitam terikat pada penangkal petir, persis di puncak atap yang berbentuk separuh bola setinggi 25 meter. Sedikit di bawah ujung penangkal petir berkibar bendera kecil merah berbentuk segitiga. Kedua mereka lantas tertawa, karena ternyata itu hanya patung. Tapi tertawa Amak Baljun tak lama. Ia kemudian harus ikut sibuk menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh patung nyentrik itu. Pihak Planetarium ternyata kaget, dan tak setuju, rumah tangganya diganggu sebiji patung. Sebelum fajar menyingsing, Darsa Soekartadiredja, Direktur Planetarium, telah tahu ada benda baru pada bangunan yang menjadi tanggung jawabnya. "Keamanan Planetarium sudah mengetahuinya tengah malam, bahwa ada dua orang memanjat atap dan memasang patung," katanya. Sarjana astronomi ITB lulusan 1972 ini diberitahu sekitar pukul 05.00 Rabu pagi, dan langsung menemui kedua pemasang patung yang baru turun. "Saya hanya meminta keduanya, yang ternyata mahasiswa ITB, untuk menurunkan patung itu karena berbahaya. Sebab jika penangkal petir tak bekerja, dan ada petir, Planetarium bisa terbakar," tuturnya kepada TEMPO. Tentu saja kedua pemuda itu, kalau harus naik atap lagi saat itu juga akan mati lemas -- sebab pemasangan patung itu sendiri memakan waktu tidak hanya 1-2 jam (lihat Box). "Saya memahami kondisi mereka. Tapi saya juga khawatir apa kata orang-orang yang melihat patung itu," kata Darsa. Dan setelah Darsa mendapat penjelasan bahwa patung tersebut adalah bagian dari Pameran Senirupawan Muda, yang dibuka Selasa malam di Galeri Baru TIM, ia pun lantas meminta TIM yang menurunkan barang itu. Sebab selain barang itu berbahaya, Planetarium bukan termasuk wilayah TIM (meski satu kompleks) dan sebelumnya tak ada permintaan izin. Pemadam Kebakaran Tentu saja pihak TIM menangguhkan jawaban -- karena harus lebih dulu menghbbungi Dewan Kesenian Jakarta, penyelenggara pameran. Pihak Dewan, diwakili oleh Nashar, Alam Surawidjaja dan Ramadhan KH -- yang semuanya pun tak tahu akan ada patung bertengger di atap Planetarium -- juga tak bisa menjanjikan apa-apa, sebelum bertemu kedua mahasiswa. "Sebab, pendapat kami, yang bisa menurunkan tentunya hanya yang bisa menaikkan," kata Amak. Bahkan Ramadhan secara polos berkomentar "Ah, cantik benar patung itu!" Persoalan ini berbuntut tak enak. Sebelum DKJ berhasil menemui kedua pematung -- Agus Ramona Hadi dan Hari Sulistianto --serombongan petugas Koramil dan Satgas Intel Kodam V Jaya muncul di Planetarium. "Saya tak melapor ke mana-mana, selain minta TIM selckasnya menurunkan patung," kata Darsa heran, tak menduga arah perkemhangan masalah. Di kompleks TIM itu, kecuali petugas keamanan TIM dan Planetarium, memang ada juga petugas Koramil. Pembicaraan pihak DKJ dengan para petugas tak mencapai kata sepakat. Lantas mobil pemadam kebakaran didatangkan, untuk mengambil patung. Ternyata tangga yang dimiliki mobil itu tak mencapai puncak. Lalu para petugaspun agaknya memutuskan untuk menunggu sang pematung yang sedang dicari DKJ. Eh, entah siapa yang terlebih dahulu tahu, mereka semua lantas tertarik pada seutas benang oranye panjang, yang lewat pohon-pohon di halaman TIM, ternyata menghubungkan patung di pucuk itu dengan ruang pameran Galeri Baru. Sepeda Motor Petugas lalu jadi tertarik untuk juga melihat pameran di gedung lain itu. Meski sudah ditutup, sudah lebih pukul 13.00, toh pihak DKJ meluluskan permintaan. Nah, sekarang sebuah patung lain, berwujud kerangka manusia berwarna hitam, tengkoraknya berbalut kain merah putih, kakinya terbelenggu rantai yang digembok, dan di barisan tulang iganya tergantung sebidang kertas kuning, menurut para petugas tidak pantas dipamerkan. Sebab ada tulisan di kertas kuning itu -- yang pokoknya berisi keluhan, bahwa di suatu tempat "apa-apa serba diatur" (tak jelas siapa yang mengatur dan di mana). Ini karya Slamet Ryadhi, 24 tahun, jebolan STSRI 'Asri' Yogya. Satu lagi. Karya Hardi, 28 tahun, juga jebolan 'Asri' Yogya, yang berupa gambar Presiden RI Tabun 2001. Sebetulnya karya Hardi ini pernah dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Baru beberapa waktu lalu di TIM juga -- dan tak menimbulkan apa-apa. Tapi waktu itu memang belum ada embel-embelnya, misalnya "program Presiden". Adapun yang dimunculkan sebagai presiden di situ tak lain Hardi sendiri. Entah mengapa, petugas menyarankan agar benda itu juga dicabut dari pameran. Malah kemudian berkembang menjadi: mereka ingin membawa kedua karya itu untuk "dipinjam". Tentu, sekali lagi, pihak DKJ menolak -- karena seperti biasanya, mesti ada persetujuan pemilik karya. Agaknya kesabaran petugas ada batasnya. Setelah lama menunggu dan mereka yang dicari tak muncul menjelang pameran dibuka lagi sore harinya (pukul 17.00), petugas dengan paksa mencabut karya Hardi dan dibawa. Sementara karya Slamet sempat disimpan di dalam gudang oleh orang DKJ. Semua pihak katakanlah merasa lega - sebentar. Yang menjadi masalah kemudian, perlukah mereka menanyakan karya Hardi, andai sampai keesokan harinya ternyata belum dikembalikan? Para seniman muda sepakat untuk menanyakannya. Tapi DKJ, merasa sebagai penanggungjawab, bersedia mengambil alih pekerjaan itu. Toh paginya keburu datang berita lain. Sebetulnya Rabu malam itu, sekitar pukul 24.00, patung berhasil diturunkan oleh seorang anggota Tim SAR -- dengan bantuan lampu sorot yang ditaruh di tangga pemadam kebakaran. Tapi di tempat lain, di kawasan Tomang, petugas mengambil dan menahan Hardi. Cerita ini datang dari Adi Kurdi, sutradara muda, yang serumah dengan pelukis itu. Sedang "parung kerangka" nya Slamet, sekitar pukul 04.00 dinihari sempat pula diambil petugas -- setelah berhasil mendapat kunci gudang dari pemegang kunci. Perkembangan ini menyebabkan DKJ Jumat pagi mencoba meminta keterangan ke Satgas Intel. Menurut Wahyu Sihombing, yang antara lain bersama dua seniman muda Sulebar dan Munni Ardhi datang ke Satgas Intel Jaya, penahanan Hardi hanya untuk sementara -- untuk didengar keterangannya. Rupanya benar. Jumat sore pelukis Hardi sudah berkumpul kembali dengan teman-temannya di TIM. Ia dibebaskan tanpa syarat. Bahkan katanya, karyanya akan dibeli pihak Satgas Intel. "Cuma ikat pinggang saya diminta sesama tahanan," katanya nyengir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus