Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA yang mulai berdatangan masuk kerja di kantor-kantor di
kawasan TIM (antara lain TIM sendiri, Dewan Kesenian Jakarta,
Planetarium, Yayasan Dokumentasi HB Jassin) Rabu pagi pekan lalu
terkejut, kagum dan heran. Bahkan Amak Baldjun, salah seorang
manajer TIM, sempat diajak bergurau seorang teman. "Lihat Pak
Amak, ada orang bunuh diri dari atap Planetarium. "
Menengok ke atap Planetarium yang terletak sekitar 50 meter dari
kantor TIM, Amak sempat tercengang. Sesosok tubuh berpakaian
hitam terikat pada penangkal petir, persis di puncak atap yang
berbentuk separuh bola setinggi 25 meter. Sedikit di bawah ujung
penangkal petir berkibar bendera kecil merah berbentuk segitiga.
Kedua mereka lantas tertawa, karena ternyata itu hanya patung.
Tapi tertawa Amak Baljun tak lama. Ia kemudian harus ikut sibuk
menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh patung nyentrik itu.
Pihak Planetarium ternyata kaget, dan tak setuju, rumah
tangganya diganggu sebiji patung. Sebelum fajar menyingsing,
Darsa Soekartadiredja, Direktur Planetarium, telah tahu ada
benda baru pada bangunan yang menjadi tanggung jawabnya.
"Keamanan Planetarium sudah mengetahuinya tengah malam, bahwa
ada dua orang memanjat atap dan memasang patung," katanya.
Sarjana astronomi ITB lulusan 1972 ini diberitahu sekitar pukul
05.00 Rabu pagi, dan langsung menemui kedua pemasang patung yang
baru turun. "Saya hanya meminta keduanya, yang ternyata
mahasiswa ITB, untuk menurunkan patung itu karena berbahaya.
Sebab jika penangkal petir tak bekerja, dan ada petir,
Planetarium bisa terbakar," tuturnya kepada TEMPO.
Tentu saja kedua pemuda itu, kalau harus naik atap lagi saat itu
juga akan mati lemas -- sebab pemasangan patung itu sendiri
memakan waktu tidak hanya 1-2 jam (lihat Box). "Saya memahami
kondisi mereka. Tapi saya juga khawatir apa kata orang-orang
yang melihat patung itu," kata Darsa. Dan setelah Darsa mendapat
penjelasan bahwa patung tersebut adalah bagian dari Pameran
Senirupawan Muda, yang dibuka Selasa malam di Galeri Baru TIM,
ia pun lantas meminta TIM yang menurunkan barang itu. Sebab
selain barang itu berbahaya, Planetarium bukan termasuk wilayah
TIM (meski satu kompleks) dan sebelumnya tak ada permintaan
izin.
Pemadam Kebakaran
Tentu saja pihak TIM menangguhkan jawaban -- karena harus lebih
dulu menghbbungi Dewan Kesenian Jakarta, penyelenggara pameran.
Pihak Dewan, diwakili oleh Nashar, Alam Surawidjaja dan Ramadhan
KH -- yang semuanya pun tak tahu akan ada patung bertengger di
atap Planetarium -- juga tak bisa menjanjikan apa-apa, sebelum
bertemu kedua mahasiswa. "Sebab, pendapat kami, yang bisa
menurunkan tentunya hanya yang bisa menaikkan," kata Amak.
Bahkan Ramadhan secara polos berkomentar "Ah, cantik benar
patung itu!"
Persoalan ini berbuntut tak enak. Sebelum DKJ berhasil menemui
kedua pematung -- Agus Ramona Hadi dan Hari Sulistianto
--serombongan petugas Koramil dan Satgas Intel Kodam V Jaya
muncul di Planetarium. "Saya tak melapor ke mana-mana, selain
minta TIM selckasnya menurunkan patung," kata Darsa heran, tak
menduga arah perkemhangan masalah. Di kompleks TIM itu, kecuali
petugas keamanan TIM dan Planetarium, memang ada juga petugas
Koramil.
Pembicaraan pihak DKJ dengan para petugas tak mencapai kata
sepakat. Lantas mobil pemadam kebakaran didatangkan, untuk
mengambil patung. Ternyata tangga yang dimiliki mobil itu tak
mencapai puncak. Lalu para petugaspun agaknya memutuskan untuk
menunggu sang pematung yang sedang dicari DKJ.
Eh, entah siapa yang terlebih dahulu tahu, mereka semua lantas
tertarik pada seutas benang oranye panjang, yang lewat
pohon-pohon di halaman TIM, ternyata menghubungkan patung di
pucuk itu dengan ruang pameran Galeri Baru.
Sepeda Motor
Petugas lalu jadi tertarik untuk juga melihat pameran di gedung
lain itu. Meski sudah ditutup, sudah lebih pukul 13.00, toh
pihak DKJ meluluskan permintaan. Nah, sekarang sebuah patung
lain, berwujud kerangka manusia berwarna hitam, tengkoraknya
berbalut kain merah putih, kakinya terbelenggu rantai yang
digembok, dan di barisan tulang iganya tergantung sebidang
kertas kuning, menurut para petugas tidak pantas dipamerkan.
Sebab ada tulisan di kertas kuning itu -- yang pokoknya berisi
keluhan, bahwa di suatu tempat "apa-apa serba diatur" (tak jelas
siapa yang mengatur dan di mana). Ini karya Slamet Ryadhi, 24
tahun, jebolan STSRI 'Asri' Yogya.
Satu lagi. Karya Hardi, 28 tahun, juga jebolan 'Asri' Yogya,
yang berupa gambar Presiden RI Tabun 2001. Sebetulnya karya
Hardi ini pernah dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Baru
beberapa waktu lalu di TIM juga -- dan tak menimbulkan apa-apa.
Tapi waktu itu memang belum ada embel-embelnya, misalnya
"program Presiden". Adapun yang dimunculkan sebagai presiden di
situ tak lain Hardi sendiri.
Entah mengapa, petugas menyarankan agar benda itu juga dicabut
dari pameran. Malah kemudian berkembang menjadi: mereka ingin
membawa kedua karya itu untuk "dipinjam". Tentu, sekali lagi,
pihak DKJ menolak -- karena seperti biasanya, mesti ada
persetujuan pemilik karya.
Agaknya kesabaran petugas ada batasnya. Setelah lama menunggu
dan mereka yang dicari tak muncul menjelang pameran dibuka lagi
sore harinya (pukul 17.00), petugas dengan paksa mencabut karya
Hardi dan dibawa. Sementara karya Slamet sempat disimpan di
dalam gudang oleh orang DKJ.
Semua pihak katakanlah merasa lega - sebentar. Yang menjadi
masalah kemudian, perlukah mereka menanyakan karya Hardi, andai
sampai keesokan harinya ternyata belum dikembalikan? Para
seniman muda sepakat untuk menanyakannya. Tapi DKJ, merasa
sebagai penanggungjawab, bersedia mengambil alih pekerjaan itu.
Toh paginya keburu datang berita lain. Sebetulnya Rabu malam
itu, sekitar pukul 24.00, patung berhasil diturunkan oleh
seorang anggota Tim SAR -- dengan bantuan lampu sorot yang
ditaruh di tangga pemadam kebakaran. Tapi di tempat lain, di
kawasan Tomang, petugas mengambil dan menahan Hardi. Cerita ini
datang dari Adi Kurdi, sutradara muda, yang serumah dengan
pelukis itu. Sedang "parung kerangka" nya Slamet, sekitar pukul
04.00 dinihari sempat pula diambil petugas -- setelah berhasil
mendapat kunci gudang dari pemegang kunci.
Perkembangan ini menyebabkan DKJ Jumat pagi mencoba meminta
keterangan ke Satgas Intel. Menurut Wahyu Sihombing, yang antara
lain bersama dua seniman muda Sulebar dan Munni Ardhi datang ke
Satgas Intel Jaya, penahanan Hardi hanya untuk sementara --
untuk didengar keterangannya.
Rupanya benar. Jumat sore pelukis Hardi sudah berkumpul kembali
dengan teman-temannya di TIM. Ia dibebaskan tanpa syarat. Bahkan
katanya, karyanya akan dibeli pihak Satgas Intel. "Cuma ikat
pinggang saya diminta sesama tahanan," katanya nyengir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo