Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lust for Life
Penulis: Irving Stone
Penerbit: Serambi
Edisi: I, Juli 2012
Tebal: 569 halaman
Tibalah saat Vincent van Gogh ragu terhadap Tuhan. Ia mengesampingkan pencarian jati dirinya untuk memenuhi permintaan ayah dan keluarga besarnya agar ia menjadi pendeta. Momen keraguan itu terjadi di daerah pertambangan Barinage, Belgia. Galian tambang ambruk dan mengubur hidup-hidup puluhan penambang miskin.
Kematian para penambang yang hitam oleh batu bara itu telah memperpanjang nestapa istri dan anak-anak mereka. Tak ada santunan dari perusahaan, hanya sebuah misa yang diadakan Vincent di pondoknya yang sempit dan suram. Namun doa tulus bagi yang mati itu pun masih dipersoalkan oleh dua atasan Vincent, yang datang dari kota, sebagai sesuatu yang tak pantas dilakukan.
Sejak itu, Tuhan lenyap dari perbendaharaan keyakinan Vincent. Ia batal ditetapkan sebagai pendeta. Ini melengkapi penolakan yang sudah ia alami berkali-kali. Di simpang jalan inilah Vincent memilih memburu jati dirinya. Tinggal di gubuk reot, tanpa dipan, dan kerap meninabobokan perutnya yang lapar adalah cara dia menolak kemunafikan.
Panggilan untuk menggambar kembali memenuhi otaknya, kendati untuk membeli kertas dan pensil ia membutuhkan Theo, adiknya, seorang pialang lukisan. Ia merasa pantas jadi pelukis—yang dianggap keluarganya sebagai pekerjaan yang membuang-buang waktu. Kemiskinan tak menghentikan semangatnya untuk berguru pada orang-orang yang dianggap sukses jadi pelukis.
Tanpa uang sepeser pun, Vincent berjalan kaki sejauh 170 kilometer, yang memakan sol sepatu satu-satunya, menumbuhlebatkan jambangnya, memeras lemak tubuhnya, dan membuat orang-orang yang berpapasan berpaling muka. Irving Stone berhasil menunjukkan sudut pandang Vincent bahwa apa yang ia lakukan, yang dipandang aneh oleh orang lain, adalah lumrah belaka.
Dengan tekun, lewat deskripsi yang detail, percakapan yang imajinatif, Stone mengajak kita menyusuri perjalanan panjang menuju kegilaan melalui sekian penolakan, penghinaan, nestapa, dan salah pengertian. Hasrat untuk hidup, gairah untuk menemukan jati diri, masih sanggup menghidupkan roh Vincent. Theo bukan hanya memainkan perannya sebagai penyokong keuangan, tapi juga penopang emosionalitas kakaknya. Kematian Vincent di usia 37 tahun (1853-1890) tak sanggup mempertahankan hidup Theo, yang menyusul enam bulan kemudian. ”Dan dalam kematian, mereka tidak terpisahkan.”
Sembari tetap bertumpu pada fakta, Stone memfiksikan detail-detail tertentu dan membangun dialog imajinatif. Stone menghidupkan jiwa Vincent tapi tak hendak mengubah sejarah hidup pelukis ini. Tiga jilid kumpulan surat Vincent kepada Theo membantu Stone menangkap suasana batin dan pikiran Vincent. ”Saya menghabiskan beberapa tahun untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subyek-subyek saya, mendengarkan monolog internal dalam surat mereka,” kata Stone.
Lust for Life, novel biografis pertama Stone, lahir setelah 17 naskah dramanya yang ditulis dalam satu tahun tak memperoleh sambutan di negerinya, Amerika Serikat. Ia tinggalkan program doktornya di Berkeley dan berlayar ke Paris. Di kota ini, pameran karya Vincent di Galeri Rosenberg memantik imajinasinya. ”Ini pengalaman emosional paling memaksa dalam hidup saya,” tutur Stone tentang momen ini. ”Meski saya masih terlampau muda, dan merasa tak punya teknik memadai untuk menulis Van Gogh, saya harus mencoba. Bila saya tak mengerjakannya, saya tak akan pernah menulis apa pun.”
Selama enam bulan Stone menyusuri jejak-jejak Van Gogh di Inggris, Belanda, Belgia, dan Prancis. Akhirnya, karyanya tentang pelukis masyhur ini selesai pada 1931, tapi dalam tiga tahun berikutnya tak satu pun dari 16 penerbit yang dihubunginya bersedia mempublikasikan Lust for Life. Hingga kemudian Longmans, Green & Company membuka pintu bagi Stone setelah jumlah halaman naskahnya dipangkas agar, kata editornya, mencapai ”readable size”.
Stone, barangkali, terlampau bersemangat menumpahkan segenap emosinya terhadap Vincent. Ia menangkap kobaran hasrat hidup pelukis ini, merasakan setiap sayatan akibat penolakan yang diterima Vincent, dan mengisahkannya kembali dengan begitu imajinatif. Rentang 10 tahun kehidupannya sebagai pelukis sarat oleh drama—gejolak yang mendorong Vincent melahirkan 860 lukisan cat minyak dan lebih dari 1.300 lukisan cat air, sketsa, dan cetakan
Potret diri. Lanskap. Bunga-bunga. Ladang gandum. Bunga matahari. Sebagian karya terbaik Vincent lahir di Rumah Sakit St Remy, tempat ia dirawat untuk waktu cukup lama di tengah orang-orang yang di matanya terlihat aneh. Stone menghidupkannya dalam novel biografis pertama yang menjulangkan namanya. Tak seperti Vincent, yang tak pernah menikmati kemasyhuran selagi hidup, kepergian Stone dari Berkeley tidak sia-sia. Lust for Life memang layak dipujikan.
Dian R. Basuki, penulis blog di tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo