Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Kolonialisme dalam Keindahan

Alphons Hustinx memotret Indonesia pada 1930-an. Promosi pariwisata yang juga merekam suramnya kolonialisme.

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Jejak Kolonialisme dalam Keindahan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dataran Tinggi Dieng, 1938. Delapan pria berblangkon, sarung, dan celana pendek itu menggotong dua tandu. Masing-masing berisi sesosok lelaki bule. Mereka dipanggul menuju mata air panas terkenal di Jawa Tengah itu. Foto hitam-putih ini tak hanya menyuguhkan Dieng yang eksotis, tapi juga menyaji­kan gambaran kelam penjajahan: pribumi hanyalah ”jongos” yang bertugas memanggul ”majikan”.

Itulah salah satu foto yang dipamerkan dalam Travels of the Past di Erasmus Huis, Jakarta, hingga akhir Juli. Fotografernya: Alphons Hustinx (1900-1972). Pria kelahiran Limburg, Belanda, ini bertandang ke Indonesia pada 1938. Ia ditugasi Stoomvaart Maatschappij Nederland membuat film untuk memikat turis-turis Eropa datang ke sini. Hasilnya: Kleur en Glorie Onzer Tropen (”Warna dan Kejayaan Daerah Tropis Kita”), film bisu berdurasi dua jam.

Pameran kali ini juga menampilkan foto-foto Hustinx di Mesir, Afganistan, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Kurator pameran, Louis Zweers, menyatakan Hustinx sanggup merekam budaya masyarakat non-Barat dari sudut pandang yang mendekati etnografis. Daya juangnya juga tinggi. Hustinx bersedia menunggu berhari-hari dalam sengatan panas di pinggir jalan di perbatasan Afganistan. Ia juga tak segan menginap di pos-pos misionaris saat berkunjung ke daerah terpencil.

Lima bulan berkeliling Jawa, Bali, dan Sumatera, Hustinx juga membawa ”cendera mata” berupa rangkaian foto. Sejak kapalnya merapat di Tanjung Priok, Hustinx tak henti menyorongkan lensa. Foto-foto itu kini bagai lorong waktu: kita terlempar ke Jakarta di masa lalu. Batavia lewat tustel Hustinx adalah gedung-gedung putih ber­arsitektur kolonial, noni-noni Belanda yang berjalan-jalan sore dengan payung dan topi lebar ala Ratu Inggris, serta kereta kuda yang berseliweran di tepi Kali Molenvliet nan jernih.

Sepintas, foto-foto itu mencermin­-kan Jakarta yang kita impikan di masa kini: tenteram, tertata rapi, dan indah. Sayangnya, para penikmat kota yang permai itu tampaknya bukan orang Indonesia. Lensa Hustinx menangkap orang-orang lokal justru dalam posisi pinggiran: penarik gerobak sampah, pedagang pikulan yang menjajakan kendi dan tempayan, serta kuli pemasang genting. Mereka ”terselip” di sela-sela keindahan foto-foto Hustinx.

Sang fotografer juga berpesiar ke kota-kota di Jawa Barat: Buitenzorg, Poentjak, Bandoeng, Soekaboemi, Garoet, dan Tjampea. Di Bandung, ia memotret ratusan orang yang berkerumun menyambut kedatangan seorang warga dari Tanah Suci. Sang haji tampil ala orang Arab dengan gamis dan kafiyeh. Tukang makanan bertebaran, antara lain pikolandrager siroop—penjaja es sirup. Di Sukabumi, Hustinx mengabadikan kemolekan para mojang Priangan yang memetik padi dengan topi lebar.

Hustinx melancong pula ke Pegunungan Tengger, Jawa Timur. Ia tak hanya menggambarkan alam Bromo yang memukau, tapi juga menampilkan warga Tengger yang dipekerjakannya sebagai pemanggul peralatan. Para kuli angkut ini tampak bertelanjang kaki menahan hawa dingin dan angin.

Pada bulan terakhir di Hindia Belanda, Hustinx melompat ke Sumatera. Ia mengunjungi antara lain Bukittinggi, Maninjau, dan Singkarak di Sumatera Barat. Dari Painan (kota kecil sekitar 30 kilometer sebelah selatan Padang), Hustinx berperahu ke Pulau Tjenko yang disebutnya ”pulau kecil yang indah… di mana kita akan betah dan menghabiskan sisa hidup”.

Menurut Zweers, sang kurator, Hustinx sejatinya cuma tertarik pada ekso­tisme alam dan budaya negeri yang didatanginya. Bukan kondisi sosial politik. Namun, meski mungkin ”tak di­sengaja”, jejak-jejak kolonialisme justru tergambar jelas dalam karya-karya Hustinx. Termasuk foto orang Eropa yang duduk santai dipanggul oleh warga pribumi saat mendaki Dieng itu.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus