Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ki Mohamad Amir Sutaarga memperoleh tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Senin, 14 Agustus 2023. Meskipun namanya tidak begitu populer, namun tak bisa dipungkiri ia adalah tokoh permuseuman Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradana, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma ini didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 66, 67, 68, dan 69/TK/Tahun 2023 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradana, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, sesuai ketentuan syarat khusus dalam rangka memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Adiprana, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” demikian bunyi kutipan Keputusan Presiden tersebut.
Mohamad Amir Sutaarga lahir pada 15 Maret 1928 di Rangkasbitung. Ia merupakan anak pasangan M. Ilyas Sutaarga dan Siti Mariah. Dilansir dari hima.fib.ugm.ac.id, awalnya bercita-cita menjadi ahli perkapalan dan melanjutkan studi ke Belanda. Namun mimpi itu harus dikubur dalam-dalam, sebab pecah perang pada 5 Maret 1942.
Amir masuk dalam dunia militer yang gigih dalam melawan penjajahan. Bersama Uka Tjandrasasmita, teman karibnya, Amir bergerilya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di usia 19 tahun dirinya bahkan berhasil memperoleh pangkat kemiliteran Letnan Dua (Letda) dalam divisi Siliwangi.
Hingga akhirnya tanpa sengaja ia bertemu dengan van der Hoop, seorang ilmuwan yang bekerja di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Sekarang Museum Nasional).
Hoop mengajak Amir ke Jakarta sambil mengajarkannya ilmu etnologi. Karena kecerdasan dan kerja kerasnya Amir diangkat menjadi Redaktur Penerbitan. Karirnya semakin meningkat, Amir pernah menjabat sebagai sekretaris BGKW dengan tugas mengelola museum BGKW.
Dilansir dari www.asosiasimuseumindonesia.org, Amir pernah memperoleh beasiswa permuseuman di Eropa Barat. Selepas dari Eropa, beliau meneruskan kuliah di Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia pada 1958.
Mohamad Amir Sutaarga aktif mengikuti lembaga museum nasional, dirinya benar - benar getol memperjuangkan kekayaan budaya Indonesia ke tingkat dunia. Pada 1962 Amir diangkat menjadi kepala museum. Amir banyak menorehkan karya tentang museum seperti Capita Selekta Museografi dan Museologi (1964); Museum Etnografi : Perkembangan dan Fungsinya di Jaman Sekarang (1958); Museum dan Permuseuman di Indonesia (1968); Museum Problemen in Indonesia (1956); Persoalan Museum di Indonesia (1962); Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum (1988); dan Studi Museologia (1991).
Tidak hanya ahli di bidang budaya, Amir Sutaarga juga dikenal sebagai penerjemah berbagai karya dari sastrawan luar negeri seperti karya Nawaal el-Shadawi yang berjudul Perempuan di Titik Nol, terbitan Yayasan Obor.
Mohamad Amir Sutaarga meninggal pada 1 Juni 2013 di rumahnya di Ciputat, kemudian dimakamkan di Menes, Pandeglang, Jawa Barat.