Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Klimaks yang, sedikit, ditunda

Naskah: putu wijaya sutradara: putu wijaya produksi: teater mandiri resensi oleh: bambang bujono. (ter)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAT Naskah dan Sutradara: Putu Wijaya, Produksi: Teater Mandiri. DI bagian penutup, kelambu yang semula tergantung di atas panggung prosenium itu diturunkan. Dan tersajilah dua dunia di pentas Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki. Dunia di belakang layar, seperti sebuah dunia kecil yang terselubung rahasia. Dan dunia depan layar yang kita saksikan sehari-hari. Dan tatkala sebuah benda mirip payung putih yang besar dan terbalik itu meluncur perlahan dari atas, dan berhenti menggantung di awang-awang panggung, tiba-tiba saja misteri menyatukan dua dunia itu. Keheningan hadir. "Imaji alam semesta" muncul, diiringi musik Vangelis yang berdengung mirip dalam film Encounter of the Third Kind ketika orang dunia menyambut pendaratan piring terbang. Tontonan Zat, 23-30 Oktober, berakhir di situ. Dan penutup itulah, agaknya, yang menjadikan pertunjukan Teater Mandiri kali ini terasa "serius". Misi Putu Wijaya, 38 tahun, terasa lebih jelas. Bukan saja dalam catatan pada folder, tapi juga dari dialog para pemain sendiri. " . . . Sejumlah manusia yang merasa mendapat panggilan suci untuk rnewakili manusia yang lain, melakukan penebusan dosa agar dunia yang mereka rasa sudah kelelap karena manusia sudah kehilangan keluhuran budi harus diselamatkan," tulis Putu, panjang. Dialog antara Tuan Muda dan tokoh Ibu dan tokoh Polisi, begitu jernih mengalir, berbicara tentang perjuangan "menyelamatkan dunia." Dan pesan sang raja lewat utusannya, menyampaikan penghargaannya terhadap perjuangan tokoh Ibu yang berani mengorbankan jiwa, sementara orang lain mencari selamat sendiri. Ironisnya, sang raja yang tidak jadi menghukum tembak tokoh Ibu, memerintahkan regu tembak menembak massa. Pentas, mirip tempat pemujaan, memang bersuasana mistis. Apalagi ada topeng-topeng yang ditancapi panah-panah kecil merah yang ditempel di kain hitam di bagian depan samping panggung. Juga boneka besar di atas, di sudut belakang kiri--sementara di sudut belakang kanan diletakkan sebuah kerangkeng dan seseorang meringkuk di sana. Semua itu masih didukung beberapa tokoh badut (topeng-topeng mereka mirip topeng para badut Taman Impian Jaya Ancol) yang tidak ngomong dan terus-menerus membayangi para pemain. Mereka seperti bayang-bayang misteri hidup. Sepintas lalu lalu-lintas dialog memang terdengar galak. Namun sebenarnya tidak muncul dari semangat 'kesembronoan semata' seperti yang sudah-sudah, dan daya humornya tak segar lagi. Tokoh Bapak, misalnya, yang sebentarsebentar berteriak karena giginya tanggal. Atau lebih-lebih "perkelahian abadi" antara si babu dan suaminya, yang hampir tak pernah memancing tawa seperei yang mungkin dimaksud. Mungkin karena faktor si pemain, tapi, lebih mungkin karena konsep. Dengan kata lain Zat (kata benda, berbeda dengan judul drama Putu yang lalu-lalu) kurang mengkristal. Meski telah didukung permainan yang baik dari Reny Wijaya, Ikranegara, Yanto Kribo, Amien, Ade misalnya, kisah seperti terasa diperpanjang. Hingga misteri Ibu yang "menyampaikan wahyu" tidak lagi menjadi tiang pancang yang membuat orang terpaksa menunggu yang akan dikatakannya tanpa merasa waktu mulur. Mungkin ini disebabkan oleh perubahan sikap Ibu, yang scmula menolak memihak kepentingan anak-anaknya menjadi merindukan anak-anaknya. Itu terasa mencairkan misteri yang semula menyelubungi lakon ini. Mungkin Putu, yang tidak menyukai penokohan hitam-putih, ingin menampilkan sisi lain si Ibu: sesungguhnya ia tak rela mengorbankan anak-anaknya. Atau, Putu ingin menyampaikan, bahwa pilihan itu sebenarnya memang susah ditentukan: persis antara "kepentingan umat sedunia" dan kesejahteraan anak-anak. Putu kemudian memang tidak menghukum atau memuji. Dibiarkannya kisah para tokoh tetap tidak terjawab. Sementara sesuatu yang asing, payung putih terbalik itu, melayang turun, menyajikan teka-teki abadi. Adegan terakhir, sejak layar kelambu turun, yang melambangkan pembakaran sang Ibu yang hendak "menebus dosa dunia," harus dipuji. Dan inilah klimaks yang indah yang datangnya terasa ditunda-tunda. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus