Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKI-LAKI itu bergegas keluar dari rumahnya yang telah disulap menjadi stasiun pengisian daya baterai perahu listrik tenaga surya di Desa Kelan, Kecamatan Kuta, Bali. Sambil menenteng dua buah baterai ion litium berbentuk kotak menyerupai koper, dia berjalan menuju tepian pantai, tempat beberapa perahu jukung, perahu tradisional yang terbuat dari kayu, tampak tertambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesaat kemudian dia mengencangkan baut yang ada di antara mesin dan besi panjang untuk menggerakkan baling-baling. Dia juga sigap mengkoneksikan kabel power pada baterai dan langsung menekan tombol switch-on. Tanpa suara, mesin elektrik bernama Manta One itu siap menggerakkan perahu jukung untuk melaut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manta One adalah mesin penggerak elektrik yang diproyeksikan bisa menggantikan mesin perahu jukung yang berbahan bakar solar. Mesin tersebut menggunakan baterai ion litium yang bisa diisi ulang dayanya dengan panel surya yang ditempatkan di rumah seorang nelayan di Desa Kelan sebagai charging station (stasiun pengisian daya baterai).
Nadea Nabilla Putri adalah sosok di balik inisiasi mesin bertenaga surya untuk jukung tersebut. Bersama beberapa rekannya yang tergabung dalam satu tim di Azura Indonesia, perempuan 31 tahun ini mengembangkan Manta One bagi para nelayan di Bali dan Banyuwangi, Jawa Timur. “Aku mulai merintis membikin prototipe mesin Manta One pada 2018,” kata co-founder Azura Indonesia itu kepada Tempo melalui sambungan virtual, Rabu, 28 Juni lalu.
Azura Indonesia beraktivitas dengan perahu tradisional yang sudah terpasang mesin Manta One. Dok. Azura Indonesia
Saat itu, Nadea menuturkan, dia bergabung dengan sebuah proyek bersama salah satu perusahaan startup asal Singapura untuk membikin kapal katamaran versi elektrik di Bali. Dari proyek itu, Nadea kemudian mulai bereksplorasi dan mencari kemungkinan lain yang bisa bermanfaat di balik migrasi mesin berbahan bakar minyak ke mesin listrik.
Nadea sempat punya ide membuat mesin kapal pesiar versi elektrik karena saat itu belum populer di Indonesia. Namun dia mengurungkan idenya tersebut. “Karena kalau bikin buat kapal pesiar tidak bisa dijangkau khalayak ramai, kan itu segmennya tertentu,” ujarnya.
Setelah mengumpulkan informasi tentang mesin elektrik, lulusan magister teknik elektro di Korea Selatan ini menemukan ide membuat mesin berukuran kecil untuk perahu para nelayan. Lalu lahirlah mesin elektrik bertenaga surya Manta One.
•••
LAHIR di Jakarta pada 1 Juni 1992, sejak kecil Nadea sudah akrab dengan dunia bahari. Orang tuanya kerap mengajak Nadea kecil bermain di laut dan kawasan pesisir. Perjumpaan Nadea dengan laut kemudian berlanjut ketika dia menjalani hobi menyelam.
Bagi perempuan yang mengantongi izin menyelam sejak 2011 ini, perairan Indonesia sangat indah. Aktivitas itu mempertemukan Nadea dengan terumbu karang beraneka warna, ikan-ikan, dan biota laut lain. Dia mengungkapkan, kehidupan di dalam laut begitu sistematis dan seimbang.
Kegemarannya menyelam juga mengantarkan Nadea menyabet juara kedua dalam pemilihan Putri Selam 2017. Sejak saat itu, Nadea pun kian serius menggeluti hobi menyelam. Hampir setiap bulan Nadea pasti menyelam serta kerap bertemu dan membincangkan banyak hal dengan para nelayan yang tengah melaut untuk mencari ikan.
Mesin Manta One. Dok. Azura Indonesia
Namun hobinya menelusuri keindahan bawah laut justru membuat Nadea resah. Di balik keindahannya, dia banyak menjumpai persoalan lingkungan di laut, dari sampah plastik hingga coral bleaching—kondisi terumbu karang yang berubah warna menjadi putih dan kemudian mati. “Sejumlah masalah tersebut berpotensi mengganggu keseimbangan hayati di laut,” kata Nadea.
Nadea juga kerap berbincang dengan para nelayan tentang isu-isu lingkungan. Dengan bahasa yang ringan dan dekat dengan keseharian, tak jarang Nadea membahas masalah emisi karbon sampai perubahan iklim. Sebagai masyarakat yang terkena dampak, tutur Nadea, para nelayan rata-rata sudah paham ihwal perubahan yang terjadi. Dari waktu pasang dan surut yang sudah mulai bergeser, angin dan arus laut yang juga mulai berubah, hingga hal-hal lain.
Tak hanya itu, Nadea mendapati fakta bahwa para nelayan mempunyai masalah yang sama: bahan bakar minyak sulit diakses dan harganya terbilang mahal. Dengan menggunakan mesin ketinting, nelayan pesisir di Bali bisa menggunakan 5 liter bahan bakar untuk sekali melaut. Itu turut menyumbang sekitar 11,5 kilogram emisi karbon dalam setiap perjalanan. “Para nelayan juga tidak bisa mendapatkan tangkapan sebanyak dulu lantaran cuaca yang tak menentu,” ucapnya.
Sederet masalah itu membuat keresahan Nadea kian membuncah. Hal itu kemudian mendorong Nadea membantu para nelayan sekaligus menjaga ekosistem laut. “Saat itu yang terlintas bagaimana melakukan aksi nyata agar laut yang indah ini bisa dinikmati generasi berikutnya,” ujar lulusan Kumoh National Institute of Technology, Korea Selatan, tersebut.
Nadea Nabilla Putri. Instagram @nadeanabilla
Nadea bersama timnya yang terdiri atas tiga orang kemudian mencari solusi. Pada sekitar 2018, mereka mulai merintis pembuatan prototipe mesin bertenaga surya buat perahu para nelayan. “Itulah awal pembuatan Manta One,” kata Nadea.
Nadea dan timnya lebih dari 10 kali melakukan percobaan dengan mesin Manta One. Mereka juga terus melakukan perbaikan hingga menemukan setelan akhir mesin tersebut. “Di akhir 2019, kami dapat versi yang lebih mendingan dan baru aku lempar ke nelayan di Desa Kelan. Responsnya bagus, cukup senang ya sudah aku taruh di sana,” tutur Nadea, yang saat itu masih harus bolak-balik Jakarta-Bali untuk mengerjakan proyek tersebut.
Memasuki 2020, untuk lebih memantapkan langkahnya, Nadea mendirikan Azura Indonesia. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai project manager di sebuah perusahaan di Jakarta yang membantu pembuatan sistem digital untuk aplikasi telepon seluler. “Seorang kawan mendorong aku untuk membuat proyek sendiri,” ujarnya.
Azura Indonesia, Nadea menjelaskan, adalah perusahaan teknososial yang berfokus pada pembuatan kapal ramah lingkungan. Dia menambahkan, kepeduliannya terhadap laut dan kelestarian alam turut menjadi alasan utama dia mendirikan Azura. Selain pengembangan teknologi dan bisnis, ucap Nadea, Azura berkomitmen untuk peduli terhadap kesejahteraan nelayan Indonesia melalui visi dan misi perusahaannya.
Ihwal pendanaan, Nadea mengungkapkan, Azura memiliki beberapa skema. Pertama, pendanaan swadaya dari para co-founder. Kedua, bantuan dana hibah dari sejumlah organisasi di dalam dan luar negeri. Nadea mengatakan, sejak berdiri, Azura meraih sejumlah penghargaan. Di antaranya 10 besar finalis Climate Launchpad 2020, Juara III Archipelagic & Island States Innovation Challenge, dan 10 besar finalis Tech Planter Indonesia 2020.
Mesin Manta One yang terpasang di perahu. Dok. Azura Indonesia
Nadea menerangkan, setelah berhasil membuat Manta One, Azura menguji satu unit mesin tersebut di Desa Kelan. Mesin bertenaga surya itu dipakai oleh nelayan bernama Wayan untuk melaut dengan perahu jukung. Orang-orang dan nelayan lain yang melihat jukung milik Wayan tidak mengeluarkan suara pun menjadi penasaran.
Hingga akhir 2020, Nadea bersama tim kemudian menguji mesin Manta One dengan jukung bermesin ketinting yang berbahan bakar solar di laut yang diibaratkan sebagai arena balap dengan trek lurus. Di luar dugaan, tiga jukung—dua dengan mesin Manta One dan satu dengan mesin ketinting—sampai di garis finis secara bersamaan. “Orang-orang pun kemudian mulai tertarik,” kata Nadea. “Dan itu juga membuka jalan bagi kami untuk mensosialisasi mesin ramah lingkungan.”
Namun, Nadea melanjutkan, bukan perkara mudah bagi dia dan timnya mensosialisasi mesin perahu ramah energi di kalangan masyarakat pesisir tersebut. Untuk menyiasatinya, Nadea enggan memperkenalkan diri sebagai co-founder Azura yang membuat Manta One. Dia menuturkan, membawa embel-embel sebagai penemu Manta One akan menghadirkan semacam dinding tebal dalam menyalurkan wacana transisi energi.
Karena itu, tutur Nadea, Azura menggandeng partner lokal saat menggelar sosialisasi ke tempat-tempat yang hendak disasar. "Ketika awal aku masuk, mereka seperti mendengarkan, tapi tidak mudeng, sampai akhirnya dijelaskan oleh teknisi,” ujar Nadea. Di sisi lain, Nadea juga meluaskan jangkauan ke rumah-rumah para nelayan dan berbincang dengan istri mereka.
Nadea Nabilla Putri. saat memberikan penyuluhan. Dok. Azura Indonesia
Melalui Azura, Nadea hendak menggerakkan para nelayan agar mempunyai pendapatan yang lebih. Ketika nelayan bermigrasi dari mesin minyak ke mesin listrik, pengeluaran bahan bakar otomatis berkurang. Bersama tim di Azura, Nadea berasumsi, jika para nelayan mempunyai pemasukan yang lebih besar, akan ada hal-hal lain yang bisa mereka jangkau. Misalnya, para nelayan bisa menabung atau berinvestasi dengan membuka warung dan menyekolahkan anak-anak mereka.
Meski begitu, Nadea menambahkan, dia dan timnya juga turut mempertimbangkan kenyataan sosial masyarakat. Misalnya, di Bali ada tradisi sabung ayam yang sudah berlangsung lama dalam masyarakat di sana. Menurut dia, ada semacam kekhawatiran jika para nelayan mempunyai pemasukan lebih uangnya akan digunakan untuk tradisi tersebut. “Karena itu, harus ada pendampingan, jangan dilepas," ucapnya.
•••
HINGGA kini, Azura sudah mempunyai 13 unit mesin Manta One. Dua unit berada di Jambi dan sudah dibeli oleh sektor privat. Kemudian, sebanyak 10 unit mesin ada di Bali. Sisanya ada di Fiji dan baru ditaruh di negara kepulauan itu sekitar satu bulan lalu.
Nadea menerangkan, Azura mempunyai dua model bisnis dalam memasarkan mesin Manta One, yakni sistem beli dan sewa. Untuk sistem sewa, Azura mematok harga Rp 350 ribu selama satu minggu. Dia mengatakan pihaknya selalu menjadwalkan waktu per tiga bulan mendatangkan teknisi langsung ke lokasi.
Saat ini, tutur Nadea, yang baru berjalan adalah sistem jual-beli. Adapun untuk sistem sewa, Nadea dan tim masih mencari pasar selain di Desa Kelan. Belum lama ini, mesin Manta One juga baru saja diuji coba di kawasan Amed, Kabupaten Karangasem, Bali. Namun mesin tersebut hanya digunakan sebentar karena di kawasan itu tengah marak para turis sehingga nelayan jarang melaut.
Nadea Nabilla Putri. dalam Blue Innovation Solution Conference. Dok. Azura Indonesia
“Sekarang ada yang dipakai melaut, ada yang didiamkan saja, karena di Bali sektor turisme sedang naik lagi,” ujar Nadea. “Ke depan, Azura juga akan meluaskan jangkauan penggunaan mesin Manta One ke lima titik lain di Bali.”
Ihwal pengoperasian dan kemampuan Manta One, Nadea menjelaskan, setiap jenis kapal mempunyai karakteristik. Di Banyuwangi, para nelayan bisa melaut sampai sembilan jam karena masih menggunakan mesin besar sebagai penggerak utama. Mereka baru menggunakan mesin Manta One ketika jaring hendak diturunkan.
Adapun di Bali, kata Nadea, para nelayan menggunakan Manta One sebagai mesin utama untuk melaut. Selama ini, rata-rata mesin tersebut bisa beroperasi selama tiga jam. Untuk pengisian ulang dayanya, Manta One membutuhkan waktu satu setengah jam.
”Biasanya mesin Manta one dipakai sebagai mesin utama. Ketika sudah sampai tengah laut, mesin dimatikan dan kemudian mereka pakai layar,” tutur Nadea. “Ketika balik, mereka kembali memakai mesin Manta One.”
Nadea Nabilla Putri menuturkan, akan ada pengembangan lagi pada mesin Manta One. “Sebab, ada beberapa permintaan dan masukan dari para nelayan yang sudah menggunakannya,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Redam Emisi Karbon Lewat Manta One"