Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Cecil Mariani.
Beragam goresan material, didominasi arang.
PULUHAN karya Cecil Mariani memenuhi empat bidang dinding Rubanah Underground, Jakarta. Beberapa di antaranya tampak sengaja digantung. Pilar-pilar di ruang galeri bawah tanah ini seperti menjadi pembatas karya-karya sang seniman. Yang paling menonjol adalah sebuah gabungan dua panel karya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cecil mencoba medium baru, yakni gipsum, untuk menggoreskan arang dan akrilik. Judulnya Weeping in plain public. Warnanya kromatik saja. Di bidang sebelah kiri, tampak goresan arang lebih banyak memperlihatkan garis-garis seperti rambut panjang terurai lebat. Goresan garis yang meliuk. Cecil seperti mengikuti ke mana arang itu membuat garis sebentuk sosok. Sementara itu, di bidang kanan terlihat sosok-sosok dengan wajah kosong, meski masih didominasi goresan garis. Pada medium ini, Cecil bermain dengan tekstur gipsum yang tak serata kanvas. Ada sensasi tekstur yang dicoba digarap seniman sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran tunggal berjudul "Gaze, Grace, Grief" ini, Cecil menggambar dengan beragam alat, seperti arang yang cukup mendominasi, akrilik, tinta, serta pastel atau krayon yang digoreskan dan disapukan pada medium kertas, kecuali pada gipsum tadi. Gambarnya masih bertumpu pada bentuk tubuh, dominasi garis, tapi kali ini pengunjung dapat menikmati sesuatu yang baru dari karya-karyanya. Bukan hanya warna kromatik, pendaran kelir cerah seperti kuning, merah muda, dan merah sedikit-banyak mewarnai karya-karya seniman lulusan School of Visual Arts, New York, Amerika Serikat, ini.
Pameran Cecil Mariani bertajuk Gaze, Grace, Grief di Rubanah Hub, Jakarta, 5 Juli 2023. Tempo/Jati Mahatmaji
Bentuk-bentuk yang muncul pada papan kertas memang tak melulu sosok tubuh atau figur. Garis anatomi tubuh—kaki, tangan, mata, jari, atau sebentuk wajah dengan leher panjang dan garis tulang yang kuat—juga lebih jelas. Pengunjung pun dapat melihat bentuk-bentuk lain, seperti burung berparuh panjang. Dalam karya Cecil ini, seperti ada kelebat sensualitas, keintiman, dan emosi.
Dalam beberapa karya, ia menebar seperti sapuan tipis, membuat bercak, atau mengebloknya dengan warna kuning. Tapi, dalam karya yang berbeda, Cecil menorehkan warna kuning, merah jambu, dan merah. Seperti dalam karya berjudul Grieving path series 2: kinesthetic yellow (2023), ada goresan arang dan pastel pada kertas. Pada gambar-gambar yang digantung dalam pigura kaca, Cecil memajang karya serinya, seperti Yellow shadow series dan Silver shadow series. Karya-karya 2022 ini dipasang bolak-balik. Cecil tidak hanya piawai menggambar pada medium berukuran sedang dan besar, tapi juga pada kertas kecil.
Jika menengok pameran Cecil pada 2018, karya-karyanya kali ini tak segelap dalam pertunjukan tersebut, ketika goresan dan sapuan arangnya mengeblok atau membentuk garis-garis. Saat itu Cecil juga melengkapi pamerannya dengan instalasi kertas, karya seperti lipatan-lipatan kertas. Kali ini karyanya terlihat lebih terang. Dia seakan-akan berkarya tanpa beban, membebaskan tangannya membuat goresan, sapuan, atau seperti blur.
Cecil Mariani. Dok. Rubanah Hub
Grace Samboh, kurator pameran, melihat karya Cecil kali ini mungkin adalah sebuah bab yang berbeda dalam praktik menggambar seniman tersebut. “Yang kali ini gambarnya ‘tidak punya cita-cita’… dibuat karena dibutuhkan. Ia menggambar untuk menggambar, bukan untuk menghadirkan citraan yang mewakili gagasan,” ujarnya. Ia membandingkan karya Cecil ini dengan karya dalam pameran tunggal sebelumnya di Galeri Kertas, Depok, Jawa Barat. Karyanya saat itu terasa membawa pesan, misi, atau cita-cita tertentu. Grace melihat malah kali ini karya Cecil lebih irit warna dibanding karya-karya dalam pameran tunggal sebelumnya.
Grace bersama Akmalia Rizqita alias Chita, Lisabona Rahman, Ening Nurjanah, dan seseorang yang disebut K membincangkan karya Cecil dalam kurasi mereka. Mereka berdiskusi tentang dari mana mereka akan memilih dan memajang karya Cecil. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk mulai mengelompokkan karya Cecil. Pengelompokan dilakukan berdasarkan ukuran, kesamaan medium, dan gradasi warna, bentuk, serta kecenderungan garis. Setelah semua karya terpajang, Grace melihat ada semacam rutinitas harian Cecil untuk menggambar. “Semacam laku gambar Cecil.” Rutinitas yang dijalani dan dirasakan nyaman oleh sang seniman. Perasaan yang lega.
Grieving path series 2: kinesthetic yellow (2023). Tempo/Jati Mahatmaji
Grace menilai Cecil rajin mengekspresikan gejolak emosinya yang sebenarnya mewakili emosi banyak orang. Ia mencontohkan karya Mother to moter: haptic kinesthesia (2023). Karya ini memperlihatkan dua sosok yang saling membelakangi, wajah mereka sama-sama abai, menghindar. Grace melihat kesan yang muncul dari karya ini adalah gambaran emosi yang sangat kuat.
Adapun Chita melihat keluwesan Cecil dalam menggambar, menggoreskan arang dan tinta, atau menyapukan akrilik. Ada kenyamanan yang ia ciptakan. Cecil menciptakan transparansi tinta, kekaburan pastel, dan goresan intensitas arang. Cecil, menurut Chita, cakap memainkan pensil, tinta, dan spidolnya sehingga bisa mengecoh kita. Seperti dalam karya Grieving path series 2: Dear. Amydala (2023), Chita mengira Cecil menggunakan goresan pensil. Ternyata yang dipakai adalah tinta berwarna hitam yang dicampur dengan air sehingga warna yang tercipta keabuan. Atau ketika ia mengira Cecil menggunakan spidol tapi ternyata tinta. Demikian juga permainan elemen warna yang seperti kuning dan merah tapi ternyata magenta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "'Laku Gambar' Cecil Mariani"