Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Melupakan kebudayaan nasional

Majid, syahbandar tarakan membentuk grup musik mg voice, pimpinan utha likumahua. lagu barat banyak ditampilkan. peringatan majid diakhiri dengan kon flik, perannya kini digantikan yuss-assegaf. (ms)

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJID -- syanbandar Tanjung Pinang, ternyata tidak hanya sibuk mengurus kapal-kapal. Ia juga repot untuk musik. Dua tahun belakangan ini misalnya ia sempat menelurkan kumpulan musik. Entah dari mana disabetnya duit, di tempat kediamannya dapat ditemukan peralatan musik yang ditaksir berharga Rp 2 juta. Maklumlah instrumen ini tidak saja untuk jreng-jreng di muka rakyat, tetapi juga untuk menghasilkan rekaman. Barangkali ini ada hubungannya dengan masa persiapan pensiunan yang bakal dia jalani, lalu memang ada tekadnya untuk menjadikan musik sebagai profesi berikutnya. Tersebutlah seorang anak muda bernama Utha Likumahuwa dan kawan- kawannya asal Bandung, yang ada juga pengalamannya di bidang jreng. Kepada merekalah Majid mempercayakan barang tabuhannya itu, sambil menitipkan sebuah nama untuk dipakai sebuah mereka Majid Group Voice - disingkat MG Voice. Ciah. Sejak itu Tanjung Pinang mencatat sejarah lanjutan dari band Pribadi dulu - band pertama yang pernah dibiayai secara pribadi oleh seorang pejabat. Meski tak banyak duit yang bisa dipancing dengan jreng - toh MG Voice cukup rajin muncul dalam berbagai kerepotan, baik pertunjukan khusus maupun penongolan yang sifatnya semacam kenduri. Ditegur Pejabat Ambisi Majid rupanya cukup besar juga. Dia sempat mendorong barisan musiknya membuat rekaman. Bertempat di studio Life Singapura, ditelurkan semburan nafas mereka yang pertama--yang sayangnya kemudian tak disusul oleh gebrakan yang-lain. Soalnya, usai kereotan itu, ternyata Majid menjumpai selisih pendapat dengan Utha dan kawan-kawan yang tak mungkin diselesaikan dengan jabatan tangan. "Saya ini menejer, bapak dan pembina mereka" ujar Majid untuk menolak sebutah "cukong" yang dilemparkan para pemain musiknya. Iapun serta merta membantah dituduh sebagai tukang paksa dalam soal-soal penampilan. "Malahan mereka yang mau menang sendiri", katanya kepada TEMPO. Ia mencoba menjelaskan bahwa anak-anak musik itu, diharapkannya suka sedikit menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam soal pemilihan materi musik. "Lagu-lagu Barat ya boleh, tapi kita tidak boleh melupakan kebudayaan nasional kita", sesalnya. "Saya malah sering ditegur para pejabat karena grup saya terlalu asik dengan lagu-lagu Barat yang keras itu!". Demikianlah awal kisah keberantakan MG Voice. Utha dan kawan-kawannya segera balik ke Bandung. Tinggal Majid yang berusaha melipur diri dengan kata-kata besar: "Biarlah, mereka memang tak mau dibina". Lalu ia mulai memusatkan perhatian pada seorang yang bernama Yuss-Asegaf dari Jakarta. Dengan 7 sekutunya Majid membuat Yuss ini tidak mengentuti lingkungan. Untuk sementara terjadilah puji memuji. "Mereka bagus dan mengerti lingkungan", kata Majid.Dijawab oleh Yuss: "Majid seorang bapak dan pembina yang memperhatikan anak-anak". Kelon-kelonan ini menghasilkan penampilan yang tidak hanya memuntahkan musik-musik keras, tapi dang-dut pun OK. Sudah wajarlah keadaan ini menyabet simpati sejumlah rakyat - terutama sekali para pejabat. Dalam sebuah parade musik belum lama berselang, walaupun kebolehan formasi Yuss masih satu strip di bawah formasi Utha, beberapa pengamat kabupaten sempat memuji soal kemantapan dan keharmonisannya. "Mereka lebih kompak", kata mereka. Penonton yang lain bilang: "Yah semangatnya bolehlah". Tak lama lagi Yuss yang Ambon ini akan berangkat ke Singapura atas undangan Konjen RI setempat. Dikandung maksud pula akan membuat piringan hitam yang pertama. Yuss, yang mendapat uang saku Rp 10.000 sebulan, sudah menyiapkan 12 buah lagu (di antaranya: Penyengat yang indah, Ibu, Persimpangan jalan) semuanya "pop Melayu". Majid sendiri memang kelihatannya lebih tenang sekarang. Paling tidak ia tidak usah khawatir lagi dijewer para pejabat setempat dengan dalih melupakan kebudayaan nasional. Nasional itu sukar merumuskannya, lho.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus