Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJID -- syanbandar Tanjung Pinang, ternyata tidak hanya sibuk
mengurus kapal-kapal. Ia juga repot untuk musik. Dua tahun
belakangan ini misalnya ia sempat menelurkan kumpulan musik.
Entah dari mana disabetnya duit, di tempat kediamannya dapat
ditemukan peralatan musik yang ditaksir berharga Rp 2 juta.
Maklumlah instrumen ini tidak saja untuk jreng-jreng di muka
rakyat, tetapi juga untuk menghasilkan rekaman. Barangkali ini
ada hubungannya dengan masa persiapan pensiunan yang bakal dia
jalani, lalu memang ada tekadnya untuk menjadikan musik sebagai
profesi berikutnya.
Tersebutlah seorang anak muda bernama Utha Likumahuwa dan kawan-
kawannya asal Bandung, yang ada juga pengalamannya di bidang
jreng. Kepada merekalah Majid mempercayakan barang tabuhannya
itu, sambil menitipkan sebuah nama untuk dipakai sebuah mereka
Majid Group Voice - disingkat MG Voice. Ciah. Sejak itu Tanjung
Pinang mencatat sejarah lanjutan dari band Pribadi dulu - band
pertama yang pernah dibiayai secara pribadi oleh seorang
pejabat. Meski tak banyak duit yang bisa dipancing dengan jreng
- toh MG Voice cukup rajin muncul dalam berbagai kerepotan, baik
pertunjukan khusus maupun penongolan yang sifatnya semacam
kenduri.
Ditegur Pejabat
Ambisi Majid rupanya cukup besar juga. Dia sempat mendorong
barisan musiknya membuat rekaman. Bertempat di studio Life
Singapura, ditelurkan semburan nafas mereka yang pertama--yang
sayangnya kemudian tak disusul oleh gebrakan yang-lain. Soalnya,
usai kereotan itu, ternyata Majid menjumpai selisih pendapat
dengan Utha dan kawan-kawan yang tak mungkin diselesaikan dengan
jabatan tangan. "Saya ini menejer, bapak dan pembina mereka"
ujar Majid untuk menolak sebutah "cukong" yang dilemparkan para
pemain musiknya. Iapun serta merta membantah dituduh sebagai
tukang paksa dalam soal-soal penampilan. "Malahan mereka yang
mau menang sendiri", katanya kepada TEMPO. Ia mencoba
menjelaskan bahwa anak-anak musik itu, diharapkannya suka
sedikit menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam soal pemilihan
materi musik. "Lagu-lagu Barat ya boleh, tapi kita tidak boleh
melupakan kebudayaan nasional kita", sesalnya. "Saya malah
sering ditegur para pejabat karena grup saya terlalu asik dengan
lagu-lagu Barat yang keras itu!".
Demikianlah awal kisah keberantakan MG Voice. Utha dan
kawan-kawannya segera balik ke Bandung. Tinggal Majid yang
berusaha melipur diri dengan kata-kata besar: "Biarlah, mereka
memang tak mau dibina". Lalu ia mulai memusatkan perhatian pada
seorang yang bernama Yuss-Asegaf dari Jakarta. Dengan 7
sekutunya Majid membuat Yuss ini tidak mengentuti lingkungan.
Untuk sementara terjadilah puji memuji. "Mereka bagus dan
mengerti lingkungan", kata Majid.Dijawab oleh Yuss: "Majid
seorang bapak dan pembina yang memperhatikan anak-anak".
Kelon-kelonan ini menghasilkan penampilan yang tidak hanya
memuntahkan musik-musik keras, tapi dang-dut pun OK. Sudah
wajarlah keadaan ini menyabet simpati sejumlah rakyat - terutama
sekali para pejabat. Dalam sebuah parade musik belum lama
berselang, walaupun kebolehan formasi Yuss masih satu strip di
bawah formasi Utha, beberapa pengamat kabupaten sempat memuji
soal kemantapan dan keharmonisannya. "Mereka lebih kompak", kata
mereka. Penonton yang lain bilang: "Yah semangatnya bolehlah".
Tak lama lagi Yuss yang Ambon ini akan berangkat ke Singapura
atas undangan Konjen RI setempat. Dikandung maksud pula akan
membuat piringan hitam yang pertama. Yuss, yang mendapat uang
saku Rp 10.000 sebulan, sudah menyiapkan 12 buah lagu (di
antaranya: Penyengat yang indah, Ibu, Persimpangan jalan)
semuanya "pop Melayu". Majid sendiri memang kelihatannya lebih
tenang sekarang. Paling tidak ia tidak usah khawatir lagi
dijewer para pejabat setempat dengan dalih melupakan kebudayaan
nasional. Nasional itu sukar merumuskannya, lho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo