Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH proyektor menampilkan gambar grafik audio berwarna oranye pada salah satu dinding ruangan. Tiang-tiang persegi panjang yang membentuk grafik itu terlihat naik-turun sesuai dengan rekaman suara pelukis kenamaan Indonesia, S. Sudjojono, saat berpidato dalam sebuah acara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 13 November 1974. Di bawah grafik tersebut tertulis teks ucapan Sudjojono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sudut berbeda, tiga proyektor dan tiga perangkat liquid-crystal display (LCD) menampilkan gambar grafik serupa di beberapa bagian ruangan. Tapi rekaman suara yang disajikan bukan milik Sudjojono, melainkan suara tokoh-tokoh seni Indonesia lainnya. Salah satunya rekaman suara pelukis legendaris Oesman Effendi saat berpidato dalam sebuah acara di Lembaga Indonesia Amerika pada 8 Agustus 1969. Semua tampilan grafik itu punya gerak masing-masing dengan suara yang tumpang-tindih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul Song of Indonesian Modern Art, Seven Channel Video, sejumlah grafik audio itu merupakan salah satu karya seniman, kurator, sekaligus pembuat film, Hafiz Rancajale, yang ditampilkan dalam pameran tunggalnya yang bertajuk "Social Organism" pada 26 Mei-9 Juni 2018 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Semua merupakan rekaman pidato tokoh seni rupa Indonesia pada 1969-1981. Hafiz mengumpulkannya sejak 2007 hingga rampung pada 2012. "Kebanyakan bercerita tentang upaya membingkai kesenian dengan persoalan yang terjadi di masyarakat pada saat itu," kata Hafiz.
"Social Organism" adalah pameran tunggal ketiga Hafiz. Rencana penyelenggaraan pameran itu bermula pada 2015, ketika sejumlah rekan Hafiz mendorong pria kelahiran 1971 itu agar kembali menampilkan karya-karyanya setelah terakhir kali berpameran tunggal pada 1996. "Teman-teman ingin membaca karya-karya buatan saya selama periode tersebut," ujarnya. Menurut dia, teman-temannya itu memberi kebebasan kepadanya untuk menentukan topik yang akan diangkat dalam pameran. "Intinya, selama hampir 20 tahun itu saya ngapain aja."
Awalnya pameran itu direncanakan berlangsung pada 2016. Tapi Hafiz kala itu masih sibuk menjadi fasilitator dan inisiator berbagai kegiatan seni serta budaya di sejumlah komunitas, seperti Forum Lenteng, Yayasan Biennale Jakarta, serta Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Baru pada 2017 Hafiz bisa berkonsentrasi mempersiapkan pameran, seiring dengan munculnya ide "Social Organism" sebagai judul pameran. Kata "social", menurut Hafiz, mewakili isu kemasyarakatan, budaya, atau politik. Adapun "organism" berarti sesuatu yang tumbuh. Dengan tajuk itu, Hafiz ingin para pengunjung pameran dapat membaca segala aktivitasnya dalam kegiatan seni dan budaya selama 20 tahun seusai pamerannya yang terakhir. "Saya mencoba membingkai semuanya dalam karya-karya yang ditampilkan," ucapnya.
Total ada 25 karya-termasuk Song of Indonesian Modern Art, Seven Channel Video-yang disajikan Hafiz dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia. Karya-karya itu berupa drawing, instalasi, obyek, dan video yang semuanya dibikin Hafiz pada 2004-2018. Dalam karya drawing, Hafiz antara lain menampilkan sebuah lukisan berjudul Pada Teks yang Bersuara (2017). Lukisan tersebut dibuat dengan pena berwarna merah di atas kertas putih. Hafiz menggoreskan penanya secara vertikal dengan memberi garis batas putih untuk puluhan bentuk guratan merah yang dibuat seperti saling menindih. Garis batas putih di antara bentuk guratan merah itu kemudian terlihat seperti gambar grafik frekuensi suara yang bertumpuk dari atas ke bawah.
Untuk instalasi, Hafiz menyajikan dua karya berbahan besi yang diberi nama On Workspace Dementia (2018) dan On Interior Form (2018). Instalasi pertama berupa besi yang dirangkai menjadi seperti sebuah meja panjang dan lengkap dengan sebuah besi yang menggantung setengah diagonal di depannya. Instalasi kedua berupa besi yang dibuat seperti sebuah kerangkeng memanjang dengan tiga bagian yang disusun secara vertikal. Adapun karya obyek yang ditampilkan Hafiz berupa 10 cermin bergambar yang retak seperti habis ditimpuk batu. Karya mirror object installation itu ia beri nama Reflection and Unprediction (2018).
Karya-karya video menjadi yang paling menonjol dalam pameran Hafiz. Selain Song of Indonesian Modern Art, Seven Channel Video, ada sebuah karya yang menampilkan puluhan video pada dinding besar di salah satu ruangan Galeri Nasional Indonesia. Melalui proyektor, Hafiz menyajikan potongan-potongan video berdurasi 1-3 menit dalam satu frame, antara lain berupa rekaman acara berita di stasiun televisi, video pernikahan sepasang kekasih, dan seseorang yang berbicara dengan gaya nge-vlog. Kumpulan potongan video itu berjudul Performativity, Two Channel Video.
Menurut Hafiz, karya itu sebenarnya adalah riset yang ia lakukan untuk menggambarkan sejarah teknologi video dan televisi di Indonesia. Semua rekaman dalam video itu ia kumpulkan pada 2008-2012 dengan tujuan dapat membedakan durasi video analog-yang ada sebelum masa reformasi-dengan durasi video digital-yang muncul setelah reformasi. "Lewat karya itu saya juga ingin menggambarkan kompleksitas bagi sebuah organisme, dalam konteks ini berupa media atau video," ucap peraih Anugerah Seni 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Melalui pameran tunggalnya, Hafiz berharap para pengunjung dapat memahami banyaknya pijakan dalam seni rupa kontemporer Indonesia saat ini, dari perdebatan identitas hingga perkembangan media-dalam hal ini, televisi dan video. Ia juga berharap para pengunjung dapat memahami seni rupa kontemporer Indonesia secara kompleks, bukan hanya dari satu sisi. Misalnya keterkaitan antara kesenian dan persoalan di masyarakat. "Seniman selalu menjadi bagian dari apa-apa yang terjadi di masyarakat," kata Hafiz.
Prihandoko
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo