Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Novel masih menjadi pilihan utama sumber cerita film horor lokal.
Selain novel, komik dan cerita digital makin dilirik untuk dialihwahanakan menjadi film horor.
Penulis novel tak mudah menjaga keaslian cerita di tengah tawaran adaptasi film.
INDUSTRI film nasional merangkak naik setelah babak belur dihajar pandemi. Sejak awal 2022, dunia perfilman Tanah Air kembali riuh dengan munculnya berbagai judul film di bioskop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Genre horor menjadi penyumbang terbesar kebangkitan film lokal pasca-pandemi. Sebagai bukti, lima judul film merangsek masuk daftar 10 film terlaris di Indonesia saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga di antaranya bergenre horor, yakni KKN di Desa Penari (2022) yang menembus lebih dari 10 juta penonton, Pegabdi Setan 2: Communion (2023) dengan 6,3 juta penonton, dan Sewu Dino (2023) yang meraup 4,8 juta penonton.
Bahkan, pada masa sebelum pandemi pun sudah banyak film horor lokal yang sukses menembus satu juta penonton. Menariknya, sejumlah film horor tersebut berangkat dari cerita novel.
Poster Film Danur. google.com
Contohnya adalah deretan film yang diekranisasi dari novel karya Risa Saraswati, antara lain Ivanna (2018) dengan 2,9 juta penonton, Danur: I Can See Ghosts (2017) 2,7 juta penonton, Danur 2: Maddah (2018) 2,5 juta penonton, Danur 3: Sunyaruri (2019) 2,4 juta penonton, dan Asih (2018) 1,7 juta penonton.
Peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tirto Suwondo, mengatakan sejatinya sastra, termasuk sastra horor, sangat mudah masuk ke berbagai lini subsektor ekonomi kreatif, dari arsitektur, desain interior, musik, seni rupa, film, animasi, fotografi, desain komunikasi visual, hingga televisi atau radio.
"Jadi alih wahana sastra horor menjadi film agaknya jadi peluang yang menjanjikan," kata dia dalam sebuah diskusi di BRIN, Jakarta Selatan, Selasa, 23 April lalu.
Bagi kalangan sineas, karya sastra horor seperti novel sangat menjanjikan untuk dialihwahanakan. Penceritaan yang rapi dan menarik menjadi kelebihan novel sebagai karya pilihan untuk dialihwahanakan menjadi film.
Sutradara Film Anggi Umbara saat menjadi pembicara dalam acara Bedah Buku “Sastra Horor” di Gedung Widya Graha BRIN, Jakarta, 23 April 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sutradara dan penulis skenario, Anggy Umbara, mengatakan kini bukan cuma novel yang bisa dipilih sebagai cerita film. Karya tulis di berbagai media pun bisa menjadi pilihan untuk dialihwahanakan menjadi film. Contohnya KKN di Desa Penari dan Sewu Dino yang bermula dari utas tulisan di media sosial.
"Ada juga Di Ambang Kematian yang berangkat dari media sosial (mencapai 3,3 juta penonton). Sekarang cerita yang punya basis popularitas bisa dijadikan film," kata Anggy dalam acara diskusi yang sama.
Tak hanya di Indonesia, di Korea pun karya sastra makin sering dialihwahanakan ke film. Peneliti antropologi Korea sekaligus pengamat film, Bae Dong-sun, mengatakan industri film di Korea Selatan kini makin dekat dengan berbagai produk sastra, dari novel, skenario, sampai novel dan komik daring.
Menurut Bae, pemilihan karya tulis sebagai ide film merupakan salah satu cara cerdas memainkan bisnis film di Korea Selatan. Besarnya industri komik dan novel di Korea Selatan berimbas pada banyaknya karya tulis yang bisa dipilih untuk dialihwahanakan menjadi sebuah film.
Cara ini juga dianggap lebih minim risiko lantaran cerita yang diambil sudah punya basis pembaca yang banyak. "Jadi kemungkinan film ini laku di pasar cukup besar," kata pria asal Korea Selatan yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Indonesia tersebut.
Peneliti Antropologi Korea Bae Dong Sun saat menjadi pembicara dalam acara Bedah Buku “Sastra Horor” di Gedung Widya Graha BRIN, Jakarta, Selasa, 23 April 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Selain itu, alasan pemilihan komik digital untuk diekranisasi adalah kemudahan penggunaan pendekatan dalam sebuah cerita. Terlebih karya komik digital menyediakan visualisasi yang bisa membantu penulis skenario dan sutradara mengatur pembuatan film. "Sama-sama menyuguhkan bentuk visual sehingga sutradara film mudah menggambarkan setiap adegannya."
Penulis novel horor Bonaventura Genta mengatakan upaya alih wahana novel menjadi film memang sudah lumrah terjadi. Namun tidak semuanya berjalan mulus di mata penulis. Sebab, hampir semua penulis ingin karya dan ceritanya diekranisasi secara utuh tanpa diubah atau diutak-atik.
Menurut Genta, keaslian cerita sudah menjadi patokan baku seorang penulis. Namun hal ini kerap bertentangan dengan cara kerja pembuatan film. Ia mencontohkan, seorang penulis novel bisa menulis cerita sepanjang mungkin dalam buku.
Namun, ketika tulisan tersebut hendak dinaikkan ke layar lebar, terdapat aturan ruang dan waktu yang membuat penuturan cerita film dibuat lebih padat. Sayangnya, penulis novel horor Keluarga Tak Kasat Mata (2016) itu harus menerima kenyataan bahwa tidak semua rumah produksi punya semangat yang sama untuk menjaga keaslian cerita.
"Ada di antara mereka yang masih mengejar cerita seram yang berdarah-darah dan jump scare sebagai formula pembuatan film horor berkualitas," ucapnya.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo