Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ikranagara adalah seorang aktor kawakan di dunia teater dan film.
Ikranagara mendirikan grup teater yang bernama Teater Saja.
Ikranagara bersahabat dengan dramawan Putu Wijaya sejak SMA di Bali.
IKRANAGARA adalah sosok seniman yang ikut menggairahkan kehidupan jagat teater dan film Indonesia sejak 1970-an. Kepergian Ikra—begitu sapaan akrab Ikranagara—mengagetkan sahabatnya, Putu Wijaya. “Waktu dia meninggal, saya sedih sekali, karena banyak sekali memori bersama dia,” kata pemimpin Teater Mandiri itu saat ditemui Tempo di rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat, 10 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, ingatan Putu melayang pada pementasan Kereta Kencana, adaptasi W.S. Rendra atas Les Chaises karya Eugène Ionesco, di Teater Salihara, Jakarta Selatan, pada 2009. Putu mengarahkan peran Ikranagara yang beradu akting dengan Niniek L. Karim. Menurut Putu, Ikra adalah aktor yang hebat. Ikra sadar akan porsinya. “Sebagai pemain, meski dia sutradara, pimpinan teater, dan bintang film, dia tahu porsinya. Tidak membantah,” ujar Putu. “Dia mengerti, jadi enak menyutradarai dia.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikranagara lahir pada 19 September 1943 di Loloan Barat, perkampungan muslim di Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Ayahnya keturunan Makassar-Madura. Sedangkan ibunya berdarah Jawa-Bali. Pemilik nama asli Mohammad Bakri itu adalah karib Putu Wijaya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Keduanya bertemu di SMA Singaraja, satu-satunya sekolah negeri di Bali pada 1959. Putu masuk kelas A, bagian sastra dan kesenian. Sedangkan Ikra masuk kelas B yang berfokus pada ilmu pasti.
Di sekolah itu, mereka dididik oleh Gedong Bagoes Oka, pendidik yang progresif. Semasa SMA, Ikra dan Putu aktif berkesenian. Menurut Putu, Ikra aktif melukis serta menulis puisi dan naskah drama—dia mementaskannya di panggung. "Dia bisa memainkan dramanya sendiri,” tuturnya.
Selepas SMA, Ikra hijrah ke Yogyakarta menyusul Putu yang lebih dulu melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ikra kuliah di Fakultas Teknik UGM, tapi setahun kemudian dia pindah ke Fakultas Kedokteran.
Selama di Yogyakarta, Ikra dan Putu lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain drama. Keduanya tergabung dalam Lembaga Drama Nasional. Saat berlangsung pekan teater di Yogyakarta, Ikra memainkan lakon Tuan Kondektur karya Anton Chekov. Sedangkan Putu mementaskan lakon Bila Malam Bertambah Malam.
Ikra tidak lama berada di Yogyakarta. Dia kemudian pindah ke Jakarta dan menulis untuk harian Indonesia Raya besutan Mochtar Lubis. Ikra sempat ikut bermain ketika Bengkel Teater Rendra mementaskan naskah Oedipus di Gedung Kesenian Jakarta pada 1962.
Perjalanan keaktoran Ikra berlanjut ketika dia bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer di Jakarta. Salah satu puncak keaktoran Ikra dalam dunia teater adalah ketika ia bermain dalam lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer. “Ketika bermain di Sumur Tanpa Dasar, karismanya makin jadi dalam keaktoran. Sejak awal Ikra memang berbakat sebagai aktor,” kata Putu.
Sekitar tiga tahun setelah Putu mendirikan Teater Mandiri pada 1971, Ikra mendirikan kelompok teater yang diberi nama Teater Saja. Bersama Teater Saja, Ikra banyak menyuguhkan pentas teater dengan naskah yang ditulisnya sendiri. Sebagian besar naskah drama karya Ikra bersama teaternya sarat muatan politik. Di antaranya Topeng, Para Narator, Priiiit, Burrrr, Sssst, serta Ancemon dan Nomor Lainnya.
Tak hanya menulis naskah sendiri, dalam pementasan-pementasan Teater Saja, Ikra juga menjadi sutradara dan pemain. Misalnya pada saat pementasan lakon Ancemon dan Nomor Lainnya di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1980. Ikra bertindak sebagai sutradara sekaligus aktor dalam pertunjukan tersebut.
Ikra juga dikenal sebagai aktor film yang gemilang. Selama hampir lima dekade kariernya di dunia film, Ikra menyabet sejumlah penghargaan dan nominasi. Dia masuk nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik Festival Film Indonesia atas penampilannya yang memikat sebagai tokoh Markum dalam film drama komedi romantis, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, pada 1986. Ikra mendapat penghargaan kategori Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Indonesian Movie Actors Award ketika memerankan tokoh Pak Harfan dalam Laskar Pelangi.
Ikra juga masuk daftar nominasi Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia untuk perannya sebagai KH Hasyim Asy'ari dalam film Sang Kiai. Dan di Festival Film Bandung, perannya dalam film Sang Kiai itu diganjar penghargaan kategori Pemeran Utama Pria Terpuji Film Bioskop.
Boleh dibilang Ikra adalah salah satu aktor teater yang mampu bermain dalam film dengan baik. Putu mengungkapkan, seorang aktor teater kerap mengalami kesulitan ketika bermain film. Secara konsep, aktor teater dan film agak bertolak belakang. Aktor teater harus melebihkan akting agar penampilan di atas panggung tampak. Sedangkan dalam film, aktor harus mengejar kewajaran tanpa harus melebihkan teknik keaktoran itu sendiri. “Ikra tidak mengalami itu. Dia bisa tampil bagus di film. Mungkin dia lebih bagus di film," ucap Putu.
Bagi Putu, selain merupakan aktor yang berbakat, Ikra adalah sahabat yang baik. Putu mengenang saat dia tinggal di Kebon Kosong, Jakarta Pusat. Rumah kontrakan yang ia tinggali tidak punya aliran listrik. Karena itu, ketika ingin merampungkan novelnya yang kemudian terbit dengan judul Stasiun (1979), Putu harus menumpang di rumah Ikra dan istrinya, Kay Glassburner, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
"Pada suatu kali, karena saya harus menulis novel Stasiun, saya ke rumah Ikra. Saya nginep semalam, ngetik di sana sampai pagi untuk menyelesaikan novel itu. Itu jadi kenangan yang indah."
Aktor senior Slamet Rahardjo juga mengacungkan jempol untuk kerja keaktoran Ikra dalam film. Slamet sempat bermain bersama dengan Ikra dalam film Laskar Pelangi arahan sutradara Riri Riza. Slamet, yang memerankan tokoh Pak Zulkarnaen, diberi keleluasaan ketika beradu akting dengan Ikra sebagai Pak Harfan. “Saya kira sejak itu kami melupakan bahwa kami adalah aktor. Kami tiba-tiba menjadi sahabat,” kata Slamet kepada Tempo.
Pada sekitar 2013, alzheimer mulai menyerang Ikra seusai syuting film Sang Kiai. Saat itu Ikra mulai menjalani perawatan di Jakarta, lalu pindah ke Yogyakarta dan berakhir di Bali. Itu upaya Ikra memeriksa kekebalan tubuh yang bermasalah dan belakangan menggerus daya ingatnya.
Ikranagara pada pementasan drama "Kok berani-beraninya menunggu Godot" karya Ikranagara, Jakarta, 1993. Dok. Tempo/ Hidayat SG
Dari hasil rekam medis pemeriksaan itu juga terdeteksi gejala stroke. Alzheimer, penyakit yang menumpulkan daya ingatnya, bertambah parah sejak 2014. "Demensianya meningkat tiap tahun," ucap Innosanto Nagara, 52 tahun, anak sulung Ikra, saat dihubungi Tempo, Kamis, 9 Maret lalu. Bahkan dia pernah dirawat di Yogyakarta selama lima tahun.
Penderitaan Ikra bertambah parah. Alzheimer tak hanya merampas ingatannya, tapi penyakit itu turut membuat ingatannya bertambah lemah dan hampir tak mengenal orang di sekitarnya. “Jadi dengan alzheimer dia mulai tidak mengenali orang-orang di sekitarnya," tutur Inno.
Di masa kritis, hanya orang paling dekat dengan Ikra yang masih dikenali, yakni sang istri, Kay. Pada 2019, Inno pun kemudian membawa sang ayah menjalani perawatan alzheimer di Klinik Sadajiwa, Badung, Bali.
Hingga suatu hari, dari Klinik Sadajiwa, Ikra dilarikan ke Rumah Sakit Umum Tabanan, Bali, karena kadar oksigen di tubuhnya sangat rendah. Selain ada masalah oksigen di tubuhnya, hasil medis di rumah sakit itu menerangkan terjadinya infeksi pada paru-paru Ikra.
Ikra menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Tabanan selama 26 Februari-1 Maret 2023. Seusai perawatan, kondisi Ikra sempat membaik. Dia diizinkan pulang. Namun, beberapa hari setelah dia keluar dari rumah sakit, nasib berkata lain. Ikra wafat pada 6 Maret 2023, pukul 18.00 Wita.
Sang aktor kawakan wafat pada usia 79 tahun. Ia meninggalkan seorang istri, dua anak, dan empat cucu. Anak dan cucunya kini menetap di Amerika Serikat. Ikra dimakamkan di Pemakaman Muslim Wanasari Maruti 13, Denpasar. “Ibu saya sedih, tapi dia mengerti kami harus tabah dengan kehendak Allah,” ujar Inno.
IHSAN RELIUBUN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo