Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Ancaman Leo dan Naskah Realis Dardanella

Naskah dr Samsi awalnya naskah yang dipentaskan oleh kelompok sandiwara Dardanella. Naskah realis di awal sejarah teater kita.

12 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Naskah dr Samsi karya Andjar Asmara.

  • Naskah teater realis yang melanglang buana.

  • Naskah teater yang diadaptasi menjadi film.

TANGGAL 10-12 Juli 1959. Sebuah reuni tokoh-tokoh tonil terjadi. Para eks bintang panggung sandiwara keliling Dardanella berkumpul kembali di Jakarta. Mereka adalah Devi Dja, Astaman, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Ali Yugo, dan Ribut muda. Mereka para old crack. Usia mereka sudah ada yang lebih dari 60 tahun. Grup mereka sudah bubar pada 1936. Mereka berkumpul lagi bukan sekadar untuk bernostalgia, melainkan memainkan kembali naskah dr Samsi yang ditulis Andjar Asmara di Gedung Kesenian Jakarta selama tiga hari. Naskah ini hampir 30 tahun sebelumnya pertama kali mereka mainkan dan membuat nama mereka melambung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun tersebut sudah beredar film dr Samsi (1952) adaptasi Ratna Asmara terhadap drama yang ditulis suaminya itu. Andjar Asmara pada 1959 memiliki grup bernama Tjahaja Timur. Atas inisiatif Andjar-lah pemain-pemain asli Dardanella yang tersebar bisa bersatu. Tan Tjeng Bok, misalnya, yang saat itu sudah tinggal di Bojonegoro, Jawa Timur, guna menikmati masa tuanya dan “menarik diri” dari kegiatan panggung, muncul lagi. Sementara itu, Devi Dja sudah tinggal di New York, Amerika Serikat. Meski ada keraguan apakah mereka masih bisa bermain bagus seperti ketika muda, ternyata rata-rata keaktoran mereka makin matang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah ulasan di majalah Star Weekly memuji penampilan Devi Dja yang memainkan Sukaesih. Ia disebut secara psikologis mampu menjadi sosok Sukaesih yang menderita lahir-batin. Akan halnya Tan Tjeng Bok, yang memerankan Leo van den Brink, masih mendemonstrasikan kekuatannya sebagai macan panggung. Sementara itu, Astaman yang memerankan karakter aristokratis Dokter Samsi dan Rd. Ismail yang memainkan sosok cerdas pengacara muda, Sugiat, juga cemerlang. 
Pentas pertama dr Samsi digelar pada 1931. Saat itu Andjar Asmara baru masuk Dardanella, yang didirikan seorang berdarah, Russia Willy Klimanoff atau yang lebih dikenal A. Piedro, pada Juni 1926 di Sidoarjo, Jawa Timur. Andjar Asmara (nama pena Abisin Abbas) adalah seorang wartawan lepas Bintang Timoer dan Bintang Hindia asal Minang yang masuk ke Dardanella saat berumur 28 tahun. Naskah dr Samsi ciptaannya meledak. Pada 1936, naskah ini sudah hendak dibuatkan film di studio India. Namun entah mengapa tidak jadi. 

Naskah dr Samsi berbeda sama sekali dengan setambulan atau kisah-kisah Seribu Satu Malam—kisah-kisah comotan Hollywood: Monte Cristo, The Thief of Baghdad, dan lain-lain—yang menonjolkan tari-tarian dan nyanyian yang sebelumnya biasa dipentaskan Dardanella. Bergabungnya Andjar membawa perubahan cukup besar. Dardanella berani memanggungkan teater realis. Andjar-lah yang menulis dan menyadur naskah realis. 

Dari studi atas koran-koran Belanda, para pengamat mengatakan beberapa naskah realis yang pernah dipentaskan Dardanella adalah Perantaian 99, Anna van Mendoet, Haida, Fatima, Rentjong Aceh, Ex Sawah Loento, Miss X, dan Tjang. Tidak semua naskah itu tulisan Andjar. Naskah Mait Idup, misalnya, adalah karya Kwee Tek Hoay. Andjar juga dikenal piawai membuat reklame pementasan yang memikat publik. Naskah dr Samsi dipentaskan dari Batavia, Surabaya, sampai ke kota-kota di Sumatera. Namun tatkala pada 1935 Dardanella berkeliling dunia dari Rangoon, Myanmar; India, Eropa, sampai Amerika Serikat, mereka tidak membawa naskah-naskah realisnya, melainkan kembali menonjolkan tari-tarian. Mungkin karena pertimbangan eksotisme mereka menggunakan nama The Royal Balinese Dancers dan mengekspose besar keterampilan menari Miss Dja (Sutidjah). 

Naskah-naskah realis Dardanella sendiri menyuguhkan tema-tema problematik yang menarik kaum terpelajar karena menampilkan masalah-masalah aktual kehidupan kota. Dalam reklame pertunjukan dr Samsi pada Oktober 1931 kita bisa melihat pertunjukan dr Samsi diiklankan sebagai moderne Indische roman. Setting pentas dr Samsi dalam naskah aslinya adalah Batavia pada 1920. Seorang perempuan bernama Sukaesih yang merupakan “korban” asmara dan seksual Dokter Samsi meninggalkan begitu saja bayi haram hasil persetubuhannya dengan Dokter Samsi di sebuah rumah sakit di Glodok tempat bekerja Dokter Samsi sehari-hari. Pada saat yang bersamaan, bayi Dokter Samsi dan istrinya sakit parah dan meninggal.

Leo, asisten dokter Samsi, memiliki ide agar menukar bayi Dokter Samsi dengan bayi yang ditinggalkan Sukaesih. Dokter Samsi mulanya menolak karena hal itu menyalahi kode etik profesi, tapi mempertimbangkan kejiwaan istrinya, ia setuju. Anak yang diberi nama Sugiat itu saat besar mendapat gelar pengacara dari London. Leo, asisten dokter Samsi yang dipecat dari rumah sakit dan sehari-hari hanya berjudi dan mabuk, lalu memeras Dokter Samsi. Ia mengancam, bila tidak diberikan Rp 10 ribu (di film menjadi Rp 15 ribu), dia akan membeberkan kepada para jurnalis bahwa Sugiat sesungguhnya adalah anak yang ditukar. Dalam naskah demikian ucapannya:

Sebetulnya siapa yang tahu siapa Sugiat? Anak siapa Sugiat? Yang tahu hanya saya! Saya kenal journalis-journalis di kota Betawi. Nanti saya buka rahasia. Kalau perlu akan saya bawa ke pasar rahasia ini, dan saya jual dengan kurs paling rendah. Tetapi, kalau ada sepuluh ribu, tutup mulut! Kalau tidak ada nanti saya obral. Faham, Dokter?” 

Dapat dibayangkan adegan itu mendebarkan. Pentas dr Samsi memang menampilkan drama watak. Dalam naskah asli tidak ada adegan pengadilan Sukaesih sebagai tersangka pembunuh Leo (yang setelah kedatangannya di rumah sakit dinikahi Leo), adegan Sukaesih dalam penjara, dan adegan manis happy ending keluarga Dokter Samsi di vila Bogor. Film menambahkan itu semua dan menjadikan ceritanya makin jelas.

Poster iklan pementasan lakon Dr Samsi oleh
Teater Dardanella, pada 1931. Wikipedia

Bila kita amati, baik dalam film dan naskah drama, motor cerita penentu sesungguhnya adalah sosok antagonis Leo. Sosok Leo menjadi pangkal ketegangan persoalan. Sosok Leo dalam film penampilannya perlente mengenakan jas, tapi acak-acakan dan selalu mabuk. Kita melihat di layar perak sosok Leo menerobos masuk saat di rumah Dokter Samsi diadakan pesta untuk Sugiat (adegan pesta ini tak ada dalam naskah asli). Leo meneguk brendi berkali-kali dan berdiri sempoyongan menatap para tamu. Tensi dramatik memang menurut saya bermula saat Leo datang ke rumah Dokter Samsi dan mengancamnya. Tensi terus menanjak sampai di rumah Leo terjadi perkelahian antara Leo dan Dokter Samsi hingga menyebabkan Leo tewas. Dalam laporan pementasan reuni itu, Star Weekly menulis Tan Tjeng Bok saat memerankan Leo gerak-gerik dan mimiknya luar biasa. Tatkala dia menampilkan keberingasan dan kekejaman Leo, suaranya menggeledek dan ekspresi matanya sampai mencekam.

Pada pementasan 1959 tersebut, Andjar Asmara melakukan beberapa penyesuaian pada naskah agar sebab-akibat dramaturgi makin jelas. Pembunuh Leo adalah orang lain, bukan Dokter Samsi. Perkembangan naskah dr Samsi bisa disebut ada tiga: naskah awal, naskah reuni, dan adaptasi film. Dalam adaptasi film, sampai akhir Sukaesih tidak ingin Sugiat mengetahui bahwa dirinya adalah anak Sukaesih dan Dokter Samsi. Sementara itu, di ending naskah asli, Dokter Samsi membuka rahasia kepada Sugiat, yang terheran-heran melihat bapaknya ada di rumah Sukaesih.

“Sugiat, kau jangan heran melihat aku di sini, sebab aku sedang menyambangi ibumu. Sukaesih, inilah anakmu, anak kita, Sugiat, inilah ibumu yang sebenarnya, ibu yang melahirkan kau ke dunia.” 

Naskah dr Samsi termasuk naskah realis karya sendiri yang paling sering dimainkan Dardanella. Meski naskah itu tidak berbicara mengenai dunia pergerakan, banyak pengamat melihat pementasan dr Samsi sangat berkontribusi terhadap nasionalisme. Sumpah Pemuda diserukan pada 1928. Sementara itu, semenjak 1931, dr Samsi konsisten dipentaskan Dardanella ke berbagai daerah dengan jangkauan penonton yang luas menggunakan bahasa Indonesia yang dipahami semua lapisan masyarakat. Tema cerita dr Samsi yang mengangkat setting modern dan sama sekali tak melibatkan karakter tokoh Belanda juga dipandang sedikit-banyak membantu menyebarkan kultur modern dalam masyarakat Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus