Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Trisutji Kamal adalah perempuan Indonesia pertama yang menjadi komponis musik klasik.
Inspirasi musiknya mengalir deras saat Ramadan.
Trisutji Kamal pergi meninggalkan 200-an karya musik.
SUATU malam, awal September 2002, dalam sebuah konser di Gedung Kesenian Jakarta....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah intro yang lengang. Beberapa nada yang tampaknya mengikuti Arabian scale muncul, tapi kemudian lekas tenggelam, ditelan sepi panggung. Sekali, dua kali, tiga kali, potongan melodi yang sama terdengar lagi, kadang-kadang dengan sedikit perubahan. Namun semua itu makin gamblang menunjukkan adanya ruang-ruang yang sengaja dibiarkan menganga di antara nada-nada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komponis Trisutji Kamal mengaku ia membuat bagian ini berdasarkan irama tajwid atau pelafalan ayat-ayat Quran. Kendati sebagian orang boleh jadi menangkap kesan yang lain: “ada” dan “tiada”, bunyi dan sunyi adalah dua hal yang saling melengkapi, silih berganti.
“Isra’ Mi’raj”, tembang puitis (art song) komposisi Trisutji Kamal yang dimainkan pianis Pudjiwati I. Effendi, tidak berhenti pada permainan ruang. Bagian yang singkat itu tampak berhasil menggiring penonton ke suasana yang lebih kontemplatif. Sekarang, melalui denting piano Pudjiwati, komponis itu kemudian bergegas mengisi jarak di antara dua garis birama dengan lebih banyak nada. Nomor musik yang tetap setia dengan prinsip satu nada dasar (tonalitas) ini lantas diakhiri dengan ritme yang biasa dipakai oleh orang berzikir.
Trisutji Kamal, 84 tahun. Sebelum maut menjemputnya Ahad pagi, 21 Maret lalu, dan tubuhnya disemayamkan di rumah yang asri di Cilandak Barat, Jakarta Selatan, dalam rekaman pembicaraan video terakhir, ia berbicara tentang musiknya, sementara tangannya sibuk memainkan seuntai tasbih. Sejak menginjak usia 50-an, cucu Pakubuwono X ini memang kian lebur dalam Islam. Beberapa kali, pada 1990-an bersama suami, kawan, serta muridnya, Trisutji Kamal--murid-muridnya senang memanggilnya Tante Titi--pergi beribadah haji dan umrah.
Mengenakan jilbab, berbaju panjang, perlahan-lahan perempuan Indonesia pertama yang menjadi komponis musik klasik tapi dibesarkan di lingkungan aristokrasi Jawa--yang biasanya akrab dengan kejawen--itu memilih jalan religius. Meski begitu, setiap orang yang mengenalnya sampai pada kesimpulan: ia tetap seorang Trisutji Kamal yang sama. Tante Titi yang “dulu” tidak pergi begitu saja.
“Isra’ Mi’raj” sebuah komposisi yang istimewa. Namun, sejak menggeluti komposisi musik religius, Trisutji seakan-akan kehabisan kata-kata, merasa tak sanggup melukiskan peristiwa yang dianggapnya sakral itu dengan ekspresi musikal miliknya. Menangkap dan menafsirkan peristiwa religius seperti Isra Mikraj, Ramadan, Malam Seribu Bulan, dan lain-lain, latar belakang pentatonik dan diatonik yang dimilikinya terasa terbatas. Ia membutuhkan Arabian scale, lengkap dengan penguasaan maqamat, tajwid, bahkan azan.
Memang agak susah dipercaya, proses dialektika seperti ini benar-benar berlangsung di dalam diri sang komponis di posisinya saat itu. Di usia 50-an tahun, seorang Trisutji Kamal menjadi muara tiga sedimentasi yang membentuk karakter musik religiusnya, yakni pengaruh pentatonik yang terus menemaninya sejak kanak-kanak di lingkungan keluarga ningrat di Binjai, Sumatera Utara; pengaruh diatonik Barat yang dipelajarinya sungguh-sungguh di dunia akademis di Amsterdam, Paris, serta Roma; dan, terakhir, rangkaian nada dalam Arabian scale yang kemudian dirasakan dapat melengkapi ekspresinya yang makin religius.
Dengan dua piano, satu perkusi Bali (bumbung), dan satu vokal yang setia membawakan karya-karyanya, Trisutji Kamal menjelajahi, kemudian mempersembahkan komposisi terbarunya. Menarik sekali, dalam diri Trisutji pengaruh-pengaruh musikal di atas tidak bertabrakan atau meniadakan, tapi membentuk satu persenyawaan baru yang perlahan-lahan menjadi identitas karya-karya mutakhirnya.
•••
BERTAHUN-tahun berkelahi melawan diabetes, darah tinggi, sindrom pasca-stroke, dan glaukoma, Ahad pagi, Trisutji Kamal--yang percaya pada kedigdayaan jiwa di atas fisik yang fana--akhirnya menyerah. Dia pergi meninggalkan tiga anak, 200-an karya musik, ditambah puisi-puisi yang belum lagi digarap-dijadikan tembang puitik--dulu disebut musik seriosa. Ya, glaukoma perlahan-lahan merebut penglihatannya yang kian pudar hingga akhirnya hilang sama sekali. Namun dalam pekatnya gelap, kepada Hazim Suhadi, salah seorang muridnya yang menyunting buku Trisutji Kamal: Tembang Puitik, ia masih membayangkan satu komposisi di kepalanya. Komposisi yang tak pernah ditulis tentang cinta pertamanya.
Putri Solo yang mengenyam pendidikan komposisi di Conservatorio de Musica St. Cecilia, Roma, Italia, ini tampaknya mewarisi semangat “mazhab” yang berkembang di sana. Mazhab yang percaya bahwa komposisi harus lahir dari kepala sang komponis, tanpa bantuan piano atau instrumen lain. Namun bukan hanya kekuatan imajinasi dan pikiran yang dipetiknya dari konservatori itu, tapi juga “gelora” atau “drama” Italia yang senantiasa hadir dalam berbagai komposisinya. “Sebagaimana yang kita dapatkan dalam karya-karya opera Puccini atau Verdi,” kata Binu Sukaman, soprano yang kerap membawakan karya-karya Trisutji.
Trisutji Kamal telah menciptakan lebih dari 130 solo piano--semua telah direkam dalam 10 cakram padat berjudul Complete Piano Works Series (1951-2006). Pianis Ananda Sukarlan memainkan semua karya itu. Trisutji juga menciptakan dua solo flute, satu solo flute dengan piano, tiga solo biola alto, satu solo biola alto dengan piano, satu solo cello, 25 vokal dengan piano perkusi dan vokal Bali, trio dan kuartet, empat paduan suara akapela, tiga paduan suara dengan simfoni orkestra, lima musik sendratari seperti Opera Roro Jonggrang, sepuluh musik ilustrasi film, dan banyak lagi.
Namun 84 tahun mungkin terlalu singkat buat mengakhiri segalanya, dan kepalanya masih terlalu penuh buat menyudahi kreativitasnya yang panjang dan bernas. Apalagi ia pergi tiga minggu menjelang Ramadan, saat yang teramat dinanti-nantikan seorang Trisutji Kamal yang religius. Pada bulan itulah, “Terutama dari tengah malam sampai sahur,” tutur Adittya Setyadi, muridnya yang juga penyunting Trisutji Kamal: Tembang Puitik, “inspirasi untuk menciptakan komposisi mengalir amat deras.”
Namun bukan Trisutji yang menetapkan hari kepergiannya.
IDRUS F. SHAHAB, WARTAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo