Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Orang Rimba Berburu Ilmu

Sebuah film dokumenter yang menunjukkan Orang Rimba yang bermodal semangat untuk bersekolah di tengah hutan.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru Rimba di Manapun Jadi Sekolah
Sutradara: Vivian Idris
Skenario: Vivian Idris
Produksi: Secret Prayers bekerja sama dengan Insight Investment

Di tengah rimbunnya hutan Bukit 12, mereka tak hanya ingin berburu hewan dan menanti tetesan getah karet. Mereka ingin menikmati dunia literasi dan menggali ilmu. Orang Rimba, salah satu suku di pedalaman Jambi, Sumatera bagian selatan, adalah orang-orang yang bersatu dengan rimbunnya hutan dan merancang hidup dengan adat dan isyarat alam. Tapi, "Mereka harus sekolah hingga selesai, hingga bisa dipetik hasilnya," kata Ngandum, kepala adat Orang Rimba, sembari memberi metafora pendidikan sebagai penanaman pohon.

Perburuan ilmu di dalam hutan rimba inilah yang menjadi fokus film dokumenter karya debut Vivian Idris. Vivian, 39 tahun, yang sehari-hari biasa menjadi Manajer Program Yayasan Kalyanashira-yang sudah memproduksi beberapa film dokumenter, antara lain Pertaruhan dan Working Girls-kini turun sendiri sebagai sutradara dengan rumah produksinya sendiri, untuk mengikuti perjalanan para guru yang ingin mengajar anak-anak yang kesulitan memperoleh pendidikan formal. "Saya selalu ingin terjun langsung ke tengah hutan Jambi," kata Dwi Eni, 32 tahun, salah satu guru yang selama ini bekerja di bawah naungan Butet Manurung, seorang pendidik, guru yang meletakkan batu pertama di tengah hutan Jambi.

"Butet Manurung sudah dikenal sebagai pelopor yang membangun sokola di sini," kata Vivian. "Saya tertarik menyorot para penerusnya, seperti Dwi Eni dan Oceu, yang masuk ke pedalaman dan terus mempertahankan serta mengembangkan apa yang sudah dimulai Butet."

Maka Vivian bersama tim film dokumenter yang antara lain terdiri atas Affan Diaz (kamera) dan Nina Desilina (line producer) menempuh lima jam perjalanan dari Jambi menuju Bangko (kota kabupaten terdekat dengan lokasi Taman Nasional Bukit 12), tempat Orang Rimba menetap. Dari Bangko perjalanan dilanjutkan selama tiga jam. Setelah itu mereka harus berjalan kaki satu setengah jam. Jika hujan menghantam, jalan kaki jadi molor menjadi empat jam untuk mencapai sokola rimba di Makekal Hulu.

Subyek yang direkam Vivian dan timnya adalah suatu kisah yang menarik. Mereka semua anak-anak yang ingin belajar, tapi sehari-hari waktunya lebih banyak diabdikan untuk membantu orang tuanya bekerja. Karena itu, para guru ini memutuskan mereka masuk sokola rimba, seperti "asrama kecil-kecilan" yang sangat sederhana, tempat mereka bisa berkonsentrasi belajar membaca dan berhitung. Bangunan yang terbuat dari kayu di tengah kerimbunan hutan itu-tanpa tempat tidur dan kasur-dengan alat tulis seadanya yang disediakan guru, adalah modal mereka. Tapi modal yang utama: semangat. Di bawah lampu minyak, anak-anak ini malang-melintang duduk di lantai kayu sembari masih belajar mengeja dengan tepat atau diuji kemampuan aritmetika yang sederhana.

Para guru, Dwi Eni dan Oceu, juga tak lupa menanamkan bahwa mereka bagian dari Indonesia. Bendera Merah Putih di tiang bambu dan lagu Indonesia Raya yang mengumandang dari rombongan anak-anak rimba itu sekali lagi memberikan gambaran betapa jauhnya mereka dari kehidupan masyarakat Jakarta yang manja dan boros. Anak-anak suku Rimba yang lebih nyaman tanpa baju ini-kecuali jika mereka harus berhadapan dengan pendatang kota, tentu saja-semuanya adalah anak lelaki. Menurut Vivian, sesuai dengan adat Rimba, anak perempuan tak boleh dipublikasikan karena kemungkinan eksploitasi. Tapi sesungguhnya anak-anak perempuan juga mendapat pendidikan yang sama dari guru-guru perempuan.

Rekaman dan gambaran sokola rimba ini menarik hingga titik plot terasa membelok ke problem politik dan ekonomi Orang Rimba: soal masuknya perusahaan besar yang mengganggu kehidupan mereka. Problem konflik akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit adalah problem yang sama sekali berbeda, yang bisa menjadi sebuah film dokumenter tersendiri. Vivian mengatakan segmen yang seolah "berbelok" ini ingin menunjukkan generasi muda Orang Rimba yang belajar di sokola berkembang menjadi orang-orang yang bisa mengekspresikan permasalahan politik, ekonomi, dan sosial yang mereka hadapi. Didampingi beberapa lembaga swadaya masyarakat, mereka menghadap ke lembaga pemerintah dan mengutarakan problem dengan bahasa yang sangat fasih dan pemilihan kata yang cerdas.

Problem anak-anak Rimba dengan soal perusahaan yang mendesak masuk sangat rumit dan membutuhkan sebuah kronologi yang runtut (dan bahkan jika diproduksi film dokumenter pun pasti akan membutuhkan durasi yang cukup panjang). Akan menarik seandainya kamera Vivian dan timnya tetap mengikuti anak-anak Rimba dan para guru yang masih memperjuangkan hal-hal mendasar dalam pendidikan.

Tapi film ini, seperti beberapa film dokumenter yang beberapa tahun terakhir diproduksi sineas Indonesia, berhasil menunjukkan betapa pendidikan dasar adalah salah satu problem terbesar di negeri ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus