Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kentut
Sutradara/Skenario: Aria Kusumadewa
Pemain: Deddy Mizwar, Ira Wibowo, Keke Soeryo, Cok Simbara, Iis Dahlia, Rahman Yakob, Hengky Tornando, Anwar Fuadi
Di sisa waktu kampanye menjelang pemilihan bupati di Kabupaten Kuncup Mekar, Patiwa (Keke Soeryo) ditembak oleh seseorang tak dikenal. Perempuan calon bupati yang idealis itu langsung dibawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan. Dokter turun tangan melakukan pembedahan. Jurnalis berduyun-duyun mengerubungi rumah sakit.
Operasi selesai, tapi Patiwa belum siuman. Direktur rumah sakit (Cok Simbara) menyebutkan Patiwa dapat dinyatakan sembuh bila sudah kentut. Semua menunggu kentut Patiwa karena, bila ia tak bisa muncul pada saat pemilihan, pencalonannya bakal gugur. Petugas keamanan sibuk menghadapi para pendoa lintas agama dan kepercayaan yang memohon kesembuhan Patiwa.
Di sinilah letak ”drama politik” film Kentut karya sutradara Aria Kusumadewa. Menonton film ini seperti membaca cerpen-cerpen Putu Wijaya. Hal yang remeh-temeh, seperti kentut, menjadi urusan publik. Perhatian seluruh elemen kota tersedot hanya karena kentut.
Kita melihat, di banyak adegan, akting tak realis benar. Ada Deddy Mizwar yang menjadi tokoh Jasmera, lawan politik Patiwa. Ia berusaha keras agar Patiwa tak bisa kentut. Akting Deddy seperti dilucu-lucukan. Dan Deddy praktis menguasai film ini sepenuhnya (itu yang membosankan). Apalagi aktingnya mengingatkan kita pada sosok Nagabonar. Jasmera digambarkan membela perjudian dan poligami. Kampanyenya norak dan selalu didampingi penyanyi dangdut Delarosa (Iis Dahlia). ”Hantam dulu, urusan belakangan” adalah prinsip hidupnya.
Bagian yang paling menarik adalah rombongan pendoa lintas agama. Mereka datang ke rumah sakit melakukan ritus dengan gaya masing-masing. Dari komunitas Katolik, Hindu, sampai aliran kepercayaan. Di sini kita melihat adegan-adegan ala teater atau ”diteater-teaterkan”. Juga coba saksikan adegan pasien-pasien rumah sakit. Selintas ada pasien dibebat perban, seperti mumi, berjalan di lorong-lorong rumah sakit sembari memegang infus. Namun itu khas Aria. Adegan ”teater” demikian juga bertebaran dalam film Beth.
Ira Wibowo, sebagai Irna, anggota staf Patiwa, tampil cukup menarik dan Rahman Yacob sebagai kepala satuan pengamanan yang hendak mengusir para pendoa juga mencuri perhatian. Aria kali ini terlihat ingin membuat film yang dapat berkomunikasi dengan sebanyak mungkin orang. ”Tapi saya tidak mau membodohi penonton dan tidak juga ingin membuat penonton menjadi ruwet,” katanya.
Terlihat di sini motif utama Aria adalah ingin menelanjangi figur politikus dan tokoh agamawan kita. Namun dia juga ingin menyindir dirinya sendiri dengan memunculkan tokoh monyet bernama Aria. Namanya juga dijadikan nama dewa aliran kepercayaan yang datang ke rumah sakit. Inilah yang membuat menonton film ini seperti membaca cerpen-cerpen Putu. Tidak nyata tapi ingin menampilkan kenyataan.
Ismi Wahid, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo